BerandaTafsir TematikRamadan, Zakat Fitrah, dan Mustahiknya

Ramadan, Zakat Fitrah, dan Mustahiknya

Selain berpuasa, kewajiban lain bagi umat Islam yang pelaksanaannya melekat dengan bulan Ramadan adalah zakat fitrah. Waktu penunaiannya yang dekat dengan idul fitri, ole ulama fikih disebut sebagai salah satu alasan penamaan zakat tersebut.

Waki’ bin Jarrah (guru Imam Syafii), yang dikutip oleh Syekh al-Bujairimi dalam al-Bujairimi ‘Ala al-Khatib mengambarkan keutamaan zakat fitrah bagi bulan Ramadan seperti sujud sahwi untuk salat. Zakat fitrah bisa menambal kekurangsempurnaan puasa sebagaiman sujud sahwi dapat menambal kekurangsempurnaan salat. Demikian ini menunjukkan bahwa puasa Ramadan seseorang tidak akan sempurna jika dia tidak menunaikan zakat fitrah.

Namun analogi yang disinggung sebelumnya ini tidak berlaku di ranah hukum pelaksanan. Zakat fitrah itu wajib, sedangkan sujud sahwi itu sunnah. Kewajiban zakat fitrah berdasar pada hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Ibn Umar bahwa Rasulullah mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadan kepada umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, orang merdeka maupun budak, kecil maupun besar yang berupa satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum. (H.R. al-Bukhari)

Kewajiban zakat fitrah ini berlaku jika seseorang sudah memenuhi tiga syarat. Beberapa syarat tersebut berdasar pada hadis Rasulullah yang sudah dinukil sebelumnya. Syarat pertama yaitu Islam; Kedua, masih mendapati ujung hari di hari terakhir Ramadan; Ketiga, mempunyai kelebihan harta, yakni di luar harta yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya minimal pemenuhan kebutuhan dalam waktu dua puluh empat jam.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Menyerahkan Zakat kepada Keluarga Sendiri?

Delapan Mustahik Zakat

Selain mengatur tentang orang-orang yang wajib menunaikan zakat, Islam melalui Alquran juga mengatur orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik zakat). Para penerima zakat ini sudah diatur dalam Alquran, surah At-Taubah [9] ayat 60

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (60)

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” Q.S. at-Taubah [9]: 60.

Berdasarkan ayat tersebut, diketahui bahwa mustahik zakat itu ada delapan orang. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menjelaskan satu persatu tentang pengertian delapan pihak tersebut.

Mustahik zakat yang pertama dan kedua, yaitu fakir dan miskin. Keduanya identik sama, meski tidak persis. Keduanya sama-sama tidak memiliki kecukupan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Sedang perbedaan keduanya beragam, satu dari yang memahami perbedaannya yaitu al-Qurtubi. Mufasir asal Cordoba ini memahami bahwa fakir adalah seseorang yang butuh dari kaum muslimin dan miskin adalah orang yang butuh dari ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani).

Beberapa ulama fikih juga memahami perbedaan kategorisasi fakir dan miskin. fakir adalah seseorang yang tidak punya harta, tidak punya pekerjaan juga untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Sedangkan miskin yaitu seseorang yang punya harta dan juga punya pekerjaan, tetapi masih belum bisa memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Namun seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, apa pun kategorisasi yang diberikan kepada keduanya, baik fakir maupun miskin sama-sama butuh bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang layak.

Mustahik zakat yang ketiga yaitu ‘amil (pengelola zakat). ‘Amil meliputi dari orang yang mengkoordinir pengumpulan zakat, mencari para mustahiknya, menentukan, menginventarisir mereka, dan mendistribusikan zakat. M. Quraish Shihab memberi catatan bahwa ‘amil ini seharusnya diangkat oleh pemerintah. Dengan begitu, seseorang yang ditugasi tersebut resmi menjadi ‘amil. Ini akan berbeda dengan seseorang yang langsung, tanpa ‘surat tugas’, menerima zakat dan membagikannya kepada yang berhak. Orang yang seperti ini bukan ‘amil, tapi ‘hanya’ wakil pemberi zakat.

Keempat yaitu mualaf. Ada banyak kategori dalam golongan yang keempat ini. M. Quraish Shihab merangkumnya menjadi dua. Pertama yaitu non muslim dan yang kedua yaitu muslim. Untuk kategori pertama, ada dua kondisi, yaitu non muslim yang memiliki kecenderungan memeluk Islam, dan non muslim yang dikawatirkan gangguannya terhadap umat Islam.

Untuk kategori kedua, ada tiga kondisi. Pertama, orang yang baru masuk Islam yang belum mantap imannya; Kedua, orang yang baru masuk Islam dan sudah mantap keimanannya, yang dia juga mempunyai kedudukan yang berpengaruh di masyarakat; Ketiga, orang Islam yang diberi zakat dengan harapan berjihad melawan para pembangkang zakat.

Baca Juga: Haruskah Zakat Fitrah Dibagikan Secara Merata ke Delapan Golongan?

Mustahik zakat yang kelima yaitu riqab (hamba sahaya atau budak). Untuk zaman sekarang yang sudah tidak mengenal perbudakan, M. Quraish Shihab memberi penjelasan yang mengutip Mahmud Syaltut. Menurut mantan Syaikh Al-Azhar itu, masayarakat yang tinggal di wilayah-wilayah yang sedang dijajah sama posisinya dengan riqab, bahkan bisa jadi kondisinya lebih parah.

Selain itu, pengertian ‘hamba sahaya’ atau ‘budak’ di masa sekarang menurut M. Qurasih Shihab bisa dipahami seperti kasus tenaga kerja yang diikat kontrak dengan satu pengusaha, yang dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan harus membatalkan kontraknya secara sepihak, sedang pemilik perusahaan enggan membatalkan kecuali dengan ganti rugi. Seseorang yang mengalami kondisi seperti ini, bisa dan berhak menerima zakat, karena dia seperti orang yang tidak merdeka, kehidupannya masih tergantung pada atasannya.

Mustahik zakat yang keenam yaitu gharim (orang yang terlilit hutang yang tidak mampu membayarnya). Tentu saja, hutang yang dimaksud tidak untuk hal-hal kemaksiatan.

Mustahik zakat berikutnya yaitu fi sabilillah. Para mufasir klasik memaknai istilah ini dengan para pejuang yang terlibat dalam peperangan. Namun di hadapan mufasir kontemporer, pemahaman tentang istilah tersebut mengalami perluasan, yaitu orang-orang yang aktif dalam kegiatan sosial yang bertujuan dakwah Islam dan meninggikan ‘kalimat’-Nya.

Mustahik zakat yang terakhir yaitu ibn sabil. Ulama klasik memahami ibn sabil dengan seseorang yang kehabisan bekal dalam perjalanan, sekali pun dia kaya di negeri asalnya.

Demikian delapan mustahik zakat yang diatur oleh Islam dalam Alquran. Ini bertujuan tidak lain agar zakat itu sampai pada tangan pihak yang tepat, yang benar-benar membutuhkan. Dengan begitu, tujuan sosial dari zakat, yakin membantu orang yang membutuhkan dapat tercapai. Wallah a’lam.

Limmatus Sauda
Limmatus Sauda
Santri Amanatul Ummah, Mojokerto; alumni pesantren Raudlatul Ulum ar-Rahmaniyah, Sreseh Sampang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU