Gaya hidup menjadi bagian dari cara manusia bersosial yang semakin ke sini dapat menjadi penentu untuk masuk dalam kelas sosial atau lingkaran tertentu. Sejak zaman Fir’aun, gaya hidup mewah dan tidak sederhana telah dilakukan oleh kalangan elite istana. Qarun pada saat itu senantiasa memparadekan kemewahan hidupnya hingga kalangan pada umumnya, kecuali ahli ilmu, mencita-citakan kesuksesan dan kemewahan serupa.
Menurut al-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasyaf an Haqaiq Ghawamid al-Tanzil, pandangan akan gaya hidup yang tidak sederhana ini merupakan hal yang dilarang atau mustahil bagi Nabi. Secara analogis, jika Nabi saw. memandang takjub akan kemewahan dan menganggapnya hal baik, maka akan sama dengan mereka yang takjub kepada Qarun. Tafsiran al-Zamakhsyari ini dapat kita baca saat beliau memaknai surah Thaha ayat 131.
وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلى ما مَتَّعْنا بِهِ أَزْواجاً مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَياةِ الدُّنْيا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقى
“Dan janganlah engkau tujukan pandangan kedua matamu kepada kenikmatan yang telah kami berikan kepada beberapa kalangan dari mereka, bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka di dalamnya. Karunia Tuhanmu lebih baik dan kekal.”
Kaidah Memandang Kemewahan
al-Zamakhsyari melanjutkan bahwa memandang suatu kemewahan jika tidak berkepanjangan maka tiada menjadi masalah, seperti halnya memandang sesuatu karena ia tampak di hadapan kemudian lekas menundukkan pandangan. Adapun ketika suatu kemewahan tersebut tampak dan memandangnya menjadikan kita memiliki kencenderungan untuk berlama sehingga menginginkannya maka berlaku, dan janganlah engkau tujukan pandanganmu, yakni jangan lakukan apa yang jadi kebiasaan itu.
Menurut al-Zamakhsyari, para ulama dari ahli taqwa sangat ketat dalam mewajibkan menjaga pandangan dari bangunan mewah yang ‘zalim’, kemewahan pakaian dan kendaraan yang ‘cabul’, serta berbagai ketidaksederhanaan yang lain. Menjaga pandangan ini penting karena suatu pandangan dapat mengantarkan pada kecenderungan untuk menuju atau memilikinya, ia menjadi penggoda untuk dapat meraihnya. Sementara gaya hidup hedon ini datang dari kalangan yang mengingkari ajaran Islam.
Baca juga: Kisah Qarun Dalam Al-Quran: Orang Paling Kaya Pada Zaman Nabi Musa
Kata al-zahrah menurut al-Zamakhsyari berarti al-zinah atau perhiasan dan al-bahjah atau keindahan yang menyenangkan, dapat pula dimaknai sebagai jamak zahir atau yang bersinar berbunga. Oleh karenanya, al-zahrah al-hayat al-dunya disifatkan kepada kalangan yang hedon karena mereka menganggap terang berwarna dunia ini dari apa yang mereka senangi dan nikmati. Mereka menyambutnya dengan meriah meraihnya dengan cara yang berbeda dengan kaum Mukmin dan salih yang menganggap dunia serba pucat dan mencukupkan diri dengan kesederhanaan. Keindahan dunia ini menjadi ujian bagi mereka, menurut al-Zamakhsyari, hingga mereka menjumpai azab karena pengingkarannya. Disebabkan pula karena harta mereka yang didapatkan dari korupsi.
Adapun rezeki yang halal dari Allah lebih baik dan kekal karena Dia tidak akan memberikan kecuali yang halal. Allah tidak akan memberi kesenangan sejati melalui yang haram dan busuk. Menurut al-Zamakhsyari, sesuatu yang haram tidaklah dapat dikatakan sebagai rezeki. Di titik ini, dapat kita maknai bahwa memandang suatu kemewahan yang mengantar pada hedonisme nan korup lebih baik lekas dihentikan. Jika pun Allah bukakan pintu rezeki untuk kita, maka dengan menjaga pandangan, kita akan sadar banyak orang yang lebih membutuhkannya ketimbang hal tersier yang belum tentu bermanfaat untuk diri sendiri.
