Bagi para pengkaji ilmu Al-Quran dan Tafsir, huffadz, maupun qurra’, ilmu Qiraat sangatlah penting untuk dipelajari. Dari sana kita akan mendapati betapa ragamnya pembacaan Al-Quran. Al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Quran menuturkan bahwa bangsa Arab sejak dahulu memang mempunyai lahjah (dialek) kebahasaan yang beragam antara kabilah yang satu dengan yang lain, baik aspek intonasi maupun fonetiknya, akan tetapi bahasa Quraisy mempunyai distingi dan keunikannya tersendiri.
Oleh karena itu, wajarlah bilamana Al-Quran diturunkan dalam bahasa Quraisy kepada seorang Rasul yang Quraisy pula. Perbedaan dan keragaman dialek tersebut, kata Manna Khalil Al-Qattan dalam Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran, menjadikan Al-Quran semakin paripurna kemukjizatannya sebab ia dapat mewadahi berbagai dialek dan ragam pembacaan (qiraat) Al-Quran sehingga mudah untuk dibaca, dihafal, dipahami, serta ditafsirkan dengan berbagai pendekatan.
Sejarah Qiraat Al-Quran
Rasulullah saw tatkala menyampaikan wahyu Al-Quran menggunakan huruf yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan para sahabat agar mereka tidak merasa kesulitan dalam membaca Al-Quran. Dan para sahabat mendengarkan dengan seksama bagaimana gerak bibir Rasulullah sawt ketika tilawah Al-Quran dan segala yang disampaikan oleh-Nya.
Alhasil, para sahabat menerima riwayat bacaan Al-Quran sangat beragam. Selain itu, Nabi Muhammad saw tidak jarang memerintahkan kepada “santri senior” untuk mengajarkan qiraat kepada orang-orang muallaf. Kemudian, di antara para sahabat tersebut ada yang mendapatkan hanya satu huruf saja, ada yang dua huruf, tiga huruf bahkan lebih. Sehingga para sahabat pun membaca Al-Quran dengan berbeda-beda pula.
Baca juga: Makki Al-Qaisi, Imam Qiraat yang Terlupakan dan Keragaman Bacaan yang Dihadirkannya
Nah, perbedaan bacaan ini tidak jarang memunculkan perdebatan di antara para sahabat (ikhtilaf as-shahabah), namun perbedaan ini akhirnya diklarifikasikan kepada Rasulullah saw, dan beliau membenarkannya. Pasca Rasulullah sawt, para sahabat itulah yang mewarisi ilmu Al-Quran termasuk di dalamnya ilmu Qiraat dan mengajarkan kepada generasi penerusnya.
Di dalam beberapa hadits bahkan para sahabat yang ahli dalam qiraat mendapatkan pujian dari Rasul saw, antara lain Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah,
عن عبد الله بن مسعود أنا أبا بكر وعمر بشراه أن رسول الله صلعم قال مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآَنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأْه عَلَى قِرَاءَةِ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ
“Diceritakan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Abu Bakar dan Umar memberinya kabar gembira bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang ingin membaca Al-Quran dengan lemah lembut sebagaimana keadaannya diturunkan hendaklah ia membacanya dengan qiraat putra ibu hamba sahaya (Abdullah bin Mas’ud)””. (H.R. Ibnu Majah).
Dalam hadits lain, Imam Muslim dalam Shahih Muslim, misalnya,
عن أنس بن مالك ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻷﺑﻲ : ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻣﺮﻧﻲ ﺃﻥ ﺃﻗﺮﺃ ﻋﻠﻴﻚ، ﻗﺎﻝ : ﺁﻟﻠﻪ ﺳﻤﺎﻧﻲ ﻟﻚ? ﻗﺎﻝ : ﺍﻟﻠﻪ ﺳﻤﺎﻙ ﻟﻲ ، ﻓﺠﻌﻞ ﺃﺑﻲ ﻳﺒﻜﻲ
“Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Ubay, “Sesungguhnya Allah swt telah menyuruhku untuk membacakan Al-Quran kepadamu”. Ubay bertanya, “Apakah Allah menyebut-nyebut namaku kepadamu?” Rasulullah menjawab, “Iya, Allah telah menyebut-nyebut namamu kepadamu”, Anas berkata, “lalu Ubay menangis”. (H.R. Muslim)
Menurut Abdul al-Rajihi dalam al-Lahjah al-‘Arabiyyah fi al-Qiraat al-Quraniyyah mengutip dari Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam di antara para sahabat yang ahli dalam hal qiraat ialah Talhah bin Ubaidillah, Sa’ad, Abdullah bin Mas’ud, Huzaifah bin al-Yaman, Salim, Abu Hurairah, Abdullah bin al-Saib, Abdullah bin Umar, Abdullah bin ‘Abbas, Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, Ubay bin Ka’ab, Ubaidah bin Samit, Muaz bin Jabal, Abu Dardai, Zaid bin Tsabit, Majma’ bin Jariyah, Anas bin Malik, dan Maslamah bin Mukhaliq.
Baca juga: Jejak Qiraat Imam Nafi’ dalam Manuskrip Al-Quran Keraton Kacirebonan
Sedangkan Sya’ban Muhammad Isma’il dalam kitabnya al-Qiraat Ahkamuha wa Masdaruha yang diterjemahkan oleh Said Agil Husin al-Munawwaran al-Raqasyi dan Abu Raja’ al-‘Atharidi menjelaskan bahwa pasca wafatnya Rasulullah sawt, ekspansi wilayah umat Islam semakin meluas sehingga banyak dari para sahabat berpindah ke wilayah yang baru dan menetap di sana.
Selain itu, khulafa Rasyidin juga memerintahkan sahabat ahli qurra’ untuk mengajarkan qiraat di wilayah yang baru sebagaimana diceritakan Ibnu Saad dalam kitab Thabaqah-nya yang dikutip oleh al-Rajihi bahwa ada 5 orang dari sahabat Anshar yang sudah hafal Al-Quran di masa Nabi Muhammad saw masih hidup. Mereka adalah Mu’az bin Jabal, Ubadillah bin al-Samit, Ubay bin Ka’ab, Abu Ayyub dan Abu Darda’.
Di masa pemerintahan Umar bin Khattab, Gubernur Syam yang saat itu dijabat oleh Yazid bin Abi Sufyan mengirim korespondensi kepada khalifah untuk mengutus sahabat yang ahli qurra ke Syam sebab penduduk di sana amat banyak dan membutuhkan tenaga pengajar Al-Quran yang banyak pula.
Setelah menerima surat tersebut, khalifah Umar mengutus tiga di antara lima sahabat untuk pergi ke Syam, namun karena saat itu Abu Ayyub sudah sangat sepuh dan Ubay bin Ka’ab juga sedang sakit maka yang berangkat adalah tiga sahabat yang lain, yaitu Mu’az bin Jabal, Ubaidah bin al-Samit, dan Abu al-Darda’.
Mereka bertiga memulai perjalanan menuju kota Hams, kemudian setelah penduduk Hams bisa membaca Al-Quran, Ubaidah bin al-Samit melanjutkan ke Palestina dan meninggal di sana. Sedangkan Abu al-Darda’ menetap di Damaskus, Syam dan wafat di sana.