Sosok pahlawan HOS Tjokroaminoto yang selalu bergerak melawan kolonialisme, mendidik generasi-generasi bangsa, juga wawasan religiusitas yang tinggi. Ternyata, HOS Tjokroaminoto mempunyai karya yang cukup dianggap kontroversial karena dinilai sesat oleh beberapa kalangan. Yakni Qoer-an Soetji.
HOS Tjokroaminoto merupakan tokoh besar dalam perjuangan Indonesia. Merupakan guru bangsa dari orang-orang besar setelahnya. Pimpinan Sarekat Islam, organisasi pertama di Indonesia dengan jumlah besar pada masanya. Berbagai karyanya terkenal dari hal yang berbau kiri seperti Sosialisme dan Islam, hingga karya yang berbau kanan seperti Memeriksai Alam Kebeneran. Di antara berbagai karya beserta pergolakan pemikiran dalam prosesnya, Qoer-an Soetji cukup kontroversi bahkan dijegal penerbitannya di tengah-tengah proses kepenulisannya.
Qoer-an Soetji merupakan terjemah tafsir dari The Holy Quran karya Maulana Muhammad Ali, pimpinan Ahmadiyah Lahore. Sejarah mempertemukan pemikiran HOS Tjokroaminoto yang bersedia menerjemahkan The Holy Quran yakni ketika organisasi Ahmadiyah Lahore ekspansi di Indonesia dan berpusat di Yogyakarta. Di sisi lain, Sarekat Islam yang dipimpin HOS Tjokroaminoto juga gencar-gencarnya untuk terus bergerak. Sehingga sering terjalin silaturahim antara HOS Tjokroaminoto dan pimpinan Ahmadiyah Lahore di Indonesia, Mirza Walid Ahmad Baig. Hasil silaturahmi pada saat itu, menginspirasi pemikiran HOS Tjokroaminoto untuk tertarik menerjemahkan The Holy Quran, tafsir Quran berbahasa Inggris karya Maulana Muhammad Ali.
Baca juga: Kisah Thalut Dalam Al-Quran: Representasi Sosok Pahlawan Bangsa
Alasan HOS Tjokroaminoto, Qoer-an Soetji Diterbitkan
HOS Tjokroaminoto menilai tafsir The Holy Quran ini layak untuk dikonsumsi masyarakat Indonesia. Pun pada masa itu, literasi tentang Alquran masih minim. Tafsir yang diterjemahkan saja masih memasuki periode kedua dari periodisasi terjemahan Alquran di Indonesia. Hal ini yang membuat HOS Tjokroaminoto melestarikan terjemah tafsir agar masyarakat Indonesia dapat lebih membaca dan memahami Alquran serta isinya. sehingga lahirlah Qoer-an Soetji.
Tahun 1925, HOS Tjokroaminoto dipercaya untuk menerjemahkan The Holy Quran. Semua pihak sepakat dari kalangan Sarekat Islam. Namun, berselang dua tahun berikutnya, setelah HOS Tjokroaminoto pulang dari Mekah dalam rangka delegasi dari Indonesia pada Rabithah Alam Islamiyah. Banyak hal menyudutkan HOS Tjokroaminoto atas berbagai dugaan dan fitnah. Proyek penerjemahan yang dilakukan HOS Tjokroaminoto pun terhambat. Anggota Sarekat Islam yang dari kalangan Muhammadiyah banyak menentang atas proyek penerjemahan ini. Dikarenakan ideologi Ahmadiyah yang dinilai berlawanan dengan Islam sehingga berdampak pada kualitas karya yang berbau Ahmadiyah tidak direkomendasikan untuk disebar luaskan di berbagai kalangan.
Qoer-an Soetji diputuskan untuk tidak dialnjutkan proses penerjemahannya. Juga personal HOS Tjokroaminoto pun diserang anggotanya sendiri dalam tubuh Sarekat Islam yang kontra dengannya. Berbagai fitnah dituduhkan padanya, hingga keluarganya pun tak terlepas dari tuduhan negatif. Tuduhan-tuduhan negatif ini cukup membuat luka yang amat dalam pada HOS Tjokroaminoto. Qoer-an Soetji pun tidak dilanjutkan prosesnya.
Baca juga: Implementasi Mental Heroik dalam Al-Quran; Refleksi Peringatan Hari Pahlawan
Proyek penerjemahan dari The Holy Quran menjadi Qoer-an Soetji yang dicekal dengan dalih bacaan yang tidak direkomendasikan untuk dikonsumsi masyarakat, merupakan dalih politis. anggota Sareka Islam yang kontra dengan HOS Tjokroaminoto menilai bahwasanya HOS Tjokroaminoto sendiri sudah jarang sholat, tidak pandai dalam bahasa Arab, korupsi dan lainnya, mereka menilai dari segi sikap saja sudah tidak berkompeten.