Gaya Hidup Nabi saw.: Memperjuangkan Kesederhanaan
Beberapa riwayat yang kami kutip di sini tidak bertujuan untuk menggambarkan bahwa Islam mengajarkan kemunduran lebih-lebih kemurungan. Hedonisme membuat manusia modern cenderung melihat kesederhanaan sebagai kemalangan dan kesusahan. Seorang dengan pakaian, kendaraan, hingga gawai yang sederhana bisa dilabel sebagai melarat oleh mereka yang menganggap merek mahal adalah penentu status sosial. Semisal riwayat-riwayat di bawah ini menimbulkan tafsir yang, ‘oh kok ngenes sekali ajaran kanjeng Nabi’, maka perlu diwaspadai jangan-jangan paradigma hedonisme telah ter-install di benak kita.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: لَمْ يَأْكُلِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خِوَانٍ حَتَّى مَاتَ وَمَا أَكَلَ خُبْزًا مُرَقَّقًا حَتَّى مَاتَ
“Dari Anas (bin Malik) ra. beliau berkata, “Nabi saw. tidak pernah bersantap di atas meja makan hingga beliau meninggal. Beliau pun tidak pernah memakan roti lebar yang ditipiskan hingga beliau meninggal.” (Dimuat oleh Imam Bukhari dalam al-Jami’ al-Shahih)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: مَا أَكَلَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْلَتَيْنِ فِي يَوْمٍ إِلَّا إِحْدَاهُمَا تَمْرٌ
“Dari Aisyah ra. beliau berkata, “tidaklah keluarga Muhammad saw. makan sehari dua kali kecuali salah satu di antaranya ialah kurma.” (Dimuat oleh Imam Bukhari dalam al-Jami’ al-Shahih)
Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadis di atas dalam kitab beliau Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari. Beliau katakan bahwa hadis di atas adalah isyarat bahwa keluarga Nabi saw. tidak makan kecuali hanya sekali dalam sehari. Jikapun didapati dua kali makan dalam sehari, maka salah satunya hanyalah kurma.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ فِرَاشُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَدَمٍ وَحَشْوُهُ مِنْ لِيفٍ
“Dari Aisyah ra. beliau berkata, “ranjang Rasulullah saw terbuat dari kulit yang diisi dengan serabut.” (Dimuat oleh Imam Bukhari dalam al-Jami’ al-Shahih)
Masih banyak riwayat lain terkait bagaimana keseharian Nabi saw. yang sederhana. Jika sebelumnya beliau ada di lingkaran elite Quraisy, ketika memimpin kaum Muslim beliau melenyapkan demarkasi antara elite dan proletar. Melalui gaya hidup sederhana yang biasa dijalankan masyarakat akar rumput, beliau memperlihatkan bahwa tidak semestinya kemampuan berkuasa mensubordinasi kelemahan rakyat jelata. Alih-alih menampilkan diri eksklusif dengan kemewahan ‘berkelas’, Nabi saw. justru menyamakan gaya hidup dengan kaum yang seringkali dipandang sebagai kelas terendah nan tak bergengsi.
Jika menuruti kemewahan tentu beliau sangat sanggup, namun kembali kepada perintah Allah untuk beliau dalam menjaga pandangan akan bunga dunia, jalan yang beliau pilih adalah kesederhanaan.
Cinta Rasulullah Mengikis Kesenjangan: Refleksi Manusia Modern
Masyarakat Indonesia modern dengan gaji UMR jika mengikuti gaya hidup Nabi saw. maka pasti bisa berbagi dengan yang lain. Terlebih jika memiliki jabatan struktural, atau usaha mandiri yang telah mapan. Kesadaran individual menjadikan kita kurang peka terhadap sekitar.
Terkait makanan misalnya terkadang kita bisa menghabiskan lima ratus ribu untuk sekali makan. Bahkan ada pula yang foya-foya menghabiskan tiga ratus juta sekali nongkrong. Demi memuaskan rasa penasaran akan produk tertentu atau sekedar demi gengsi. Terlebih lagi di instansi-instansi yang telah mapan, jamuan untuk kalangan struktural bisa lima hingga lima puluh juta sekali makan hanya untuk beberapa orang yang cukup dihitung jari. Angka yang menurut masyarakat biasa terbilang tinggi itu muncul karena budaya ‘representatif’.
Mari kita buat permisalan. BPS DKI Jakarta pada tahun 2020 mencatat terdapat 1654 perusahaan swasta yang ada di Ibu Kota. Jika setiap perusahaan tersebut menghabiskan hanya lima juta untuk konsumsi struktural, maka dalam satu kali makan-makan di seluruh instansi di DKI totalnya Rp. 8,2 M. Bagaimana jika jamuan tersebut sepekan sekali atau bahkan satu bulan sepuluh kali? Jika dikali empat saja maka ketemu 32,8 M. Kisaran angka yang dapat untuk beasiswa pendidikan, jaminan kesehatan, hingga keperluan harian lebih dari tiga ribu orang yang tidak mampu.
Baca juga: Zaman Kapitalisme, Banyak Tipuan Dunia! Tafsir Kiai Sahal Mahfudh [Bagian 3]
Ajaran kesederhanaan dari Nabi saw. adalah jalan keluar bagi banyak orang jika kita yang mampu menyadari bahwa keberlangsungan kehidupan orang lain juga penting. Setidaknya lebih penting daripada rasa di lidah yang akan hilang dalam hitungan menit. Lebih penting dari hal tersier yang hanya menambah gengsi alih-alih manfaat yang berkesinambungan.
Nabi saw. bukan memotivasi kita untuk menjadi miskin dan malas bekerja. Beliau senantiasa bersemangat dalam menjalankan segala aktivitas. Beliau mengajarkan kesederhanaan untuk keseimbangan sosial, sesuai semangat ayat 131 surah Thaha di atas, agar jangan keinginan tersier membutakan kita akan kebutuhan primer orang-orang di sekitar kita.