BerandaTafsir TematikPenafsiran Hamka terhadap Larangan Memilih Pemimpin Non-Muslim

Penafsiran Hamka terhadap Larangan Memilih Pemimpin Non-Muslim

Legalitas memilih pemimpin non-muslim di Indonesia masih terus mengalami pro dan kontra di kalangan agamawan dan pemerintahan. Hal ini karena adanya pemahaman yang beragam di masyarakat terhadap teks-teks keagamaan yang melarangnya seperti surat al-Maidah ayat 51. Mengenai ayat ini para mufasir memiliki pemahaman yang beragam.

Quraish Shihab menilai bahwa larangan memilih non-muslim sebagai pemimpin pada ayat ini tidaklah mutlak. Pendapat yang sama juga diamini oleh Sayyid Thantawi dalam tafsir Al-Wasit, Thantawi menjelaskan bahwa non-muslim yang hidup damai dengan kaum muslim, tidak melakukan perlawanan terhadap Islam dan tidak ada tanda-tanda yang mencurigai terhadap mereka, maka mereka memiliki hak dan kewajiban sosial yang sama dengan kaum muslim.

Baca juga: Sabar dan Tekad Kuat, Kunci Sukses Menjadi Pemimpin

Salah satu mufasir yang menolak legalitas memilih pemimpin non-muslim adalah Buya Hamka atau dikenal dengan Haji Abdul Malik Karim Amrullah, penulis kitab tafsir Al-Azhar. Tulisan ini tidak menjudge salah satu pihak karena perbedaan hasil penafsiran. Akan tetapi, tulisan ini akan menelisik keterpengaruhan penafsiran Hamka sebagai mufasir dalam menafsirkan ayat ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh Arkoun bahwa hasil pemikiran merupakan cerminan dari dinamika pergumulan realitas sosio-historis.

Penafsiran Hamka terhadap Surah Al-Maidah ayat 51

یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ ٱلۡیَهُودَ وَٱلنَّصَـٰرَىٰۤ أَوۡلِیَاۤءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِیَاۤءُ بَعۡضࣲۚ وَمَن یَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا یَهۡدِی ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّـٰلِمِینَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”

Dalam menafsirkan ayat ini Hamka tidak membahas term aulia secara khusus, akan tetapi maksud dari aulia adalah ‘pemimpin non-muslim’ tampak sangat jelas ketika Hamka menafsirkan kalimat sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Dalam menafsirkan kalimat ini Hamka menggiring pembaca untuk membayangkan sejarah pahit yang menimpa kaum muslim ketika dipimpin oleh non-muslim.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf: Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Non-Muslim

Seperti persekongkolan partai non-muslim di Indonesia untuk menggagalkan Undang-Undang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi bagi pemeluknya dan persekongkolan negara-negara komunis untuk menyerahkan Baitul al-Madis ke tangan PBB pada tahun 1967. Menurut Hamka, Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka, adalah bentuk perpindahan agama tapi, tidak secara resmi.

Ketika menafsirkan penggalan ayat tersebut Hamka juga menceritakan kembali sebuah tragedi penipuan yang dilakukan Belanda untuk mengalahkan masayarakat Aceh dengan mengirim seorang jaksa beragama Islam dari luar Aceh untuk mencari tahu rahasia-rahasia masyarakat Aceh sehingga mudah untuk dikalahkan. Dan konon katanya jaksa tersebut adalah muslim yang taat.

Dapat dikatakan bahwa hampir semua penggalan ayat yang ditafsirkan Hamka selalu menggirirng pembaca kepada masa kelam dimana muslim ditindas oleh non-muslim dan penafsirannya juga sangat kental dengan nuansa penjajahan di Indonesia.

Kondisi sosio-historis Hamka

Hasil penafsiran Hamka terhadap Al-Maidah ayat 51 yang diwarnai oleh sejarah kelam umat muslim tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosio-historis pada saai itu. Tafsir Al-Azhar ditulis sejak tahun 1958 pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, di mana kondisi politik di Indonesia belum stabil karena adanya agitasi dari kelompok Partai Komunis Indonesia. Masa ini dikenal dengan masa “Demokrasi Terpimpin” yang tercatat sebagai masa yang penuh ketegangan.

Partai Komunis akan menangkap orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka, bahkan menendang dan menangkap para tokoh politik muslim yang dianggap mengancam keadaan mereka. Hamka juga ikut ditangkap atas tuduhan melakukan rapat-rapat gelap, menjadi anggota gerakan gelap untuk menentang Presiden Soekarno dan Pemerintahan Republik Indonesia yang sah. Selama dua tahun di dalam tahanan Hamka terus melanjutkan penafsirannnya terhadap Al-Quran.

Baca juga: Larangan Memaki Sesembahan Non-Muslim: Salah Satu Ajaran Toleransi Dalam al-Quran

Melihat keadaan sosio-histori Hamka maka sangat wajar jika Hamka memahami ayat ini sebagai larangan memilih non-muslim sebagai pemimipin karena Hamka hidup di saat non-muslim tidak berdamai dengan muslim dan melakukan perlawanan terhadap Islam. Inilah yang dimaksud oleh Arkoun bahwa hasil pemikiran merupakan cerminan dari dinamika pergumulan realitas sosio-historis.

Di era sekarang sangat susah untuk tidak menjalin hubungan dengan non-muslim (jika aulia dipahami sebagai teman dekat) karena keadaan sosial yang saling membutuhkan. Dan menjadikan non-muslim sebagai pemimpin (jika aulia dipahami sebagai pemimpin) karena umat Islam yang berstatus minoritas, seperti di Bali dan Papua.

Maka menurut hemat penulis diperbolehkan menjadikan non-muslim sebagai pemimpin dan teman dekat selama dia dikenal adil dan tidak melakukan perlawanan terhadap Islam, sebagaiman yang telah dijelaskan oleh Thantawi. Dalam menyikapi perbedaan produk penafsiran seseorang harus bersikap bijaksana karena Al-Quran merupakn teks suci yang secara historis sudah mapan, sementara penafsiran merupakan produk ijtihad manusia dalam memahami dan memberikan interpretasi.

Pendek kata dengan asumsi tersebut, Al-Quran perlu ditafsirkan terus-menerus agar tidak kehilangan relavansinya dengan perkembangan zaman. Tidak perlu adanya sakralisasi terhadap hasil penafsiran karena dapat menyebabkan dinamika pemikiran umat Islam mengalami stagnasi (jumud). Wallahu a‘lam.

Isyatul Luthfi
Isyatul Luthfi
Alumni Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir IAIN Langsa. Minat pada kajian tafsir tematik, tafsir tahlili, hermeneutika dan tafsir Nusantara
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...