Radikalisme dan Upaya Deradikalisasi: Inspirasi Metode Ishlah dari Ibn ‘Asyur

Radikalisme
Radikalisme

Radikalisme dan Upaya Deradikalisasi masih menjadi wacana hangat saat ini. Mengenai istilah radikalisme, Abdul Mustaqim membagi radikalisme menjadi dua yakni soft radicalism dan hard radicalism. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan soft radicalism adalah pemahaman radikal yang masih berkisar pada level kognitif (ideologi) dan tidak sampai diaktualisasikan dalam bentuk tindakan (terorisme).

Namun, pemahaman radikal dalam level kognitif ini juga berdampak pada banyaknya klaim-klaim bid’ah dan takfiri (pengafiran) terhadap golongan yang tidak seideologi. Adapun yang dimaksud dengan hard radicalism adalah bentuk ideologi yang radikal yang sampai pada level aktualisasi. Tindakan secara nyata yakni aksi terorisme yang menghancurkan apapun yang tidak sejalan dengan ideologi mereka dan yang mereka klaim sebagai thagut (musuh Allah).

Yusuf Qardhawi juga memberikan pandangannya terkait dengan fenomena radikalisme dan terorisme. Ia menyebutkan bahwa ciri-ciri radikalisme antara lain: fanatik kepada satu pendapat serta menegasikan pendapat orang lain; abai terhadap historisitas Islam; tidak dialogis; dan harfiah dalam memahami teks agama tanpa mempertimbangkan tujuan esensial syariat (maqashid al-syari’ah).

Demi merespon problem ideologi ini, maka meminjam istilah yang digunakan oleh Nasaruddin Umar bahwa “deradikalisasi adalah sebuah keharusan”. Selain sebagai kontra narasi terhadap propaganda-propaganda ideologi radikal. Deradikalisasi juga bertujuan untuk meneguhkan kembali bahwa Islam bukanlah agama yang mengajak pada tindakan ekstrim—seperti halnya diklaim oleh islamophobic.

Salah satu bentuk deradikalisasi dalam upaya men-counter paham radikalisme adalah dengan memberikan penafsiran yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Menghadirkan pandangan salah satu cendekiawan Islam sekaligus mufassir yang masyhur dengan metode maqashid-nya yakni Ibn ‘Asyur adalah salah satu langkah preventif yang dapat diterapkan.

Dalam penafsirannya terhadap Q.S. al-Hujurat: 9 terdapat beberapa poin penting dari metode penafsiran maupun pandangan Ibn ‘Asyur tentang ishlah yang dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam agar tidak radikal dalam pikiran maupun tindakan serta terus mengusung spirit nilai-nilai universal Islam dalam menjalani kehidupannya, antara lain:

1) Menerapkan Metode Istiqra’ dalam Upaya Memahami Al-Quran

Metode istiqra’ sendiri adalah melakukan telaah terhadap ayat-ayat Alquran secara holistik dan tidak parsial. Maksudnya tidak hanya memahami ayat berdasarkan makna leksikalnya saja (terjemahan).

Pembacaan istiqra’ Ibn Asyur tersebut tercermin dalam prinsip-prinsip maqshudul Qur’an yang ia pertimbangkan dalam penafsiran. Adapun empat prinsip yang ia masukan sebagai rumusannya yaitu: 1) al-fitrah (fitrah manusia); 2)  al-samahah (toleransi); 3) al-musawa (egaliterianisme); dan 4)  al-hurriyah (kebebasan).

Dalam kitabnya, al-Burhan fi ‘Ulum Alquran, al-Zarkasyi mengatakan bahwa ada beberapa sebab seseorang tidak mampu menggapai makna Alquran, dan salah satunya adalah berpegang pada terjemahan maupun guru yang tidak memiliki kapasitas dalam menafsirkan al-Quran kecuali hanya ilmu terjemah (‘ilm bi al-dzhahir).

Maka perlu adanya tadabbur dan tafakkur yang lebih mendalam sehingga didapati moral value—oleh Fazlur Rahman disebut ideal moral—di dalamnya.

2) Berpegang Pada Prinsip-Prinsip Universal dalam Al-Quran

Dalam menafsirkan Q.S al-Hujurat: 9, Ibn ‘Asyur telah konsisten berpegang pada prinsip maqashid al-Quran yang disusunnya. Dari penafsirannya atas ayat ishlah tersebut, Ibn ‘Asyur telah menunjukkan bahwasanya Islam adalah agama yang sangat mengedepankan perdamaian dan kemanusiaan.

Dengan begitu tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menyalahi prinsip-prinsip dasar Alquran. Maka tindakan-tindakan radikal dapat dikatakan telah menyalahi prinsip-prinsip Islam yang tertuang dalam Alquran itu sendiri. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip universal Alquran, seharusnya tindakan-tindakan radikal tidak terjadi. Justru Islam seharusnya hadir untuk menjadi penengah bukannya provokator.

Adapun jika dikaitkan dengan konteks saat ini, peperangan baru boleh dilakukan tatkala umat Islam sudah pada posisi terdesak—sebagaimana konteks Q.S al-Hajj: 39-40—dan itupun tidak menjadi upaya offensive melainkan defensive.

Maka sudah semestinya umat Islam tidak mudah terbawa pada tafsir-tafsir yang justru mengarahkan mereka menjadi “pencoreng” nama baik Islam sendiri. Memang tidak bisa dipungkiri dalam Al-Quran juga terdapat ayat-ayat yang dapat memicu tindakan radikal apabila disalahpahami.

Adapun solusi dalam menyikapi penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat qital yang dapat dijadikan alternatif terbaik adalah dengan memposisikan ayat-ayat qital sebagai golongan ayat-ayat mutasyabihat. Sehingga pemakanaanya pun harus dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamat yakni ayat-ayat yang sejalan dengan prinsip-prinsip universal Islam, seperti halnya Q.S al-Hujurat: 9 yang membawa prinsip islah. Wallahu A’lam.