Isra Mikraj merupakan salah satu peristiwa sejarah hidup nabi Muhammad saw yang sering dirayakan oleh umat Islam di samping perjalanan hijrah beliau. Di Indonesia misalnya, ketika bulan Rajab tiba, masyarakat muslim berbondong-bondong merayakan Isra Mikraj melalui berbagai macam perayaan dengan tujuan mengingat kembali dan meneladani peristiwa tersebut.
Sebenarnya apakah Isra Mikraj itu? Secara istilah, Isra adalah perjalanan Rasulullah saw pada suatu malam dari Masjid al-Haram di Makkah ke Masjid al-Aqsa di Palestina. Sedangkan Mikraj adalah perjalanan naiknya Rasulullah saw ke Sidratul Muntaha yang terletak di ujung semesta, lebih tepatnya bagian paling atas setelah langit ke tujuh (Misteri dan Keajaiban Isra Mikraj).
Peristiwa Isra Mikraj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah sebelum Rasulullah saw hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mikraj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mikraj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang populer.
Baca Juga: Surat Al-Isra Ayat 1: Makna Kata Asrā dan Ketelitian Pemilihan Diksi Al-Quran
Namun, Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam Rahiq al-Makhtum menolak pendapat tersebut dengan alasan karena Khadijah ra meninggal pada bulan Ramadan tahun ke-10 kenabian, yaitu 2 bulan setelah bulan Rajab, dan saat itu belum ada kewajiban salat lima waktu. Al-Mubarakfuri kemudian menyebutkan 6 pendapat tentang waktu kejadian Isra Mikraj.
Terlepas dari perdebatan kapan terjadinya Isra Mikraj, penulis meyakini bahwa peristiwa ini merupakan bagian realitas sejarah yang benar-benar pernah terjadi di masa lampau, bukan sebagai metafora sebagaimana disebutkan oleh sebagian orang. Sebab Allah swt telah mengisahkan kejadian tersebut sebagai tanda kekuasaan-Nya dalam surah al-Isra’ [17] ayat 1 yang berbunyi:
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ١
“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’ [17] ayat 1)
Menurut Quraish Shihab, ayat di atas secara jelas menguraikan terjadinya Isra nabi Muhammad saw dari Masjid al-Haram di Mekah menuju Masjid al-Aqsha di Yerusalem, Palestina. Kendati demikian, Allah swt tidak menjelaskan secara rinci apakah Isra Mikraj nabi saw terjadi dengan ruh dan jasad, ruh saja ataukah dengan mimpi saja (Tafsir Al-Misbah [7]: 406).
Berkenaan dengan hal ini, para ulama berbeda pendapat. Masing-masing mengemukakan dalil-dalil yang argumentatif, baik dari segi redaksi ayat ataupun dalil-dalil yang lain. Mereka juga berbeda pendapat tentang Mikraj nabi Muhammad saw yang sama sekali tidak disinggung dalam surah al-Isra’ [17] ayat 1 ini. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa keduanya (Isra dan Mikraj) disebutkan sepaket.
Al-Sa’adi menuturkan dalam Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan bahwa surah al-Isra’ [17] ayat 1 bercerita tentang Isra nabi Muhammad saw dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha dengan badan dan ruh beliau bersamaan. Kemudian beliau di-mikraj-kan dari Masjid al-Aqsha menuju langit tertinggi (al-samawat al-ulya).
Dalam perjalanan Mikraj tersebut, nabi Muhammad saw melihat surga, neraka, dan para nabi yang berada pada tempat mereka. Selain itu, pada malam Isra Mikraj beliau juga menerima kewajiban shalat sebanyak 50 waktu. Akan tetapi setelah beberapa kali meminta kemudahan kepada Allah swt – atas saran nabi Musa – kewajiban ini berkurang menjadi 5 waktu dengan catatan tetap diberikan pahala yang sama.
