Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta yang terjadi sebenarnya. Oxford Dictionary mengartikan istilah post-truth dengan kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan emosi dan keyakinan personal.
Pengertian di atas menunjukkan bahwa post-truth bisa terwujud ketika emosi dan keyakinan pribadi lebih unggul dalam membentuk sebuah opini yang beredar dibandingkan fakta objektif yang bisa diverifikasi keasliannya. Hal ini menjadikan kebenaran sering kali menjadi kabur jika berhadap-hadapan dengan informasi yang sesuai dengan preferensi atau keinginan seseorang, sekali pun fakta yang sesungguhnya mengatakan sebaliknya.
Baca Juga: Resolusi Al-Quran Menghadapi Tantangan Digital di Era Post-Truth
Peristiwa ini terjadi tak lain karena pada saat ini, dunia digital mulai mendominasi sendi-sendi kehidupan manusia. Ini terbukti bahwa manusia yang tak bepergian dan hanya diam di rumah dapat menikmati informasi-informasi yang disuguhkan oleh bermacam-macam media sosial yang terkadang hanya memprioritaskan konten yang sedang viral. Dan yang terjadi selanjutnya sudah bisa ditebak, yakni para pengguna media sosial akan semaunya bertindak dalam memilih informasi yang ingin dilihat atau didengar, tanpa mau tahu lebih dalam apakah informasi tersebut benar atau salah.
Era informasi yang lahir dari rahim revolusi teknologi sendiri memiliki dampak positif dan negatif bagi kehidupan modern. Dampak positifnya, yakni mempermudah seseorang dalam mengakses sebuah berita tanpa harus bersusah payah pergi ke TKP. Sedangkan dampak negatif yang dimunculkan ialah tidak adanya sekat atau larangan dalam urusan mengonsumsi sebuah informasi. Akibatnya, keyakinan terhadap narasi-narasi kebenaran menjadi semakin memudar, atau bahkan telah sirna akibat dikalahkan oleh disinformasi yang disebarluaskan.
Untuk mengantisipasi maraknya disinformasi yang saat ini menguasai dunia digital, maka perlu adanya penyaringan, verifikasi, dan tabayyun yang dapat memfilter data yang valid dan invalid. Tanpa filter yang baik, maka dikhawatirkan masyarakat akan mudah terjerumus dalam permainan algoritma yang manipulatif, hingga pengiringan opini publik (hoax).
Alquran sebenarnya sudah mewanti-wanti umatnya agar selalu melakukan tabayyun dan verifikasi ketika menerima sebuah informasi, lewat kisah yang terbungkus dalam surah An-Nisa’ [4]: 83:
وَاِذَا جَاءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا
“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan (kemenangan) atau ketakutan (kekalahan), mereka menyebarluaskannya. Padahal, seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulul amri (pemegang kekuasaan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulul amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah engkau mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).”
Dalam Tafsir Ibnu Katsir (Vol. 1 Hal. 703) disebutkan bahwa lafal وَاِذَا جَاءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖۗ dalam ayat di atas adalah bentuk pengingkaran terhadap orang-orang yang belum meyakini validitas dari keaslian informasi yang diperoleh, akan tetapi telah menyebarkannya. Sebagaimana hadis yang ada dalam Sahih-Bukhari: “Diceritakan dari Mughirah bin Syu’bah bahwasanya Nabi saw. melarang dari “qiil wa qaal”, yakni berbicara tentang suatu informasi yang sedang ramai diperbincangkan oleh manusia tanpa penjelasan, penelitian, dan pemahaman terlebih dahulu.”
Selanjutnya, Imam Muslim menyebutkan dalam muqaddimah kitabnya Shahih Muslim, bahwa Nabi saw. pernah bersabda, “Seseorang bisa dipastikan sebagai pendusta jika ia selalu memberikan informasi setiap sesuatu yang ia dengar”.
Baca Juga: Cara Menangkal Hoaks (Berita Bohong) Menurut Pandangan Al-Quran
Sayyidina Umar bin Khattab menjadi korban dari fenomena post-truth
Setelah ditelisik lebih lanjut, dalam kitab tafsir yang sama dan juga dalam kitab Sahih Ibnu Hibban (9/ 496), dijelaskan asbab an-nuzul terkait ayat di atas bahwa Sayyidina Umar bin Khattab pernah menjadi korban dari fenomena post-truth, yakni berita hoax yang saat itu sedang masyhur di masyarakat. Diceritakan bahwa saat itu, Sayyidina Umar mendengar kabar bahwa Nabi telah mencerai salah satu dari istri beliau.
Sayyidina Umar, yang notabene ialah sahabat senior tak langsung mempercayai berita tersebut. Akan tetapi, ketika Umar memasuki masjid dan terdengar kasak-kusuk bahwa Nabi saw. memang menceraikan istrinya, seketika pikirannya menjadi kalut. Tanpa berpikir panjang, beliau langsung mendatangi Nabi saw. guna memastikan informasi tersebut.
Saat itu, Nabi saw. sedang berada di kamarnya (di tempat minum), dan Sayyidina Umar segera meminta izin untuk menemui Nabi, dan bertanya, “Apakah engkau telah menceraikan istrimu, Ya Rasulullah?”. Nabi menjawab, “Tidak”. Seketika, Sayyidina Umar langsung pergi ke kerumunan orang-orang munafik yang telah mengabarkan bahwa Nabi saw. menceraikan istrinya, seraya berkata dengan intonasi yang tinggi bahwa kabar itu tidak benar, dan Nabi saw. sama sekali tidak pernah menceraikan istrinya.
Setelah peristiwa itu, maka turunlah ayat di atas, sebagai pelajaran bagi orang-orang agar tidak dengan mudah menyebarluaskan berita yang masih belum diyakini kebenarannya. Juga bagi orang-orang yang menerima sebuah informasi agar tidak langsung mengamini dan lantas meyakininya.
Melainkan, sikap yang perlu ditunjukkan adalah meneliti dengan baik sumber data dari berita yang diperoleh dengan kepala dingin. Sikap inilah yang seharusnya dimiliki oleh masyarakat modern sebagai antisipasi dari cabang-cabang post-truth seperti, hoax, pengiringan opini, hingga fanatisme yang kebanyakan berujung pada ujaran kebencian, atau bahkan konflik sosial.