BerandaTafsir TematikRagam Penafsiran atas Frasa La’allakum Tattaqun dalam Surah al-Baqarah Ayat 183

Ragam Penafsiran atas Frasa La’allakum Tattaqun dalam Surah al-Baqarah Ayat 183

Surah al-Baqarah Ayat 183 menjadi ayat yang paling populer dikutip selama bulan Ramadhan. Secara konteks kandungan ayat, memang sangat relevan jika ayat ini masif dikutip. Adapun frasa akhir ayat ini (la’allakum tattaqun—agar kamu bertaqwa) juga menjadi salah satu diskursus yang banyak mendapati sorotan. Artikel ini akan mengulas ragam penafsiran atas frasa la’allakum tattaqun dalam beberapa kitab tafsir mu’tabarah atau yang biasa dijadikan rujukan.

Ada 3 (tiga) kitab tafsir yang akan dijadikan sampel dan sekaligus mewakili masing-masing periode tafsir (era klasik-era kontemporer). Keempat karya tafsir tersebut ialah Tafsir al-Thabari atau Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an (era klasik), Tafsir al-Razi atau Mafatih al-Ghaib (era pertengahan), Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir (era modern-kontemporer). (Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an).

Baca Juga: Kriteria Orang Bertakwa dalam Al-Quran Surat Yunus Ayat 133-135

Tafsir al-Thabari

Imam al-Thabari dalam Jami’ul Bayan di Tafsir al-Qur’an juga memberikan sorotan terhadap frasa akhir Surah al-Baqarah Ayat 183. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:

وأما تأويل قوله:”لعلكم تَتقون”، فإنه يعني به: لتتقوا أكل الطعام وشرب الشراب وجماع النساء فيه. يقول: فرضت عليكم الصوم والكفّ عما تكونون بترك الكف عنه مفطرين، لتتقوا ما يُفطركم في وقت صومكم.

“dan adapun takwil firman Allah: la’allakum tattaqun ialah supaya kalian mencegah diri kalian dari nafsu ingin makan, minum maupun jima’ di saat berpuasa. Ada pendapat yang mengatakan bahwa diwajibkan atas kalian itu berpuasa dan menahan diri terhadap segala hal yang dapat menyebabkan kalian berbuka (saat  sedang berpuasa)”.

Penafsiran Imam al-Thabari ini setidaknya memberikan kesimpulan bahwa takwa yang dimaksud ayat menurutnya ialah menjadi orang-orang yang mampu menahan diri dari apapun yang dapat membatalkan puasa. Lalu jika dikaitkan dengan makna terminologis taqwa maka akan didapati bahwa menjalankan puasa merupakan bentuk imtitsalu awamirillah dan mencegah diri dari hal yang membatalkannya merupakan bentuk ijtinabu nawahih.

Maka penafsiran al-Thabari sejatinya tetap membawa esensi makna taqwa secara terminologis. Meskipun kemudian direpresentasikan dalam bentuk perilaku nyata yang sesuai dengan konteks pembicaraan yang dibicarakan dalam ayat.

Mafatih al-Ghaib

Dalam Mafatih al-Ghaib, Imam Fakhruddin al-Razi menuliskan beberapa penafsiran makna. Karena terlalu panjang, maka kutipan dari penafsiran tidak dituliskan secara keseluruhan dan hanya dicantumkan bagian-bagian terpentingnya. Berikut penjelasan al-Razi:

1- أَنَّ الصَّوْمَ يُورِثُ التَّقْوَى لِمَا فِيهِ مِنَ انْكِسَارِ الشَّهْوَةِ وَانْقِمَاعِ الْهَوَى فَإِنَّهُ يَرْدَعُ عَنِ الْأَشَرِ وَالْبَطَرِ وَالْفَوَاحِشِ وَذَلِكَ لِأَنَّ الصَّوْمَ يَكْسِرُ شَهْوَةَ الْبَطْنِ وَالْفَرْجِ

2- لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ اللَّهَ بِصَوْمِكُمْ وَتَرْكِكُمْ لِلشَّهَوَاتِ فَإِنَّ الشَّيْءَ كُلَّمَا كَانَتِ الرَّغْبَةُ فِيهِ أَكْثَرَ كَانَ الِاتِّقَاءُ عَنْهُ أَشَقَّ وَالرَّغْبَةُ فِي الْمَطْعُومِ وَالْمَنْكُوحِ أَشَدُّ مِنَ الرَّغْبَةِ فِي سَائِرِ الْأَشْيَاءِ فَإِذَا سَهُلَ عَلَيْكُمُ اتِّقَاءُ اللَّهِ بِتَرْكِ الْمَطْعُومِ وَالْمَنْكُوحِ، كَانَ اتِّقَاءُ اللَّهِ بِتَرْكِ سَائِرِ الْأَشْيَاءِ أَسْهَلَ وَأَخَفَّ

“1. Bahwasanya puasa mewariskan takwa (bagi yang melakoninya) yang bentuknya berupa penaklukan syahwat dan pengendalian hawa nafsu. Puasa juga menghalangi seseorang bersikap angkuh dan berlaku keji. Hal itu dikarenakan puasa berfungsi sebagai pengendali syahwat perut (lapar-haus) dan farji (jima’)”

“2. Makna la’allakum tattaqun ialah supaya kalian bertakwa kepada Allah dan meninggalkan syahwat. Sebab sesuatu yang begitu disenangi cenderung susah untuk ditahan. Kesenangan manusia pada urusan perut dan kawin lebih kuat dari pada urusan lainnya, sehingga jika kalian (umat Islam) mudah melakoni taqwallah dengan meninggalkan urusan perut dan kawin maka taqwallah dengan meninggalkan urusan-urusan selainnya tentu akan lebih mudah”.

Penafsiran al-Razi memberikan poin-poin yang menarik untuk diulas. Pertama, al-Razi telah membawa makna taqwa ke dalam diskursus yang lebih luas dari yang dihadirkan oleh al-Thabari dengan istilah syahwat yang ia gunakan. Kedua, al-Razi mempermisalkan syahwat dengan dua hal yang paling digemari manusia yaitu urusan perut dan farji.

Maka jika direfleksikan, penafsiran al-Razi ini mengajak kita berpikir bahwa seseorang yang mampu berpuasa tentu semestinya akan lebih terlatih untuk mengaplikasikan taqwallah dalam urusan-urusan yang merupakan turunan-turunan dari bentuk syahwat bathni maupun farji. Contoh sederhana dari turunan tersebut seperti halnya korupsi (bathni) dan pergaulan bebas (farji).

Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir

Menarik sekali untuk membaca diskursus ini pada kitab tafsir yang lahir dari tangan seorang yang dinilai sebagai ahli maqashid. Sebab frasa di akhir Q.S. al-Baqarah Ayat 183 tersebut dapat dianggap sebagai maqasid dari adanya kewajiban puasa itu sendiri. Maka berikut ini kutipan penafsiran dalam al-Tahrir wa al-Tanwir:

