BerandaTafsir TematikMengulas Penafsiran Q.S. al-Alaq Ayat 1-5 dari Kacamata Tafsir non Tarbawi

Mengulas Penafsiran Q.S. al-Alaq Ayat 1-5 dari Kacamata Tafsir non Tarbawi

Selain diakui sebagai wahyu pertama yang diturunkan Q.S. al-Alaq (96) juga kerap dijadikan rujukan utama dalam pengembangan wacana Tafsir Tarbawi. Term iqra’, ‘allama dan al-qalam menjadi kata kunci utama yang dibahas dalam penafsiran yang berorientasi pada wacana tarbiyyah.

Namun sebagaimana diketahui bahwa wacana Tafsir Tarbawi merupakan wacana mutakhir dalam pengembangan kajian tafsir. Secara lebih spesifik bahkan corak tafsir tersebut hanya bisa ditemui dalam karya-karya yang gamblang menentukan corak penafsiran yang diaplikasikannya. Seperti halnya karya Anwar al-Baz yang berjudul al-Tafsir al-Tarbawi li al-Qur’an al-Karim—kitab tafsir bercorak tarbawi yang menghimpun 30 juz pembahasan dan mungkin akan penulis ulas di edisi tulisan selanjutnya.

Oleh karena itu, akan menarik jika tulisan ini mengulas penafsiran dengan orientasi berbeda terhadap topik yang biasa dibicarakan dalam wacana Tafsir Tarbawi. Dengan begitu akan terlihat bagaimana perkembangan penafsiran terhadap ayat tersebut dan meninjau perbedaan atensi penjelasan serta metode dalam masing-masing penafsiran yang disajikan.

Q.S. al-Alaq (96): 1-5 dalam Tafsir Klasik, Pertengahan dan Modern

Dalam uraian ini akan ditampilkan beberapa penafsiran dari kitab-kitab tafsir yang mu’tabarah sebagai rujukan. Di mulai dari al-Tabari—sebagai representasi tafsir era Klasik—dengan karyanya Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an, ia menafsirkan ayat iqra’ sampai ‘allama bi al-qalam dengan mengutip beberapa riwayat. Pada penjelasan iqra’, Tabari hanya mengulasnya sebagai ayat yang pertama kali diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad dengan menyisipkan kisah Nabi yang “dipaksa” Jibril untuk iqra’.

Baca Juga: Membaca Al-Qur’an sebagai Fenomena Resepsi dalam Kehidupan Sehari-hari

Lalu pada term al-qalam, Tabari menyinggungnya sebagai nikmat yang agung dan sebab tegaknya kehidupan. Ia tidak menyepadankannya dengan representasi makna apapun yang sebenarnya mungkin didapati dari makna lafziyyah-nya. Selanjutnya pada kalimat ‘allama al-insan ma lam ya’lam justru baru dijumpai makna lafziyyah dari al-qalam di mana ia mengutip beberapa riwayat—salah satu riwayat dibawa oleh seseorang bernama Yunus—yang menyampaikan bahwa maksudnya ialah “mengajarkan tulisan kepada manusia dengan pena”.

Sementara itu, Ibn Katsir—sebagai representasi tafsir era Pertengahan—justru memperlihatkan penafsiran yang lebih luas dari Tabari meskipun ada beberapa hal yang sama. Kesamaannya terletak pada pemaknaan iqra’ yang sama sekali tidak menyinggung sisi kebahasaannya dan cenderung langsung masuk pada fenomena turunnya wahyu pertama kali. Lalu perbedaannya dapat dijumpai pada perluasan makna pada ayat-ayat selanjutnya.

Ibn Katsir menjelaskan bahwa ‘alaqah sebagai bagian dari awal penciptaan manusia menunjukkan beberapa kemuliaan manusia itu sendiri. Kemuliaan itu di antaranya manusia diajarkan langsung oleh Allah apa yang tidak diketahuinya, lalu ilmu yang diberikan itu menjadi pembeda antara manusia dan malaikat. Ibn Katsir juga menjelaskan bahwa ilmu itu dapat terepresentasikan ke dalam tiga hal yaitu pikiran, lisan dan tulisan (dzhinny, lafzy dan rasmy).

Pendapat menarik lainnya datang dari Imam al-Maraghi sebagai salah satu generasi mufasir modern. Maraghi membahas bahwa perintah iqra’ yang terulang menunjukkan bahwa membaca tidak akan bisa terpatri ke dalam jiwa apabila tidak diiringi dengan konsistensi dan keistiqomahan. Lalu pada term al-qalam, ia melakukan pemaknaan yang melampaui sisi lafziyah teks dengan menafsirkannya sebagai sarana komunikasi antar sesama manusia.

Maksud dari Maraghi ialah bahwa al-qalam merupakan alat penunjang aktivitas korespondensi maupun transfer keilmuan. Selanjutnya Maraghi memberi tambahan bahwa kemuliaan manusia dengan ilmu hanya bisa didapat melalui aktivitas membaca dan menulis. Maka ia pun menyimpulkan bahwa ayat ini merupakan dalil atau hujjah tentang keutamaan membaca, menulis dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Apakah Boleh Membaca Al-Qur’an dengan Dilanggamkan Atau Dilagukan?

Dari ketiga pendapat tersebut dapat dijumpai bahwa penafsiran yang berorientasi umum atau non tarbawi ditemukan pola penafsiran yang menarik. Pola penafsiran tersebut bisa dilihat bahwa penafsiran yang tidak berorientasi pada wacana Tafsir Tarbawi dan tergolong dalam kategori tafsir klasik dan pertengahan, cenderung masih berkutat pada kisah pewahyuan pertama dan kurang memperhatikan sisi lafziyyah teks.

Adapun penafsiran yang sudah masuk di era modern meskipun tidak secara spesifik membahasakan penafsirannya sebagai Tafsir Tarbawi namun sudah memperlihatkan substansi pendidikan dalam ayat tersebut. Hal ini disebabkan oleh kajian dilakukan sudah mulai berkutat pada sisi kebahasaan teks dan upaya mengungkap al-i’jaz al-lughawi (mukjizat kebahasaan) dari teks serta merelevansikannya dengan konteks yang ada di zamannya kala itu. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Alasan Kiai Misbah Musthofa Tolak MTQ

Menghidupkan Islam dengan Irama: Potret Seni Tilawatil Qur’an di Indonesia

0
Seni Qiraat Alquran dan tilawatil Qur’an telah tersebar di berbagai penjuru dunia dan masih berkembang hingga saat ini. Adanya perkembangan seni Alquran menjadikan setiap...