Salah satu bagian dari ulumul quran adalah munasabah. Sebagaimana dalam artikel terdahulu bahwa munasabah ternyata menuai pro kontra di antara para ulama. Dengan jumlah 6.236 ayat dalam 114 kelas surat, pembacaan dan pemahaman terhadap Al-Quran tidaklah dapat dilakukan secara sederhana untuk mendapatkan pemahaman yang holistik. Struktur ayat Al-Quran yang bercorak sastra, bahkan dalam satu ayat sangat memungkinkan terdapat pokok bahasan yang berbeda.
Karena itu Amer Gheitury dan Arsalam Golfam dalam The Qur’an as a Non-Linear Text: Rethinking Coherence memilih menyebut fenomena susunan ayat dengan a nonlinear text (kitab suci yang tidak biasa) daripada menggunakan istilah inconherent (tidak koheren). Pandangan yang menyimpulkann Al-Quran tidak koheren merupakan buah dari pendekatan antropomorfisme yang keliru terhadap kitab suci.
Baca juga: Munasabah Al-Quran: Inspirator Teori Baru dalam Penafsiran
Ulama Pro Munasabah
Menurut Abul Hasan as-Syahrabani sebagaimana dikutip az-Zarkasyi dalam al-Burhan fi Ulumil Quran bahwa pencetus ilmu munasabah Al-Quran ialah Abu Bakr ‘Abdillah bin Ziyad an-Naysaburi (w. 324 H) di mana munasabah Al-Quran berfungsi untuk menjelaskan positioning suatu ayat dan surat.
Konon, Abu Bakr al-Naysaburi menunjukkan keprihatinannya terhadap ulama Baghdad karena tidak memahami fenomena strukturalisme Al-Quran. Tidak kurang komentar ar-Razi sebagaimana disampaikan Abdul Qadir Ahmad Atha’ dalam pengantar As-Suyuthi di dalam karyanya Tanasuq ad-Durar fi Tanasub as-Suwar menyatakan bahwa mayoritas ulama hanya menampilkan lanskap keistimewaan parsial bahasa Al-Quran (lathaif Al-Quran) ketimbang memperhatikan rahasia-rahasia sistematika ayat maupun surat Al-Quran (asrar Al-Quran).
Ar-Razi meyakini bahwa kemukjizatan Al-Quran (i’jazul Quran) dan rahasia-rahasia Al-Quran tidak semata dari kekuatan diksti bahasa melainkan susunan ayat-surat dan keterkaitan bahasanya. Dan pada akhirnya, munasabah memang merupakan ilmu bantu untuk memahami sistematika pengurutan surat dan ayat Al-Quran.
Baca juga: Tafsir At-Tawhidi, Pelopor Hadyu Al-Quran dalam Kitab Tafsir
Pendapat kedua ulama di atas merupakan entry point dari munasabah Al-Quran yang selanjutnya diikuti oleh Abu Ja’far bin Zubayr dalam Tartib al-Suwar Al-Quran, Burhanuddin al-Biqa’i dengan Nadhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, dan al-Suyuti dengan Asrar al-Tartib Al-Quran. Quraish Shihab belakangan menambahkan Muḥammad Abduh, Rasyid Ridha, Muḥammad Syalthut dan banyak tokoh lainnya.
Muansabah Al-Quran juga ditandaskan Al-Biqa’i bahwa munasabah berguna untuk mengetahui alasan-alasan penomoran ayat dan surat, memahami sebab keterkaitan dan koherensi ayat sebelum dan sesudahnya. Tidak jauh berbeda dengan al-Biqa’i, Az-Zarkasyi juga menyampaikan bahwa munasabah merupakan kajian rasional-logis (‘amr ma’qul), melengkapi pengertian suatu teks dengan teks yang lain sehingga nampak keterkaitannya serta menjadi satu struktur yang kokoh yang di dalamnya saling tertaut (muta’alim al-ajza’i).
