Sumpah Pemuda merupakan istilah yang dikenal oleh bangsa kita sebagai hasil dari Kongres Pemuda kedua tahun 1928. Kongres yang diselenggarakan di Batavia pada 27 – 28 Oktober ini, digadang-gadang sebagai bentuk kristalisasi semangat bangsa untuk berdirinya negara Indonesia.
Kongres yang menjadi saksi ikrarnya pemuda-pemuda bangsa dari berbagai etnis di Indonesia ini, menyatakan cita-cita untuk bersatu. Sehingga, muncullah itikad dan keseriusan pemuda bangsa untuk mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Dan menjunjung Bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Tentu, keputusan Kongres yang awalnya ditulis oleh Moehammad Yamin di secarik kertas lalu disetujui Soegondo. Kemudian diteruskan kepada peserta lain dan berdampak pada setiap lini kehidupan berbangsa. Salah satu lini yang mendapatkan pengaruh adalah khazanah tafsir Al Qur’an.
Mengutip Islah Gusmian dalam artikel “Bahasa dan Aksara Tafsir Al Qur’an di Indonesia”, penyebab literatur tafsir Al-Quran semakin dominan ditulis dalam Bahasa Indonesia dengan aksara Roman (latin) adalah sumpah pemuda. Terlebih salah satu ikrarnya menyebut berbahasa satu Bahasa Indonesia.
Tentu perlu kita lihat bagaimana khazanah tafsir Al-Quran di Nusantara serta penggunaan bahasanya sebelum dan sesudah sumpah pemuda.
Tafsir Al-Quran Sebelum Sumpah Pemuda
Pada abad ke-17 M, karya-karya tafsir Al-Quran di Nusantara ditulis dengan bahasa Melayu beraksara Arab, yang biasa disebut Jawi Melayu. Penggunaan bahasa dan aksara ini sebenarnya juga terpengaruh atas penggunaan bahasa resmi pemerintahan, antarnegara, dan perdagangan. Saat itu bahasa Melayu memang menjadi lingua franca. Sementara aksara Arab digunakan karena pada akhir abad ke-16 pembahasa lokalan Islam sudah terjadi di berbagai wilayah Nusantara.
Salah satu contoh tafsir yang berkembang saat itu adalah Turjuman Al-Mustafid. Tafsir yang ditulis oleh Syekh Abdur Rauf Singkil ini ditulis secara lengkap 30 juz dengan bahasa Melayu Jawi. Meskipun begitu, naskah ini juga tidak sekedar dicetak di wilayah Melayu dan sekitarnya saja, namun sampai di Timur Tengah bahkan Afrika Selatan. Hal ini tentu beriringan dengan persebaran masyarakat Nusantara saat itu.
Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Abdurrauf As-Singkili
Penggunaan bahasa Melayu Jawi ternyata hanya dikuasai oleh orang-orang tertentu, seperti kalangan pemerintahan, terpelajar dan pedagang. Sedangkan di luar kalangan itu masih banyak yang menggunakan bahasa daerah masing-masing, termasuk di Jawa
Pada abad ke-18 banyak tafsir yang konsisten menggunakan bahasa Jawa. Sebelum maraknya penggunaan aksara pegon yang berbahasa Jawa namun beraksara Arab, literatur tafsir ditulis dengan bahasa Jawa hanacaraka. Salah satu naskah yang sekarang menjadi koleksi perpustakaan Leiden Belanda, ditulis menggunakan bahasa Jawa. Naskah ini memiliki kode Lor 2097 R 15.710. Sementara itu, selain tafsir banyak juga literatur keagamaan yang ditulis dengan bahasa dan aksara Jawa. Hal ini karena keraton-keraton baik Solo, Yogyakrata, dan Cirebon dominan menggunakan bahasa dan aksara ini.
Seiring berjalannya waktu, literatur tafsir Al-Quran di Jawa mulai menampilkan aksara Arab pegon. Pesantren menjadi salah satu penjaga tradisi literasi ini, yang mana kelak dianggap sebagai perwakilan dari kalangan tradisionalis. Tentu ini berbeda dengan kalangan modernis, yang mulai mendahulukan penulisan bahasa Melayu dengan aksara Roman.
Kala itu, salah satu pegaruh kuat romanisasi bahasa adalah diterapkannya Politik Etis. Tentu, masayarakat Indonesia mulai dekat dengan aksara Roman karena di bidang administrasi kepegawaian, Pendidikan, dan lainnya menggunakan aksara ini. Termasuk juga berlaku di media massa. Berbagai koran dan majalah pribumi pada dekade 1900-an pun mendorong merebaknya aksara Roman.
Beberapa media pribumi yang menggunakan aksara Roman yaitu, Medan Prijaji yang terbit tahun 1906 di bawah pimpinan Tirtoadisoerjo. Al-Islam pimpinan Tjokroaminoto pada 1916, serta Neraca pimpinan Abdoel Moeis dan Haji Agus Salim pada tahun 1916. Munculnya media-media yang tak lagi menggunakan aksara Arab ini menjadikan tanda bahwa bahasa Melayu dengan aksara Roman juga menjadi pilihan sebagian tokoh muslim saat itu.
Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Sholeh Darat As-Samarani
Tafsir Al-Quran Sesudah Sumpah Pemuda
Terjadinya Sumpah Pemuda ternyata menginspirasi ulama-ulama yang ingin lebih luas jangkauan pembaca karya tafsirnya. Salah satu tokoh yang menggunakan aksara Roman adalah Mahmud Yunus. Ia semula menerbitkan tiga juz pertama dari tafsirnya menggunakan Jawi Melayu pada tahun 1922. Namun pada tahun 1938 jauh setelah adanya Sumpah Pemuda, Mahmud Yunus justru melengkapi tafsirnya dengan murni bahasa Indonesia.
Dari keputusan itu, tak heran jika Mahmud Yunus kelak dikenal sebagai pelopor tafsir Al Qur’an berbahasa Indonesia. Bahkan hadirnya pola baru oleh tafsir Mahmud Yunus ini, semakin menguatkan identitas modern dan memberikan dinamika tafsir yang lebih beragam.
Baca Juga: Menilik Asal Mula dan Proses Berkembangnya Kajian Al-Quran di Indonesia (1)
Selain Mahmud Yunus, ada juga tafsir Al-Quran yang menggunakan bahasa Indonesia seperti Tafsir Al-Furqan karya A. Hassan, Tafsir Al-Quran Al-Karim karya H.A. Halim Hassan, H. Zainal Arifin Abbas, dan Abdurrahim Haitami yang terbit pertama kali April 1937). Tafsir an-Nur karya T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang dicetak pertama kali pada tahun 1956. Kemudian Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka hingga Tafsir Al Misbah Karya M. Quraish Shihab.
Dengan semakin banyaknya kitab tafsir dengan bahasa Indonesia, tentu ini menunjukkan pengaruh yang kuat setelah adanya Sumpah Pemuda. Tentu, hal ini tidak menafikan keberadaan tafsir-tafsir beraksara pegon atau Jawi Melayu yang masih kita temukan saat ini. Keragaman tafsir Al Qur’an menunjukkan khazanah yang luar biasa. Wallahu A’lam