The Holy Qoern dinilai produk Ahmadiyah yang mana aliran teologinya berbeda dengan berbagai organisasi masyarakat pada masa itu. Sehingga dengan dalih seperti ini bahwa proyek penerjemahan yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto tersebut, sesat.
Model Terjemah Qoer-an Soetji yang dilakukan HOS Tjokroaminoto
Melihat model penerjemahan yang HOS Tjokroaminoto lakukan, ia tetap menuliskan apa adanya sesuai tafsir aslinya. Pada The Holy Quran, Maulana Muhammad Ali menuliskan tafsirannya dengan menerjemahkan maknanya dulu sebagaimana terjemah Alquran. Lalu pada ayat-ayat yang ditafsirkan, dibantu dengan catatan kaki. Sehingga tafsirnya dapat dibaca di bagian bawah halaman.
Model penerjemahan yang dilakukan HOS Tjokroaminoto yakni menggabungkan dua model yang mana saling berkaitan. secara utuh, HOS Tjokroaminoto menerjemahkan The Holy Quran menjadi Qoer-an Soetji dengan model terjemah harfiyah. Yakni pengalih bahasakan dari bahasa asal pada bahasa tujuan sesuai strukur kalimat bahasa asal. Hal ini dibuktikan dari teknis kepenulisan hingga layout yang sama dan utuh.
Namun penerjemahan secara harfiyah memiliki kelemahan yakni pada suatu ayat tertentu tidak bisa diterjemahkan sebagaimana adanya. Diperlukan suatu penjelasan lebih dalam lagi dengan bahasa tujuan yang lebih mudah. HOS Tjokroaminoto pun dalam terjemahnya tidak hanya utuh menerjemahkan, namun disisipkan keterangan lebih lanjut terkait ayat yang memang butuh penjelasan lebih.
Baca juga: KH. Ahmad Shiddiq dan Penjelasan Tentang Tafsir Ukhuwah
Terkait sesat tidaknya produk penerjemahan ini, sebenarnya tidak sesat. Maulana Muhamamad Ali merupakan ulama besar dari golongan Ahmadiyah Lahore. Ahmadiyah Lahore dikenal dengan moderasinya yang sangat baik walau secara administratif-organisasitaoris berbeda dengan Ahmadiyah Qadiyan. Ahmadiah Lahore tetap mempercayai nabi Muhammad sebagai nabi terakhir. Hal ini berbeda dengan Ahmadiyah Qadiyan yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Nabi Muhammad. Aliran teologis yang dianut oleh Ahmadiyah Lahore merupakan wasathiyah yang bergerak mengikuti zaman.
HOS Tjokroaminoto yang dikenal dengan siasah yang baik pun tidak lepas dari tekanan-tekanan politis dari berbagai arah. Begitulah yang dialami guru bangsa ini pada saat proses penerjemahan Qoer-an Soetji. Tuduhan bahwa harus diberhentikan proses penerjemahan tersebut semata-mata karena pihak yang kontra dengan HOS Tjokroaminoto ingin mendapatkan panggung lebih baik. Qoer-an Soetji aman secara teologis dan menurut H. Agus Salim, sahabat dari HOS Tjokroaminoto tersebut juga sudah kenal dan mempelajari The Holy Quran setahun lebih. Dia berpendapat bahwa tafsir ini cocok untuk dikonsumsi berbagai kalangan masyarakat khususnya pemuda.
Bahkan cukup mengherankan, proyek penerjemahan yang dikerjakan HOS Tjokroaminoto dicekal dan dinilai negatif. Namun beberapa tahun selanjutnya tepatnya 1935 diterbitkannya terjemah dari The Holy Quran dalam bahasa Belanda dengan judul De Heilege Qoern oleh Sadewo dari kalangan Muhammadiyah. Terbukti juga pada masa diterbitkannya terjemah tersebut menjadi rujukan akademis oleh berbagai tokoh bangsa, khususnya presiden Soekarno.
Qoer-an Soetji pada prosesnya ini memang tergolong pada periode kedua dari periodisasi terjemahan di Indonesia. Kondisi sosial juga masyarakat butuh akan referensi-referensi bacaan sebagai perawatan nalar. Tak hanya itu, pada masa itu masyarakat harus berjuang melawan kolonialisme Belanda. HOS Tjokroaminoto yang salah satu guru bangsa, menghadirkan upaya penerjemahan tersebut untuk memperkaya khazanah tentang substansi makna Alquran. wallahu a’lam[]