Ulama yang Kontra terhadap Munasabah
Namun demikian, Izzuddin Abdus Salam (577-660 H) dalam al-Isyarah ila al-I’az mem-warning meskipun munasabah merupakan ilmu yang positif, akan tetapi pengaitan suatu ayat dengan ayat yang lain harus dalam suatu masalah yang holistik. Jika sebab atau asbabun nuzulnya berbeda di antara ayat yang dikaitkan, maka tidak dapat dianggap munasabah.
Beberapa ulama yang kontra terhadap munasabah di antaranya Waliyuddin Al-Malawi, misalnya, sebagaimana dalam kutipan as-Suyuthi, ia memaparkan bahwa masing-masing ayat diturunkan dalam konteks yang berbeda sehingga berimplikasi terhadap beragamnya pemaknaan. Keberatan tersebut juga dilontarkan As-Syaukani terhadap penggunaan munasabah, Ia heran kok bisa hal yang berbeda-beda fasl kitab-nya lalu dihubung-hubungkan (cocokologi) dan ending-nya hanya membuka pintu-pintu prasangka (abwab as-syakk) bagi orang-orang yang hatinya bermasalah dan memiliki pemahaman yang dangkal.
Bahkan, As-Syaukani bernada keras menyentil mayoritas mufasir yang masih dan akan berupaya menjelaskan keterkaitan ayat-ayat Al-Quran dalam konteks urutan-urutannya. Al-Biqa’i disebut oleh As-Syaukani dalam kritiknya ini, menurutnya hal tersebut adalah kontraproduktif dan membuang waktu secara sia-sia (wastaghraqu fi fann la ya’udu ‘alayhim bi faidah).
Jalan Tengah Menyikapi Pro Kontra
Kata As-Syaukani, solusi ideal memahami Al-Quran adalah dengan memahami asbabun nuzul ayat dan sejarah Nabi, Al-Quran dapat dipahami dari perspektif tartib nuzuli bukan tartib mushafi, katanya. Munasabah yang digunakan untuk mengungkap pengertian ayat dari berdasar “rahasia” urutan mushaf, mereduksi kekhasan wacana Al-Quran (khitabah Al-Quran) yang diturunkan dalam konteks tertentu yang mengiringi perjalanan dakwah Nabi.
As-Syaukani berkeberatan atas pendekatan sinkronisme struktural terhadap ayat dan surat dari Al-Quran. Baginya, pola diakronik-kronologikal relevan untuk meng-capture signifikansi makna ayat dan surat. Kritik As-Syaukani dapat kita pahami dalam konteks mengendalikan bias subjektif dalam kerja munasabah.
Baca juga: Metode Maudhu’i Sebagai Pendekatan Tafsir Era Modern
Namun yang perlu digarisbawahi adalah mengenai fakta keterbatasan sumber dan validitas riwaya asbabun nuzul. Ayat Al-Quran yang asbab nuzul-nya dapat diketahui, misal Q.S. al-Baqarah (2) dengan jumlah ayat 286, yang ber-asbab nuzul kurang lebih 70 ayat. Abu al-Hasan al-Wahidi melalui karyanya Asbab al-Nuzul dan Muhammad Umar al-Haji dalam Mausu’ah at-Tafsir Qabla ‘Ahdi at-Tadwin melansir “hanya” kurang lebih 511 hadis asbab nuzul.
Catatan Akhir
Tidak banyak ulama yang concern terhadap munasabah ini dikarenakan tingkatan njlimet dan kerumitannya cukup tinggi. Meski demikian, kedua ikhtilaf ulama di atas dapat dilihat dengan cara berbeda, pemahaman yang didapat baik yang pro maupun kontra tidak akan menghasilkan suatu kesimpulan yang saling menihilkan kedua konsep yang ada, justru Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan justru keduanya saling melengkapi guna mendapat pemaknaan yang lebih tepat dari ayat Al-Quran, dan sama sekali tidak memunculkan ambiguitas makna.
Melalui munasabah, mufasir justru sangat terbantukan dalam melakukan kerja-kerja penafsiran Al-Quran, karena itu Al-Biqa’i memandangnya sebagai ilmu yang sangat penting. Wallahu a’lam[]