 وَقَوْلُهُ: لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ بَيَانٌ لِحِكْمَةِ الصِّيَامِ وَمَا لِأَجْلِهِ شُرِعَ وَالتَّقْوَى الشَّرْعِيَّةُ هِيَ اتِّقَاءُ الْمَعَاصِي، وَإِنَّمَا كَانَ الصِّيَامُ مُوجِبًا لِاتِّقَاءِ الْمَعَاصِي، لِأَنَّ الْمَعَاصِيَ قِسْمَانِ، قِسْمٌ يَنْجَعُ فِي تَرْكِهِ التَّفَكُّرُ كَالْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالسَّرِقَةِ وَالْغَصْبِ فَتَرْكُهُ يَحْصُلُ بِالْوَعْدِ عَلَى تَرْكِهِ وَالْوَعِيدِ عَلَى فِعْلِهِ وَالْمَوْعِظَةِ بِأَحْوَالِ الْغَيْرِ، وَقِسْمٌ يَنْشَأُ مِنْ دَوَاعٍ طَبِيعِيَّةٍ كَالْأُمُورِ النَّاشِئَةِ عَنِ الْغَضَبِ وَعَنِ الشَّهْوَةِ الطَّبِيعِيَّةِ الَّتِي قَدْ يَصْعُبُ تَرْكُهَا بِمُجَرَّدِ التَّفَكُّرِ، فَجَعَلَ الصِّيَام وَسِيلَةً لِاتِّقَائِهَا، لِأَنَّهُ يَعْدِلُ الْقُوَى الطَّبِيعِيَّةَ الَّتِي هِيَ دَاعِيَةُ تِلْكَ الْمَعَاصِي، لِيَرْتَقِيَ الْمُسْلِمُ بِهِ عَنْ حَضِيضِ الِانْغِمَاسِ فِي الْمَادَّةِ إِلَى أَوْجِ الْعَالَمِ الرُّوحَانِيِّ، فَهُوَ وَسِيلَةٌ لِلِارْتِيَاضِ بِالصِّفَاتِ الْمَلَكِيَّةِ وَالِانْتِفَاضِ مِنْ غُبَارِ الْكُدُرَاتِ الْحَيَوَانِيَّةِ.

lafadz la’allakum tattaqun merupakan penjelasan mengenai hikmah di balik pensyariatan puasa. Adapun taqwa secara syar’i itu ialah meninggalkan kemaksiatan. Maka puasa itu berfungsi sebagai alasan untuk meninggalkan kemaksiatan sebab kemaksiatan dibagi menjadi dua jenis: jenis yang dapat ditinggalkan dengan pengaruh pikiran (yang jernih) seperti khamr, judi, mencuri dan amarah. Dan jenis kemaksitan yang tumbuh dari hal-hal yang secara alami dilakukan seperti amarah serta syahwat bawaan yang begitu susah ditinggalkan dengan hanya berpikir jernih. Maka pada syahwat jenis inilah puasa dapat menjadi wasilah untuk menahannya. Puasa juga wasilah bagi manusia untuk naik tingkat dari hasutan kegemilangan materi menuju puncak alam ruhani serta melatih ketundukan pada sifat kemalaikatan dan memberontak dari keruhnya sifat kehewanan.”

Ada beberapa poin menarik yang patut diulas dari uraian indah Ibn Asyur di atas. Pertama, Ibn Asyur menggunakan istilah meninggalkan kemaksiatan sebagai definisi dari taqwa. Berbeda halnya dengan al-Razi yang menggunakan istilah syahwat (abstrak). Ibn Asyur tampak lebih condong pada bentuk representatif (eksis) yang sifatnya general. Meskipun pada akhirnya Ibn Asyur juga mengarahkan fungsi puasa yang secara khusus untuk meredam kemaksiatan yang bersumber dari syahwat.

Baca Juga: Takwa dan Tawakkallah, Tips Mencari Rezeki Menurut Al-Quran

Kedua, Ibn Asyur menyisipkan nilai-nilai sufistik yang dilengkapi dengan sisipan istilah-istilah sufisme. Penafsiran ini memberikan nuansa yang berbeda dan sekaligus memperlihatkan upaya Ibn Asyur dalam menampilkan maqasid ibadah puasa yang tidak hanya dari perpektif Fiqh namun juga Tasawuf.

Dari ketiga kitab tafsir yang telah diulas, terlihat bahwa masing-masing memiliki warna dan kekhasan penafsiran yang berbeda-beda khususnya dalam mendefinisikan taqwa dalam surah al-Baqarah Ayat 183. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari sisi pemilihan istilah serta keluasan diskursus atau wacana yang dihadirkan. Namun pada dasarnya ketiga penafsiran tersebut tetap membawa esensi yang sama bahwa puasa ialah ibadah yang disyariatkan dengan tujuan mencetak umat yang bertaqwa pada Rabb-nya. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...