BerandaTafsir TematikTafsir AhkamPrinsip-Prinsip Transaksi Finansial Islami (Bagian I)

Prinsip-Prinsip Transaksi Finansial Islami (Bagian I)

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya (hal 54) mengatakan bahwa secara naluri, manusia adalah makluk sosial. Ini berarti bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Setiap individu secara alami akan berinteraksi dengan individu lain guna memenuhi kebutuhan dan mewujudkan keinginannya, tak terkecuali kebutuhan finansial.

Oleh karena hal itulah manusia akan selalu melakukan transaksi, termasuk transaksi finansial. Dengan kreatifitasnya, beberapa transaksi keuangan yang dilakukan oleh manusia mengalami dinamika dari masa ke masa, mulai dari yang paling kuno, seperti transaksi dengan model barter misalnya, sampai pada transaksi modern yang sudah serba digital seperti jual beli online.

Dalam Islam, kegiatan perekonomian dan transaksi finansial seperti itu diatur dalam segmen fikih muamalah. Namun, tidak seperti fikih ibadah yang praktiknya harus didasarkan kepada dalil afirmatif, praktik-praktik muamalah akan dinilai legal secara syara’ cukup hanya dengan tidak dijumpainya dalil yang melarang praktik tersebut.

Ada satu kaidah yang mengatakan bahwa pada dasarnya segala bentuk muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya.

Terkait hal ini, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata:

فَالْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ الْبُطْلَانُ حَتَّى يَقُومَ دَلِيلٌ عَلَى الْأَمْرِ، وَالْأَصْلُ فِي الْعُقُودِ وَالْمُعَامَلَاتِ الصِّحَّةُ حَتَّى يَقُومَ دَلِيلٌ عَلَى الْبُطْلَانِ وَالتَّحْرِيمِ

“Pada dasarnya, setiap format ibadah hukumnya batal (haram dilakukan) sampai ada dalil yang memerintahkannya (melegalkannya). Sebaliknya, dalam muamalah pada dasarnya segala bentuk transaksi dihukumi sah sampai ada dalil yang mengharamkannya.” (I’lam al-Muwaqqi’in, juz 1, hal. 259)

Karakter fikih muamalah yang lentur dan fleksibel tersebut dimaksudkan agar manusia tidak merasa terkekang dengan aturan-aturan yang baku dan rigid. Hal ini juga mempertimbangkan dinamisasi peradaban manusia yang berkonsekuensi melahirkan kreasi-kreasi format akad baru yang dinilai lebih maslahat bagi manusia. Bayangkan jika Islam mengatur secara rinci mengenai seluk beluk muamalah manusia, dapat dipastikan akan muncul stagnasi peradaban, terutama dalam bidang ekonomi.

Namun, fleksibelitas fikih muamalah tidak lantas mutlak tanpa batasan-batasan. Dalam hal ini syariat memberikan beberapa aturan-aturan umum atau prinsip-prinsip dasar yang menjadi acuan utama dalam fikih muamalah atau muamalah islami. Artinya, manusia bebas melakukan kreasi dalam bidang transaksi finansial asalkan tidak menyalahi prinsip-prinsip berikut:

Baca Juga: Alquran dan Ilmu Ushul Fikih

Prinsip keadilan dan saling menguntungkan

Agaknya, tidak asing lagi bagi setiap umat Islam bahwa Islam adalah agama yang senantiasa menjunjung tinggi keadilan. Prinsip ini menjadi primadona dalam Islam, tak terkecuali dalam bidang muamalah. Tidak sedikit ayat Alquran maupun hadis Nabi yang menyinggung prinsip keadilah ini, misalnya firman Allah swt. dalam surah an-Nahl ayat 90

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkarandan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Q.S. an-Nahl [16]: 90.

Ulama tafsir menyebutkan bahwa ayat di atas adalah kesimpulan seluruh ayat Alquran atau bahkan agama Islam itu sendiri. Perintah untuk berlaku adil dan berbuat baik dalam ayat ini bersifat umum sehingga dapat mencakup pada adil dalam segala aspek. Salah satu manifestasi dari keadilan itu adalah dengan tidak bertindak semena-mena terkait hak milik orng lain. (Al-Tafsir al-Qurani li al-Quran, juz 7, hal. 350)

Sejalan dengan kesimpulan ulama tafsir sebelumnya, Ibnu Asyur menjelaskan bahwa salah satu tujuan syariat (maqashid syariah) dalam aturan-aturan hukum terkait keuangan adalah menciptakan keadilan. Tujuan ini akan terwujud jika setiap individu tidak berlaku zalim dalam upaya memperoleh harta. (Maqashid al-Syariah al-Islamiyah, hal. 205)

Keadilan dalam muamalah berlawanan dengan kebatilan. Islam melarang segala tindakan muamalah atau urusan finansial yang melalui proses yang batil. Hal ini sebagaimana firman Allah swt. dalam surah an-Nisa’ ayat 29.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu.” Q.S. Al-Nisa’ [4]: 29.

Ayat di atas dengan tegas melarang tindakan batil dalam aspek harta benda. Sayyid Muhammad al-Thanthawi menjelaskan bahwa kata bathil dalam ayat di atas mengandung segala upaya memperoleh harta yang dilarang dalam syariat, termasuk mendapatkan harta dengan cara khianat, zalim dan sebagainya. (al-Tafsir al-Wasith, juz 3, hal. 125)

Baca Juga: Tafsir Surah Alnisa’ [4]: 135; Prinsip Keadilan dalam Akuntansi

Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dikatakan bahwa prinsip ini merupakan prinsip paling asasi dalam muamalah islami yang dapat melahirkan berbagai prinsip dan ketentuan lainnya. Misalnya dalam jual beli tidak boleh ada unsur judi, penipuan, dan segala hal yang merugikan orang lain. Rasulullah saw. pernah bersabda

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak ada (tidak boleh) memudaratkan orang lain.” HR. Malik, Ahmad, Ibnu Majah

Dengan demikian, jual beli yang tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan saling menguntungkan tentu akan menyusahkan dan merugikan orang lain. Dan hal tersebut dilarang dalam Islam. Wallah a’lam

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU