Makna sebuah kata dalam ayat Al-Qur’an seringkali dijumpai berbeda-beda, baik ditemui dalam tradisi penafsiran, terjemahan, maupun dalam bentuk lainnya. Perbedaan tersebut merupakan bentuk perluasan makna dar asalnya, yang disebabkan oleh beberapa faktor. Di sini, Mardjoko Idris termasuk sarjana bidang Ilmu Balaghah, yang mengurai tiga faktor terjadinya perluasan makna, sebagaimana dalam bukunya Pertentangan dan Perbedaan Makna dalam Al-Qur’an.
Menurut Mardjoko Idris bahwa yang dimaksud perluasan makna adalah adanya makna selain makna yang asli, leksikal atau kamus. Dalam linguistik Arab, makna selain makna yang asli disebut ta’adudul-makna (berbilangnya makna). Ini terjadi karena kemungkinan tiga faktor, yakni (1) Konteks bahasa, (2) Gaya bahasa majaz, dan (3) Perbedaan mufrad. Tulisan ini akan menjelaskan secara ringkas tiga faktor tersebut.
Tentang Mardjoko Idris dan Kajiannya
Mardjoko Idris merupakan dosen di fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliau menempuh jenjang pendidikan S1 hingga S3 di kampus tempat mengajarnya tersebut, UIN Sunan Kalijaga. Sebelumnya, beliau belajar pada Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah di Ngesrep, kemudian di SMA Al-Islam/MAAIN Surakarta (tidak selesai), kemudian di KMI Pondok Modern Gontor Ponorgo.
Baca Juga: Empat Catatan Muchlis M. Hanafi atas Perkembangan Tafsir Tematik di Indonesia
Mardjoko Idris termasuk sarjana yang produktif menghasilkan tulisan, baik berupa artikel jurnal, buku, dan lainnya. Di antara tulisan-tulisannya yang terkait isu makna Al-Qur’an adalah Ilmu Balaghah (2007), Semantik Al-Qur’an (2008), Stilistika Al-Qur’an (2009), Gaya bahasa Nida dalam Al-Qur’an (2014), Kalimat Perintah dalam Al-Qur’an (2013), Tuturan dalam Al-Qur’an: Tinjauan Direct-Indirect Speech Act (2009), Pertentangan dan Perbedaan Makna dalam Al-Qur’an (2014).
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa isu faktor perluasan makna sebuah ayat termuat dalam buku Pertentangan dan Perbedaan Makna dalam Al-Qur’an, yang diterbitkan pada 2014 di KaryaMedia Yogyakarta. Isu tersebut dibahas pada bab lima.
Bab satu adalah pengantar, bab dua adalah Pandangan Para Linguis terhadap Pertentangan Makna, bab tiga adalah Prinsip Dasar Pertentengan Makna dalam Balaghah, bab empat adalah Prinsip Dasar Pertentangan Makna dalam Linguistik Umum, bab lima adalah Faktor-faktor Perluasan Makna dalam Al-Qur’an, dan bab enam adalah Pertentangan Makna dalam Al-Qur’an.
Tiga Faktor Perluasan Makna
Sebagiaman telah dikemukakan terdahulu bahwa minimal terdapat tiga faktor yang menyebabkan terjadinya perluasan makna.: (1) Konteks bahasa yang mengitarinya, (2) Gaya bahasa majas, (3) Perbedaan mufrad. Yang dimaksud perluasan makna karena faktor konteks bahasa adalah terjadinya perbedaan konteks yang mengitarinya, atau dikenal Ikhtilafu Al-Siyaq Al-Lughawi.
Misalnya, kata Al-Bathil yang memiliki makna asal kebatilan atau sebagai lawan kebenaran. Dalam Q.S Al-Baqarah: 188, kata Al-Bathil tidak atau kurang tepat bermakna kebatilan, melainkan Al-Tahrif dan Al-Tazwir, yakni membelokkan arah. Dalam Q.S Al-Anfal: 8, kata Al-Bathil bermakna Al-Kufr dan Al-Dhalalah, yakni kekafiran dan kesesatan. Dalam Q.S Shaf: 27, kata Al-Bathil bermakna Al-‘Abas, yakni tidak ada tujuan atau main-main.
Contoh lainnya adalah kata Al-Fakhisyah yang memiliki makna asal yaitu menunjuk pada suatu perbuatan atau perkataan yang sangat keji. Dalam Q.S Al-Naml: 54, Al-Fakhisyah tidak atau kurang tepat bermakna perbuatan yang sangat keji, melainkan bermakna Al-Liwath, yakni bersetubuh dengan lakil-laki. Dalam Q.S Al-Nisa: 15, Al-Fakhisyah bermakna Al-Zina, yakni perbuatan zina.
Yang dimaksud perluasan makna pada faktor gaya bahasa majaz adalah penggunaan kata bukan dimaksudkan untuk makna yang sebenarnya, karena adanya hubungan antara makna hakiki dengan makna majazi hubungan yang langsung.
Misalnya, kata Al-Abu yang memiliki makna asal yaitu ayah. Dalam QS. Al-Zukhruf: 22, Al-Abu lebih tepat dimaknai nenek atau paman atau guru/pendidik. Ini karena adanya hubungan antara makna hakiki dengan makna majazinya, yakni keduanya sama-sama memelihara, serta memberi perhatian yang besar terhadapnya.
Yang dimaksud perluasan makna pada faktor perbedaan mufrad adalah adanya kata secara sepintas lalu memiliki kesamaan, tetapi sebenarnya memiliki asal kata yang berbeda. Misalnya, kata Asfar yang memperlihatkan perluasan atau perbedaan makna antara yang terdapat pada QS. Al-Jumu’ah: 5 dengan yang terdapat pada QS. Al-Saba’: 19.
Baca Juga: Mengenal Badriyah Fayumi, Mufasir Perempuan Indonesia Pejuang Keadilan Gender
Pada QS. Al-Jumu’ah: 5, Asfar merupakan bentuk jamak dari kata (mufrad) sifrun yang bermakna buku-buku. Sementara pada QS. Al-Saba’: 19, Asfar merupakan bentuk jamak dari kata (mufrad) safar yang bermakna jarak perjalanan.
Contoh lainnya adalah kata Amtsal yang memperlihatkan perluasan atau perbedaan makna antara yang terdapat pada QS. Al-Waqi’ah: 23 dengan QS. Ibrahim: 25. Pada QS. Al-Waqi’ah: 23, Amtsal merupakan bentuk jamak dari (mufrad) mitslun yang bermakna bagaikan/seperti atau bak. Sementara pada QS. Ibrahim, Amtsal merupakan bentuk jamak dari (mufrad) matsal yang bermakna contoh atau perumpamaan.
Sampai di sini, tiga faktor di atas memberi pemahaman bahwa sangat mungkin satu kata dalam Al-Qur’an dipahami dengan beragam makna. Keragaman tersebut menunjukkan kekayaan kosa kata dan maknanya yang dimiliki oleh bahasa Al-Qur’an. Lebih jauh, sebenarnya masih banyak faktor lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya keragaman makna, sebagaimana diakui sendiri oleh Mardjoko Idris. Meski demikian, tiga faktor ini setidaknya penting dipahami oleh kita bahwa keragaman makna adalah hal penting dalam Al-Qur’an.[] Wallahu A’lam.