BerandaTafsir TematikQ.S Albaqarah Ayat 11: Tafsir al-Ṭabarī dan Logika Kerusakan Alam

Q.S Albaqarah Ayat 11: Tafsir al-Ṭabarī dan Logika Kerusakan Alam

Dalam kajian lingkungan, khususnya ekoteologi surah Albaqarah ayat 11 biasanya menjadi landasan terdepan. Banyak akademisi atau aktivis lingkungan hari ini yang spontan menghubungkan ayat itu dengan isu lingkungan: polusi, deforestasi, atau kerusakan ekosistem. Memang memaknai seperti ini tentu relevan dan positif. Karena memang menjaga bumi adalah bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah. Berikut ayatnya:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi…” (QS. Albaqarah: [2]: 11)
Baca Juga: Tiga Golongan Manusia dalam Surah Albaqarah (Bag. 1)

Akan tetapi, jika dicek lagi, misalnya dari tafsir klasik, terutama Tafsīr al-Ṭabarī, di situ ada makna yang lebih mendasar. Yaitu, bahwa kerusakan di bumi dalam ayat ini tidak menunjuk langsung kepada perusakan fisik lingkungan, melainkan kepada perusakan spiritual dan moral, yaitu maksiat dan kekufuran terhadap Allah.

Imam al-Ṭabarī menukil dari sejumlah sahabat, seperti ‘Ammār bin al-Ḥasan bahwa firman “janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi” berarti:

وَحُدِّثْتُ عَنْ عَمَّارِ بْنِ الْحَسَنِ، قَالَ: حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ الرَّبِيعِ: (وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ) يَقُولُ: لَا تَعْصُوا فِي الْأَرْضِ، (قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ)، قَالَ: فَكَانَ فَسَادُهُمْ ذَلِكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ جَلَّ ثَنَاؤُهُ، لِأَنَّ مَنْ عَصَى اللَّهَ فِي الْأَرْضِ، أَوْ أَمَرَ بِمَعْصِيَتِهِ، فَقَدْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ، لِأَنَّ إِصْلَاحَ الْأَرْضِ وَالسَّمَاءِ بِالطَّاعَةِ

Telah diceritakan kepadaku dari ‘Ammār bin al-Ḥasan, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abī Ja‘far, dari ayahnya, dari ar-Rabī‘, bahwa (tentang firman Allah Ta‘ala): “Dan apabila dikatakan kepada mereka: janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi”, beliau berkata: “Artinya, janganlah kalian bermaksiat di bumi.” Dan tentang firman-Nya: “Mereka berkata: sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan”, beliau (ar-Rabī‘) berkata: “Maka kerusakan mereka itu adalah karena mereka bermaksiat kepada Allah. Sebab, siapa pun yang bermaksiat kepada Allah di bumi, atau memerintahkan orang lain untuk bermaksiat kepada-Nya, sungguh dia telah berbuat kerusakan di bumi. Karena sesungguhnya, perbaikan (keteraturan) bumi dan langit itu hanya dengan ketaatan kepada Allah.” (Al-Ṭabarī, Muḥammad ibn Jarīr. Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, 1/288)

Baca Juga: Karakter Orang-orang yang Lalai (Ghâfilin) Menurut Alquran

Jadi, menurut Imam al-Ṭabarī, yang dimaksud dalam Albaqarah ayat 11 tersebut bukan mereka yang menebang pohon atau mencemari air, tetapi bahwa mereka mendurhakai Allah, berpura-pura memperbaiki keadaan padahal menyebarkan kezaliman, nifak, dan dosa.

Kerusakan yang dimaksud bersifat moral dan teologis, bukan ekologis dalam teks asalnya. Karena ayat itu memang berbicara tentang orang munafik yang menampakkan kebaikannya dan menyembunyikan kekufuran dan kerusakan.

Meski begitu, tafsir ini tidak berarti meniadakan hubungan antara dosa dan kerusakan alam. Justru, dalam logika Alquran, maksiat kepada Allah memiliki akibat kosmik,  ia membuka jalan bagi bencana di bumi.

Allah berfirman:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rūm [30]: 41). Dalam kitabnya Muḥammad ‘Alī al-Ṣābūnī, diterangkan:

وَمَعْنَى قَوْلِهِ تَعَالَى: {ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ} أَيْ بَانَ النُّقْصُ فِي الزُّرُوعِ وَالثِّمَارِ بِسَبَبِ الْمَعَاصِي.

Adapun makna firman Allah Ta‘ala:‘Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia,’ialah bahwa telah tampak penurunan dan kerusakan pada hasil tanaman dan buah-buahan disebabkan oleh kemaksiatan manusia. (Muḥammad ‘Alī al-Ṣābūnī, Mukhtaṣar Tafsīr Ibn Kathīr, hlm. 57)

Baca Juga: Qur’anic Green Ethics: Tafsir Ekologis dalam Menjawab Krisis Iklim Global

Mungkin di sini akan terlihat kesinambungan maknanya. Secara logika, maksiat adalah sebab, kerusakan alam adalah akibat. Kekufuran melahirkan keserakahan, keserakahan menimbulkan ketidakadilan, dan dari sanalah bumi mulai rusak. Maka tafsir klasik dan kesadaran ekologis modern sebenarnya saling melengkapi: yang satu bicara tentang akar, yang lain tentang gejala.

Tafsir al-Ṭabarī mengingatkan bahwa akar masalah dunia bukan semata di permukaan bumi, melainkan di hati manusia. Ketika iman retak dan ketaatan goyah, maka bumi akan menjadi sasaran empuk untuk dirusak.

Sebagai bentuk usaha, menjaga bumi tidak cukup dengan teknologi hijau dan kampanye bersih-bersih, tapi dimulai dari taubat, iman, dan ketaatan kepada Allah. Karena hanya dengan tunduk kepada Sang Pencipta, manusia akan memahami arti peduli lingkungan.

Jadi benar saja, Albaqarah ayat 11 tadi tidak berbicara langsung tentang lingkungan, tetapi tentang maksiat. Tapi kalau logikanya diteruskan, makan dengan maksiatlah  akar dari segala kerusakan. Mungkin bisa dismpulkan bahwa setiap kerusakan ekologis, itu pada hakikatnya berawal dari kerusakan spiritual manusia.

Thoha Abil Qasim
Thoha Abil Qasim
Santri Ma'had Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Angelika Neuwirth

Membaca al-Qur’an dalam Kerangka Late Antique

0
Belakangan ini, tampaknya studi al-Qur’an dan tafsir di Indonesia menitiki jejak yang cukup signifikan jika dibanding dengan masa-masa sebelumnya. Dapat dilihat, gerak studi ini...