BerandaTafsir TematikRasulullah Pun Pernah Mempraktikan Metode Bandongan

Rasulullah Pun Pernah Mempraktikan Metode Bandongan

Dalam gramatikal Arab, bandongan disebut juga halaqah (metode melingkar/ lingkaran). Metode ini memungkinkan para sahabat membentuk setengah lingkaran dan mengelilingi Rasulullah saw. Di mana Rasul saw. bisa mengawasi dengan cermat sebab jarak keduanya lumayan dekat.

Kedekatan jarak pendidik dan peserta didik juga membangun hubungan emosional mereka lebih dekat. Selain itu, menampilkan bagaimana pendidikan Islam begitu egaliter, termasuk pondok pesantren. Praktik metode ini telah disitir oleh firman-Nya dalam Q.S. al-Mujadalah [58]: 11,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujadalah [58]: 11)

Tafsir Surat al-Mujadalah Ayat 11

As- Suyuthi dalam Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul menjelaskan sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan majelis dzikir di mana para sahabat enggan memberikan tempat duduk kepada sahabat yang lain.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Qatadah bahwa apabila ada orang yang baru datang ke majelis Rasul saw, para sahabat enggan memberikan tempat duduknya di dekat Rasul saw. Maka turunlah ayat ini, surat al-Mujadalah ayat 11.

Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Hatim, dari Muqatil bahwa ayat ini turun pada hari Jumat, tatkala pahlawan Badar datang ke majelis Rasul saw yang penuh sesak, sehingga mereka terpaksa berdiri. Melihat hal itu, lantas Rasul saw menyuruh sahabatnya yang sudah duduk untuk berdiri.

Sedangkan para pahlawan Badr disuruh menempati tempat duduk sahabat yang berdiri tadi. Adapun mereka yang berdiri berpindah tempat, dan merasa tersinggung. Ayat ini turun sebagai perintah kepada orang mukmin untuk menataati Rasul saw dan memberikan kesempatan duduk kepada mukmin lainnya.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6: Hukum Wudhu Perempuan yang Memakai Kuteks


Penafsiran ini akan berfokus pada konteks metode bandongan yang dalam bahasa Arab disebut juga halaqah (melingkar). Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ulama qiraat ada yang membacanya al-majlis (dalam bentuk tunggal, bukan jamak). Sedangkan Al-Qurthuby menukil Wazir bin Hubaisy dan Ashim membacanya dengan majalis (bentuk jama’).

Di dalam hadits yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sunnah disebutkan bahwa Rasulullah saw belum pernah duduk di tempat paling ujung dari suatu majelis, tetapi beliau selalu duduk di tengah-tengah majelis itu.

Sedang, para sahabat duduk di dekatnya sesuai tingkatan mereka. Maka, Abu Bakar as-Shiddiq duduk di sebelah kannya, Umar di sebelah kirinya, sedangkan yang seirng menempati duduk di depan beliau ialah Usman dan Ali, karena keduanya termasuk juru pencatat wahyu.

Dan Nabi saw sendirilah yang memerintahkan keduanya untuk hall tersebut, sebagaimana yang disebutkan dalam H.R. Imam Muslim, melalui hadits al-A’masy, dari Imarah bin Umar, dari Ma’mar, dari Abu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw bersabda,

لِيَلِينِيْ مِنْكُمْ أُولُوا الْأَحْلَامِ والنُّهَى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Hendaklah orang-orang yang memiliki budi dan akal yang duduk mendampingiku, kemudian orang-orang yang sesudah mereka, kemudian orang-orang yang sesudah mereka.

Hal ini tiada lain dimaksudkan agar mereka dapat memahami penjelasan beliau saw. Karena itulah, beliau saw memerintahkan kepada mereka yang berada di dekatnya untuk beranjak dari tempat duduknya, dan meminta orang-orang ahli Badar yang baru tiba menduduki tempat sahabat tadi.

Hal semacam ini dimungkinkan terjadi karena mereka kurang menghargai kedudukan ahli Badar atau agar ahli Badar yang baru tiba itu dapat menerima ilmu sebagaimana ilmu yang diterima oleh orang-orang sebelum mereka, atau barangkali untuk mengajarkan kepada mereka bahwa orang-orang yang memiliki keutamaan itu (ahli Badar) harus diprioritaskan berada di depan (dekat dengan Nabi saw).


Baca juga: Alasan Tafsir Jalalain Jadi Tafsir Favorit di Pesantren


Rasulullah Saw Pun Pernah Mempraktikkan Metode Bandongan

Sebagaimana penjelasan penafsiran di atas, Rasul saw pun pernah mempraktikkan metode bandongan. Istilah bandongan sendiri berasal dari bahasa Sunda, ‘ngabandungan’ yang berarti memperhatikan secara seksama atau menyiak. Biasanya istilah bandongan dipadukan dengan sorogan di mana kedua metode ini sudah menjadi entitas yang melekat dalam pembelajaran pesantren.

Dengan metode ini, para santri atau peserta didik akan belajar dengan menyimak secara kolektif. Dalam bahasa Jawa, bandongan juga disebutkan berasal dari kata ‘bandong’, yakni pergi berbondong-bondong. Dikarenakan dilangsungkan dengan peserta dalam jumlah yang relatif besar.

Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia menyatakan metode bandongan merupakan metode utama dalam sistem pengajaran di pesantren. Dalam sistem ini, sekelompok peserta didik (antara 5 sampai dengan 500 murid) mendengarkan seorang pendidik yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulang buku-buku Islam dalam bahasa Arab.

Setiap peserta didik memperhatikan bukunya sendiri dan membuat hasyiyah (catatan pinggir secara ringkas) tentang hal-hal yang sulit dipahami. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah, yang secara bahasa diartikan lingkaran murid, atau sekelompok peserta didik yang belajar di bawah bimbingan seorang guru atau pendidik.

Ternyata metode bandongan juga tidak hanya pernah dipraktikkan oleh Rasul saja, akan tetapi dilestarikan oleh para sahabat, sebut saja Umar bin Khattab. Pada masa kekhalifahannya, beliau mengirimkan beberapa qari’ untuk mengajarkan Alquran di wilayah Islam, salah satu yang didelegasikannya adalah Abu Darda’.

Abu Darda’ merupakan salah seorang sahabat bertugas mengajarkan Alquran di Damaskus. Di sana dia membuat halaqah atau bandongan yang sangat masyhur di mana jumlah peserta didiknya mencapai 1600-an lebih, sungguh jumlah yang sangat fantastis bukan.

Metode yang digunakan Abu Darda’ pun dengan membagi peserta didiknya ke dalam 10 kelompok kecil dan menugaskan seorang instruktur pada tiap-tiap kelompok. Lalu ia melakukan inspeksi keliling guna memantau kemajuan peserta didiknya. Bagi mereka yang telah lulus tingkat dasar, dapat mengikuti bimbingan langsung di bawah beliau agar peserta didik merasa lebih terhormat mendapatkan pengajaran langsung dengan sang guru atau pendidik.

Model metode seperti ini juga telah diaplikasikan di berbagai pesantren dengan santri baru terlebih dahulu belajar Alquran atau materi awal dengan para asatidz sebelum belajar langsung dengan Kiai atau Bu Nyai.

Hal ini bertujuan untuk membentuk keefektifan dalam suatu pembelajaran. Sebab santri baru akan lebih baik dan sebaiknya memang mendapat pembelajaran yang relatif cukup lama ketimbang santri lama atau sudah mahir. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...