Syekh Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya, Marah Labid, menceritakan – berdasarkan riwayat Ibnu Abbas – bahwa ketika nabi Muhammad saw menceritakan peristiwa Isra Mikraj kepada jamaah Masjid al-Haram, Abu Lahab mendustakan dan mencela beliau dengan berbagai argumentasi yang menujukkan ketidakbenaran peristiwa itu. Akibatnya, kala itu sebagian orang berpaling dari Islam (murtad).
Di tengah-tengah keraguan umat Islam, Abu Bakar ash-Shiddiq kemudian maju sebagai orang yang membela nabi saw dan berkata, “Apa yang dikatakan Muhammad adalah kebenaran yang nyata. Bahkan seandainya ia mengatakan sesuatu yang lebih mustahil dari itu aku akan tetap membenarkannya.” Karena sikapnya inilah Abu bakar kemudian diberi gelar ash-Shiddiq.
Syekh Nawawi al-Bantani menegaskan surah al-Isra’ [17] ayat 1 merupakan bukti kekuasaan dan kemuliaan Allah swt. Selain itu, ayat ini juga berfungsi sebagai isyarat keistimewaan nabi Muhammad saw, karena peristiwa Isra Mikraj hanya dikhususkan pada beliau dan tidak dialami oleh nabi atau rasul yang lain (Marah Labid [1]: 615).
Abu al-Qasim Mahmud al-Zamakhsyari dalam kitabnya, al-Kasysyaf ‘An Haqa’iq al-Tanzil Wa ‘Uyun al-Aqawil Fi Wujuh al-Ta’wil, mengisahkan bahwa terjadi perdebatan di kalangan ulama mengenai peristiwa Isra Mikraj tentang kapan terjadinya dan apakah dialami nabi saw dalam keadaan terjaga atau tidur. Dari pemaparannya tersebut, ia condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa nabi Mikraj hanya dengan ruh beliau.
Terlepas dari perdebatan kapan dan bagaimana Isra Mikraj terjadi, satu hal yang pasti, yakni bahwa peristiwa ini benar terjadi dan merupakan mukjizat nabi Muhammad saw sekaligus ujian bagi keimanan umat Islam kala itu. Menurut sebagian ulama, Isra Mikraj adalah bentuk hiburan kepada baginda pasca melalui tahun kesedihan (‘am al-huzn), yakni wafatnya dua tokoh pendukung beliau, Siti Khadijah dan Abu Thalib.
Melalui peristiwa Isra Mikraj, kita juga dapat mengetahui bagaimana karakter nabi Muhammad yang sangat peduli dengan kemanusiaan. Muhammad Iqbal dalam The Reconstuction of Religious Thought in Islam dengan piawai membandingkan daya jangkau kenabian (prophetic) dengan daya jangkau manusia biasa. Iqbal mengambil kata-kata Abdul Quddus, penyair sufi, yang mengandaikan dirinya melakukan Isra Mikraj.
Baca Juga: Tafsir Sufistik Ibn Ajibah: Memahami Al-Quran dan Memahami Allah Swt
Abdul Quddus berujar bilamana ia sampai ke langit tertinggi untuk menjumpai Allah Dzat yang dirindukan para salik, maka barang tentu ia enggan kembali lagi ke bumi. Namun tidak demikian halnya dengan nabi Muhammad saw, yang kembali turun ke bumi untuk mengabarkan kewajiban shalat serta firman-firman lainnya dari Allah swt. Hal ini berarti Nabi saw memiliki daya jangkau yang mengutamakan nasib umatnya, bukan pribadi beliau.
Kita sebagai umat nabi Muhammad saw sudah sepantasnya untuk meneladani sikap dan sifat nabi tersebut. Kita tidak boleh diam, sementara dunia dan penduduknya perlahan-lahan tenggelam dalam kemalangan. Kepedulian Nabi saw terhadap manusia dan kemanusiaan perlu diteladani dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan sebaik mungkin agar kebahagiaan dunia dan akhirat bisa tercapai. Wallahu a’lam.