BerandaTafsir TematikRefleksi Marhamaisme dalam Surah Al-Balad

Refleksi Marhamaisme dalam Surah Al-Balad

Ketika membaca kitab suci, yang ada dalam benak setiap insan adalah perkataan Tuhan yang bersifat sakral. Tentu isi daripada hal tersebut mengandung hikmah tersendiri bila dibaca serta dipahami secara mendalam. Sebuah surah dalam Alquran yang terdiri dari 20 ayat menjelaskan mengenai sumpah Allah dengan menyebut nama negeri atau al-Balad.

Baca Juga: Sayyid Qutb dan Hamka: Mirip tapi Tak Sama

Surah yang dibuka dengan kalimat sumpah Allah terhadap suatu negeri memiliki makna bahwasanya Allah Swt. bersumpah dengan menyebut al-Balad yang dalam hal ini adalah kota Mekah. Kemudian terkait dengan Nabi Muhammad saw. yang merupakan penduduk asli Mekah yang pernah terusir oleh kaumnya hingga kembali ke kota tersebut tatkala terjadi penaklukan Mekah. Kemudian Allah Swt. Menjelaskan bahwasanya manusia diciptakan-Nya dengan penuh kesulitan juga proses yang tidak mudah. Sehingga dari hal ini terdapat pesan agar manusia tidak menyombongkan diri (al-Kasysyaf/1203).

Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan perihal surat ini khususnya ketika berbicara mengenai beberapa ayat terakhir dari surat al-Balad khususnya ayat 17-20. jika pada pertengahan ayat khususnya ayat 11-16 terdapat seruan untuk melakukan kegiatan yang mana hal tersebut bagaikan melintasi jalan terjal seperti membebaskan perbudakan (ayat 13), memberi makan pada masa paceklik (ayat 14), menyantuni anak yatim terlebih jika masih terdapat hubungan famili (ayat 15), dan menolong orang miskin yang sengsara (ayat 16). Beberapa ayat ini merupakan anjuran agama yang tidak hanya berdimensi hubungan vertikal, tetapi juga horizontal (Tafsir Al-Azhar/10/8006-8009).

Baca Juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

Ulama asal Maninjau ini juga menjelaskan pada ayat 17 dan 18 bahwa jika dilihat korelasi dengan beberapa ayat sebelumnya, maka hal tersebut adalah aktualisasi dari Iman. Hal ini karena beberapa hal yang telah disebutkan pada ayat 11-16 dilakukan secara ikhlas tanpa mengharap pamrih. Maka pada ayat 18 dijelaskan mengenai golongan kanan atau ashab al-maymanah yakni kelompok yang beriman juga beramal soleh. Lalu pada ayat 19 dijelaskan mengenai golongan kiri atau ashab al-masy’amah yang mana merupakan lawan dari kelompok kanan. Sehingga kelompok tersebut mendapat balasan di akhirat yakni bertempat di nerakan sebagaimana yang dijelaskan pada ayat 20 (Tafsir Al-Azhar/10/8009-8010).

Redaksi golongan kanan dan kiri mendapat perhatian khusus dari Hamka dengan mengaitkan hal tersebut pada konteks politik di Indonesia era 1950-an. Jika dalam bahasa politik secara umum golongan kiri diartikan sebagai komunis dan sosialis, maka golongan kanan sebagai kapitalis dan borjuis. Namun Hamka tetap menghimbau untuk berhati-hati dengan istilah tersebut agar umat Islam tidak terkecoh (Tafsir Al-Azhar/10/8010).

Terkait dengan penafsiran surah al-Balad, Hamka sempat menyinggung istilah Marhamaisme. Penafsir yang juga tokoh Persyarikatan Muhammadiyah ini mengisahkan bahwa pada 7 November 1947 di Bukittinggi, Majelis Syura Muslimin Indonesia atau Masyumi sedang melaksanakan HUT ke 2 berdirinya partai tersebut. Acara ini dihadiri oleh Wakil Presiden pertama Indonesia yakni Mohammad Hatta. Ketika Hatta menghadiri acara tersebut terdapat seseorang yang bernama Darwis Thaib yang merupakan murid dari Bapak Bangsa tersebut. Saat acara berlangsung sang murid menjelaskan mengenai gagasan Marhamaisme.

Baca Juga: Tafsir al-Azhar: Nabi Adam, Benarkah dari Surga Diturunkan di Sumatera (Pulau Swarna Dwipa)?

Sebagaimana yang diketahui bahwa sebelum perang dunia II, Thaib merupakan kader dari partai Pendidikan Nasional Indonesia dibawah pimpinan Mohammad Hatta. Syarat untuk bergabung dengan partai ini yaitu mengikuti kursus politik secara terartu. Bung Hatta merupakan tokoh yang menitikberatkan pada pendidikan bagi calon politisi. Thaib mempelajari sosialisme secara mendalam lewat PNI. Selain sebagai nasionalis, Thaib juga memiliki jiwa keislaman yang kuat. Pasca kemerdekaan, pria Minangkabau ini bergabung dengan partai Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).

Pemikiran Thaib ini berisi mengenai keadilan sosial berlandaskan wahyu khususnya surat al-Balad terutama pada beberapa hal seperti memberantas perbudakan terhadap manusia, memberikan bantuan terhadap orang yang membutuhkan seperti anak yatim, kaum fakir miskin serta program ini dilandaskan pada ajaran Islam yang diwujudkan oleh adanya komunitas yang solid. Bagi Thaib komunitas Muslim yan hidup saling tolong-menolong, saling mengingatkan untuk sabar juga berkasih sayang, inilah yang disebut dengan Marhamah. Untuk mengenalkan gagasan ini, Darwis Thaib membuat brosur kecil dengan judul Marhamaisme pada 1947.

Pemikiran Thaib ini menurut Hamka mencoba meneropong kandungan surah al-Balad kemudian diperkenalkan ke masyarakat agar Alquran dapat diamalkan. Akan tetapi, gagasan ini belum tersebar secara luas mengingat kondisi Indonesia ketika itu yang sedang berperang melawan penjajah Belanda. Sehingga gagasan Thaib hanya dikenal di wilayah Sumatera Barat (Tafsir Al-Azhar/10/8010-8012).

Baca Juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

Meski gagasan Darwis Thaib belum tersebar luas di Indonesia, namun alangkah baiknya menjadi refleksi bagi kaum Muslimin untuk tetap mengamalkan ajaran Alquran khususnya surah al-Balad sesuai dengan konteks zaman. Terlebih dalam surah al-Balad terdapat beberapa ayat yang mengajarkan untuk saling tolong menolong dalam kebaikan. Wallahu A’lam

Jaka Ghianovan
Jaka Ghianovan
Dosen di Institut Daarul Qur'an (IDAQU) Tangerang. Aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-Ma'arij ayat 19-30

Surah al-Ma’arij Ayat 19-30: Tabiat Buruk Manusia dan Obatnya

0
Manusia tidak selalu bertabiat baik, ada juga tabiat buruk dalam diri manusia yang dapat mendorong kepada hal-hal negatif, antara lain ialah tidak sabar, sering...