BerandaTafsir TematikPerbedaan Penafsiran Surah Al-Nisā’ : 34 dari Klasik hingga Kontemporer

Perbedaan Penafsiran Surah Al-Nisā’ [4]: 34 dari Klasik hingga Kontemporer

Artikel ini akan mengulas tentang posisi laki-laki dan perempuan dalam penafsiran al-Quran terutama yang tercantum dalam Surah Al-Nisa Ayat 34. Para pemerhati tafsir kontemporer banyak mengulas ayat ini dengan berbagai pendekatan, tujuannya adalah untuk menggali makna  dari ayat yang tampak “bias gender”.

Pertanyaannya kemudian bagaimana perbedaan yang mendasar terhadap penafsiran ayat tersebut? Terutama antara pendapat para mufasir klasik dengan kontemporer. Mari kita bahas lebih lanjut.

Berikut adalah redaksi Surah Al-Nisa Ayat 34:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Q.S. Al-Nisā’ [4]: 34).

Imam Al-Qurţubi menafisrkan kata qawwāmūn sebagai bentuk insentif dari kata qiyām yang artinya adalah “melaksanakan”, dengan demikian laki-laki adalah subjek pelaksana, maka segala yang terkait dengannya adalah akan patuh terhadap pelaksana, qiyām juga memiliki arti sebagai penjaga. Jika dalam konteks ayat tersebut, Al-Qurţubi menybutkan:

يقومون بالنفقة عليهن والذب عنهن، وأيضا فإن فيهم الحكام والأمراء ومن يغزو، وليس ذلك في النساء

Laki laiki bertanggung jawab memberi nafkah atas istri-istrinya, dan juga laki-laki berhak menjadi seorang hakim dan pemimpin dan selainnya, bukan dari golongan perempuan. (Al-Qurţubi V: 168).

Penafsrian Imam Al-Qurţubi tidak berbeda jauh dengan penafsiran Ibnu Katsīr, yang membedakan adalah, Ibnu Katsīr memberikan alasan kenapa laki-laki diberikan peran lebih daripada perempuan sebagaimana yang tertuang dalam ayat tersbut.

Baca Juga: Hikmah Dibalik Ayat-Ayat Waris dan Derajat Perempuan di Masa Jahiliah

Ibnu Katsīr menyebutkan الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ berarti laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, lelaki juga merupakan hakim bagi perempuan, dan laki-laki juga diberikan kelebihan sebagai pengajar (ta’dib) bagi perempuan, alasannya adalah karena laki-laki diberi keutamaan lebih dibanding perempuan, bahkan Ibnu Katsīr menyebutnya dengan lianna al-Rijāl afdalu min al-Nisā’ (laki-laki lebih utama dibanding perempuan) (Ibnu Katsīr, II, 292).

Lebih lanjut Ibnu Katsīr juga mengatakan bahwa alasan laki-laki lebih utama dari perempuan dibuktikan dengan para nabi dan para raja-raja terdahulu adalah dari golongan laki-laki. Ibnu Katsīr kemudian mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari:

“لن يُفلِح قومٌ وَلَّوا أمْرَهُم امرأة”

Suatu kaum tidak akan berhasil jika dipimpin oleh perempuan.

Berbeda dengan beberapa mufassir kontemporer yang cenderung tidak sepakat terkait superioritas laki-laki terhadap perempuan, seperti Fazlurrahman yang mengatakan bahwa dalam konteks Surah Al-Nisa Ayat 34 kewenangan seorang laki-laki tidaklah melekat secara absolut, melainkan hanya sebatas pada ranah fungsional, ia pun menerjemahkan terkait lafaz بَعضُهم  dalam Surah Al-Nisa Ayat 34 sebagai “manusia” bukan hanya “laki-laki”.

Yang artinya bukan hanya lak-laki yang mendapatkan ‘keutamaan’ melainkan dengan mengartikan diksi بَعضُهم sebagai “manusia” secara universal maka keutmaan tersebut bisa juga diberikan kepada perempuan (Al-Qur’an Abad 21: 206-207).

Dari sini dapat dipahami bahwa penekanan yang paling dominan dari Surah Al-Nisa Ayat 34 adalah bukan pada jenis kelaminnya melainkan dilihat dari sisi fungsional antar sesama, manakala di antara manusia tersebut terdepan seorang diberikan keutamaan (تَفْضِيِل) oleh Allah maka dialah yang berhak untuk menjadi qiyām bagi hubungan keluarganya atau lebih luas dalam lingkup suatu kepemimpinan negara.

Analisis bahasa yang juga dilakukan oleh Muhammad Syahrur tampaknya memberikan kesimpulan yang tidak jauh berbeda dengan Rahman, yang membedakan adalah jika Syahrur beranggapan Surah Al-Nisa Ayat 34 tidak hanya sebatas hubungan keluarga, melainkan lebih luas dalam lingkup kelompok masyarakat, bahkan dalam kancah kenegaraan.

Sebagaimana Rahman, Syahrur menganggap diksi qiwāman, tidak menyorot kepada jenis kelamin, melainkan menyorot kepada kualitas keduanya. Syahrur kemudian menganalisis dari segi kata الرجال jika dilihat dari akar katanya adalah ر, ج, ل  yang pada mulanya digunakan sebagai kata رجل (kaki) yang identik dengan “berjalan/penopang/berlari”, sedangkan diksi النِّسَاء yang merupakan akar katanya adalah ن,س,أ yang pada mulanya digunakan sebagai kata “lambat/pelan”.

Penggunaan kedua diksi tersebut adalah berkaitan erat dengan konteks (makro) –meminjam istilah Abdullah Saeed– masyarakat Arab pada 7 M yang mana seorang laki-laki direpresentasikan sebagai manusia yang tangguh, pekerja keras, pelaksana perang, dan pemegang peran penting.

Baca Juga: Memuliakan Perempuan, Memuliakan Peradaban: Intisari Doa Asiyah Binti Muzahim

Berbeda dengan perempuan yang perannya terbatas. Jadi pada kasus Surah Al-Nisa Ayat 34 dalam konteks kontemporer tidak menyorot pada jenis kelamin tertentu, melainkan lebih kepada sejauh peran di antara keduanya, sebagaimana Rahman, dia yang memiliki peran dan potensi maka dia lah menjadi qawwāmūn (The Qur’an Morality and Critical Reason, 276).

Dari berbedaan penafsiran tersebut, penulis dapat menyimpulkan dan sekaligus mengambil posisi, terkait penafsiran yang ditawarkan oleh ulama klasik dapat dijadikan sebagai basic dasar, di mana dalam prakti-praktik keagamaan yang sifatnya mendasar seperti Imam shalat, Adzan, Khutbah Jum’ah dan sebagainya laki-laki diberikan hak lebih daripada perempuan, (kecuali dalam ‘udzur tertentu).

Akan tetapi dalam konteks hubungan sosial kita dapat mengamini pendapat para mufassir kontemporer, bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama, baik peran dalam lingkup sosial mikro maupun makro. Laki-laki dan perempuan memiliki hak pendidikan yang sama, memiliki hak akses publik yang sama seperti pejabat negara dan sebagainya, tanpa adanya tindak diskriminatif berlandaskan jenis kelamin. Wallahu A’lam.

- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU