BerandaTafsir TematikTafsir AhkamPuasa, Seks dan Pakaian dalam Surah Al-Baqarah Ayat 183-187

Puasa, Seks dan Pakaian dalam Surah Al-Baqarah Ayat 183-187

Jika kita merujuk pada Al-Qur’an mushafi, kita akan menemukan pembahasan puasa bersambung dengan pembahasan pakaian yang keduanya dipertemukan oleh pembahasan seks. Tiga pembahasan tersebut terangkai dalam Surah Al-Baqarah ayat 183-187.

Tentu tulisan singkat ini tidak akan cukup memaparkan analisis secara mendetail mengenai kandungan Al-Baqarah ayat 183-187. Karena itu, saya hanya akan mengambil yang saya nilai sebagai intisari setiap ayat tersebut dalam kerangka menarik benang merah hubungan puasa, seks dan pakaian.

Tujuan tulisan ini ada pada dua sisi: (1) sisi kesatuan Al-Qur’an itu sendiri dalam pembahasannya, dan (2) sisi manusiawi yang diperintahkannya berpuasa. Adapun redaksi QS. Al-Baqarah [2]: Ayat 183-187 adalah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

Rangkaian Pemahaman Ringkas QS. Al-Baqarah [2] Ayat 183-187

Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 183, diisyaratkan bahwa berpuasa sebenarnya tidak hanya menjadi kewajiban umat yang beriman kepada Allah SWT pengikut Nabi Muhammad SAW, tetapi juga pengikut nabi-nabi sebelumnya. Ini sebagaimana merujuk kepada terjemahan ayat “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu”.

Dalam berbagai kitab tafsir, seperti kitab Tafsir Jalalain, memahami perintah berpuasa sebagai upaya mengontrol dan menjaga diri dari maksiat. Dalam hal ini, berpuasa dapat membendung syahwat, yang merupakan pangkal sumber kemaksiatan. Pendapat ini disepakati sekaligus diperkuat oleh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya. Ibn Katsir bahkan mengutip hadis berikut:

يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu memberi nafkah, maka kawinlah; dan barang siapa yang tidak mampu (memberi nafkah), hendaklah ia berpuasa, kaena sesungguhnya puasa merupakan peredam baginya.

Tetapi, adakalanya berpuasa itu memberatkan manusia. Ini tersirat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 184. Karena itu, seseorang boleh tidak berpuasa jika memiliki alasan yang kuat, seperti perjalanan, sakit, perempuan hamil, dan seterusnya, yang semuanya memberatkan manusia untuk berpuasa. Dengan catatan, ia mengganti puasa tersebut di bulan lainnya atau membayar fidyah. Meski demikian, berpuasa lebih baik karena besarnya manfaat berpuasa bagi manusia, terlebih lagi dilakukan pada bulan mulia, bulan Ramadhan.

Kemuliaan bulan Ramadhan dijelaskan pada QS. Al-Baqarah [2]: 185. Di sana, ayat tersebut dapat dipahami bahwa di antara kemuliaan (terbesar) dari bulan Ramadhan adalah diturunkannya Al-Qur’an, yang merupakan pedoman hidup umat Islam dan umat manusia sekaligus. Berkaitan dengan Al-Qur’an, umat Islam bahkan mengadakan perayaan turunnya Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, yang dikenal Nuzulul Qur’an.

Selain itu, Ramadhan juga menjadi salah satu waktu yang mustajab diterimanya do’a bagi orang-orang yang berdoa’a, terutama menjelang waktu berbuka puasa, sebagaimana tersirat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 186. Pandangan seperti ini dijelaskan oleh Labib dalam bukunya Risalah Do’a-Do’a Mustajabah (2012), yang juga banyak diyakini oleh umat Islam. Tidak heran jika banyak kegiatan do’a bersama di kalangan umat Islam ketika menjelang berbuka puasa.

Setelah berbuka puasa, manusia dapat melakukan hal-hal yang terlarang dilakukan selama berpuasa, termasuk melakukan hubungan seks suami-istri, dan seterusnya, sebagaimana merujuk pada pemahaman QS. Al-Baqarah [2]: 187. Ayat ini secara khusus menghalalkan hubungan suami-istri karena dinilai keduanya adalah pakaian (libas) dari satu sama lain.

Paparan di atas mengemukakan pemahaman yang berupaya mengaitkan antara satu ayat dengan ayat lainnya secara urutan mushaf. Terlihat bahwa dari QS. Al-Baqarah [2]: 183 hingga 187 dapat dirangkai dengan satu kesatuan pemahaman. Kesatuan pemahaman tersebut dapat dilihat dari isu tentang puasa, seks, pakaian, yang ketiganya dapat berlangsung pada bulan Ramadhan.

Membaca Kaitan Puasa, Seks dan Pakaian

Rangkaian pemahaman Surah Al-Baqarah ayat 183-187 di atas memperlihatkan isu tentang puasa, seks dan pakaian. Hal ini terlihat dari salah satu alasan diperintahkannya berpuasa adalah untuk mengendalikan hawa nafsu (syahwat), sebagaimana dikatakan dalam Tafsir Jalalain dan Tafsir Ibnu Katsir pada QS. Al-Baqara [2]: 183.

Pada ayat-ayat selanjutnya, khususnya ayat 184-186, mengandung pemahaman bahwa bulan Ramadhan menjadi waktu diwajibkannya berpuasa bagi umat Islam selama satu bulan penuh. Selama sebulan tersebut, diberikan aturan tentang mereka yang terpaksa tidak berpuasa, dan tentang mustajabnya berdo’a di dalamnya.

Lebih jauh, QS. Al-Baqarah [2]: 184-186 di atas dapat ditempatkan sebagai seputar puasa pada siang hari hingga menjelang berbuka puasa. Dalam artian, pada siang hari seseorang diwajibkan berpuasa (bagi mereka yang sanggup), yang karenanya akan memperoleh berbagai manfaat karena berpuasa, dan karena kemuliaan bulan Ramadhan.

Penjelasan seputar puasa pada malam hari dapat dirujuk ke QS. Al-Baqarah [2]: 187 yang menghalalkan segala yang dilarang pada siang hari. Upaya menahan keinginan berhubungan suami-istri (seks) dihalalkan setelah berbuka puasa. Halalnya perbuatan tersebut bagi mereka yang sudah berstatus suami-istri, yang dalam ayat ini disebut sebagai pakaian satu sama lain. Karena ia disebut pakaian, maka suami-istri bersifat menjaga dan menghiasi satu sama lain.

Sampai di sini, paparan di atas menunjukkan bahwa posisi puasa, seks, dan pakaian yang berdekatan bahkan terangkai dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah) memperlihatkan satu tarik nafas pemahaman yang jelas. Sehingga, ini dapat menjadi argumentasi tentang kesatuan Al-Qur’an, yang dapat dijelaskan secara nalar (bukan hanya berbasis teologis) tentang kegunaan puasa, terutama dalam konteks suami-istri. [] Wallahu A’lam.

Muhammad Alwi HS
Muhammad Alwi HS
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Konsentrasi Studi Al-Quran dan Hadis.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...