BerandaTafsir TematikPrinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 1)

Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 1)

Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu berinteraksi dan menjalin komunikasi dengan sesama. Dikutip oleh Jalaludin Rahmat, Watzlawcik, Beavin, dan Jackson mengatakan, “We cannot not communicate”; kita tidak dapat menghindari komunikasi [Islam Alternatif, hlm. 76].

Dengan komunikasi, manusia mengekspresikan dirinya, mengungkapkan isi hatinya, dan membentuk jaringan sosial. Banyak ahli yang menyatakan bahwa kegagalan komunikasi akan berdampak buruk, baik secara individu maupun sosial. Secara individu, kegagalan komunikasi akan menimbulkan frustasi, demoralisasi, dan penyakit-penyakit kejiwaan lainnya. Sedangkan secara sosial, dampak yang ditimbulkkan akibat kegagalan komunikasi adalah intoleransi, menghambat kerja sama dan pengertian antarsesama, serta akan terisolasi dari pergaulan sosial.

Baca juga: Ajaran Alquran tentang Etika Komunikasi

Komunikasi dianggap baik dan sukses tentunya jika tujuan dari komunikasi berupa menyampaikan isi hati dan sarana mengekspresikan diri telah terwujud. Dalam Islam, Nabi saw. mendorong umat Islam untuk hemat bicara atau bicara seperlunya. Beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. [H.R. Bukhari].

Alquran sebagai kitab pedoman umat manusia sebenarnya telah memberikan beberapa aturan dan prinsip komunikasi yang baik dan benar. Di antaranya penulis dapat merumuskanya menjadi dua bagian, yaitu konten pembicaraan dan cara penyampaian.

Konten Pembicaraan

Ketika berkomunikasi dengan orang lain, upayakan untuk membicarakan perkara-perkara yang baik dan mengandung manfaat. Islam mengajarkan umat Islam menghindari pembicaraan yang tak berfaedah, apalagi membahas hal-hal yang mengandung dosa.

Selain itu, konten informasi yang disampaikan kepada orang lain haruslah berupa kebenaran. Hindari menyampaikan berita-berita yang masih belum jelas kebenarannya, apalagi menyebarkan berita hoaks. Allah Swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيداً

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian berkata dengan perkataan yang benar

Baca juga: Tafsir Surah Ibrahim Ayat 4: Semiotika Komunikasi Umberto Eco dan Pesan Kepada Para Mufasir

Menurut Imam al-Maraghi, yang dimaksud dengan  قَوْلًا سَدِيداً  adalah ungkapan-ungkapan kejujuran yang dimaksudkan untuk mmperoleh kebaikan. Menurut beliau, ayat ini berisi petuah agar segala tindakan dan perbuatan harus berorientasi baik, sehingga pada akhirnya akan didapatkan keberuntungan di dunia dan di akhirat [Tafsir al-Maraghi, juz 22, hlm. 44].

Lebih jauh lagi, Imam al-Razi sebenarnya telah menginventarisasi ayat-ayat Alquran apa saja yang patut disampaikan dalam berkomunikasi. Dalam kitab tafsirnya, Imam al-Razi menulis

وَأَمَّا وَظِيفَةُ اللِّسَانِ الَّتِي هِيَ القول، فكما في قوله تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيداً [الْأَحْزَابِ: 70] وَفِي قَوْلِهِ تَعَالَى: وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا [فُصِّلَتْ: 33] وَقَوْلِهِ تَعَالَى: بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ [إِبْرَاهِيمَ: 27] وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوى [الفتح: 26] وإِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ [فَاطِرٍ: 10] إِلَى غَيْرِ هَذِهِ مِمَّا فِي غَيْرِ هَذِهِ السُّورَةِ

Adapun tugas lisan adalah sebagaimana dalam firman Allah Swt.: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berucaplah dengan ucapan yang jujur…”[Q.S. Al-Ahzab ayat 70], “Barang siapa yang memperbaiki ucapannya…” [Q.S. Fushilat ayat 33], “..dengan perkataan yang kokoh..” [Q.S. Ibrahim ayat 27], “Kami wajibkan kepada mereka kalimat takwa…” [Q.S. Al-Fath ayat 26], “dan kepadanya naik ucapan-ucapann yang baik…” [Q.S. Fathir ayat 10], dan lain sebagainya. [Tafsir Mafatih al-Ghaib, juz 26, hlm. 312].

Baca juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Menurut Alfred Korzybski, peletak dasar teori general semantics, penyakit jiwa–baik individual maupun sosial-muncul sebagai akibat dari penggunaan bahasa yang tidak benar. Jadi, tingkat kewarasan seseorang dapat diukur dengan sejauh mana ia sering menggunakan kata-kata yang tidak benar atau memanipulasi kebenaran [Islam Alternatif, hlm 78].

Oleh karenanya, Islam melarang keras umatnya dari ucapan-ucapan dusta. Selain berdampak buruk kepada kehidupan individu dan sosial, pelakunya juga akan mendapat balasan nanti di akhirat. hal ini sebagaimana sabda Nabi saw.

إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

Jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke neraka. Jika seseorang senantiasa berdusta dan memelihara kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong) (H.R. Bukari, Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad ibn Hanbal).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip komunikasi yang baik dalam Islam haruslah berorientasi kemaslahatan, baik maslahat di dunia maupun di akhirat. Seorang muslim yang baik tidak akan bicara banyak kecuali jika dirasa penting. Maka, benarlah pepatah yaang mengatakan “Apabila bicara itu perak, maka diam adalah emas”.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU