Penafsiran tentang kepemimpinan selalu menjadi isu menarik dibahas, terutama dalam kaitannya dengan kesetaraan peran laki-laki dan perempuan dalam Surah Al-Nisa Ayat 34. Ayat tersebut kerap kali diinterpretasi atau ditafsirkan secara bias gender, sehingga beberapa sarjana melakukan reinterpretasi. Sahiron Syamsuddin termasuk sarjana Indonesia kontemporer pencetus pendekatan ma’na-cum-maghza dan mengaplikasikannya pada ayat ini.
Upaya beliau menginterpretasikan Surah Al-Nisa Ayat 34 dilakukan dalam rangka menemukan maghza (signifikansi [pesan inti]) pada ayat tersebut agar tidak lagi mengandung kesan bias gender. Dalam memaparkan penafsirannya, Sahiron Syamsuddin terdahulu mengemukakan beberapa tafsiran dari ulama terdahulu, baik klasik maupun modern.
Pemaparan tafsir-tafsir terdahulu bertujuan untuk melihat fleksibiltas dan dinamisasi penafsiran Surah Al-Nisa Ayat 34. Selain itu, ini juga dilakukan untuk mengetahui posisi para penafsir tersebut. Di sini, terjadi pergeseran tafsir ayat tersebut, dari yang semula ditafsiri sebagai ayat normatif menjadi historis-kultural-normatif oleh Sahiron Syamsuddin.
Tafsir Surah Al-Nisa Ayat 34 era Klasik-Modern sebagai Ayat Normatif
Sahiron Syamsuddin mengatakan bahwa para penafsir klasik hingga modern menempatkan Surah Al-Nisa Ayat 34 sebagai ayat normatif, yakni norma-norma dalam Islam terkait hubungan suami-istri. Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin, pembesar, dan hakim bagi perempuan serta pendidikan baginya apabila dia menyimpang. Ini karena laki-laki lebih utama daripada perempuan.
Al-Thabari menafsirkan Surah Al-Nisa Ayat 34 dengan mengatakan bahwa suami-suami itu bertugas terhadap istri-istrinya dalam memberikan pengajaran (arahan) dan menghukum istri-istri tersebut dalam hal yang menjadi kewajiban mereka terhadap Allah SWT dan suami-suaminya.
Baca Juga: Mengenal Hind Shalabi, Pakar Tafsir Sekaligus Aktivis Perempuan Asal Tunisia
Penafsiran Ibnu Katsir dan Al-Tabari ini, menurut Sahiron Syamsuddin, senada dengan penafsiran Al-Razi yang memandang perempuan (istri) secara kodrati tidak memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki (suami) dari sisi rasionalitas, keilmuan, kekuatan, fisik, dan kemampuan manajerial. Karena itu, perempuan harus memperoleh perhatian khusus dari laki-laki (suaminya).
Lebih jauh, penafsiran serupa di atas masih dijumpai dalam kitab-kitab tafsir moder, terutama yang disebut Sahiron Syamsuddin sebagai penafsir yang bermazhab quasi-obyektivis tradisionalis. Mereka juga memandang Surah Al-Nisa Ayat 34 sebagai ayat normatif.
Dalam tafsirannya, Ibnu Asyur mengatakan bahwa permulaan ayat tersebut merupakan “prinsip syari’at yang bersifat universal” yang mesti dijadikan dasar dalam hukum terhadap ayat-ayat berikutnya. Di sini, Ibnu Asyur mengatakan bahwa kepemimpinan laki-laki adalah mutlak. Ini karena laki-laki memiliki kelebihan di atas perempuan, sebagaimana tertera secara eksplisit pada ayat Surah Al-Nisa Ayat 34 tersebut, yakni kelebihan dalam banyak hal dan kewajiban nafkah.
Muhammad Abduh dalam tafsirnya pada Surah Al-Nisa Ayat 34 mengatakan bahwa kelebihan laki-laki di atas perempuan tersebut adalah takdir, sehingga tidak dapat diubah. Muhammad Abduh menilai bahwa laki-laki memiliki kelebihan dalam hal kekuatan fisik, serta kewajiban memberi nafkah. Sehingga, laki-laki berhak dan pantas menjadi pemimpin keluarga.
Meski demikian, menurut Sahiron Syamsuddin bahwa penafsiran Muhammad Abduh masih terbilang humanis. Ini terlihat dari perkataan Muhammad Abduh bahwa, misalnya, hubungan laki-laki dan perempuan bagaikan hubungan antara kepala dan badan. Dalam artian, keduanya saling membutuhkan, dan karenanya seorang laki-laki (suami) tidak boleh sombong kepada perempuan (istrinya) karena kekuatan fisiknya, demikian juga perempuan yang tidak boleh keberatan atas kelebihan laki-laki.
Menurut Sahiron Syamsuddin bahwa berbagai tafsiran tersebut mengandung bias gender, dengan tingkat kebiasan yang berbeda-beda. Ini nampaknya disebabkan oleh pra-pemahaman penafsir mengenai kondisi perempuan (saat itu) dan karena penafsir tersebut hanya berfokus pada analisis bahasa. Mereka tidak memperhatikan secara mendalam mengenai aspek historis seperti sistem masyarakat pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Reinterpretasi Surah Al-Nisa Ayat 34 sebagai Ayat Historis-Kultural-Normatif
Menurut Sahiron Syamsuddin bahwa Surah Al-Nisa Ayat 34 tidak semata-mata dipahami sebagai ayat normatif, sebagaimana dipahami oleh para penafsir yang dipaparkan di atas. Beliau menilai bahwa ayat tersebut juga tentang penjelasan kondisi riil sistem kekeluargaan bangsa Arab. Pada saat itu, sistem kekeluargaan yang terjadi adalah sistem patriarkhal, yaitu sistem di mana laki-laki selalu menjadi pemimpin perempuan, terutama dalam ranah keluarga.
Pada sistem tersebut sebenarnya lebih bersifat kultural, bukan normatif. Dalam artian bahwa kepemimpinan laki-laki bukan sebagai sistem Islami, melainkan sebagai kultur (budaya) bangsa Arab. Karena itu, sistem seperti ini tidak mengandung nilai religious (nilai agama). Sehingga, mengikuti sistem tersebut bukan kewajiban, tetapi pilihan dari sebuah komunitas atau masyarakatnya.
Lebih jauh, Sahiron Syamsuddin menilai bahwa sistem kekeluargaan seperti di atas tidak mengandung nilai baik atau buruk. Ini sama halnya dengan sistem kekeluargaan matriarkhal, yang juga tidak mengandung nilai baik atau buruk. Beliau mengatakan bahwa nilai baik dan buruk baru dapat diketahui ketika sebuah sistem tersebut dipraktikkan secara positif (baik) atau secara negatif (buruk) ditinjau dari sisi moral.
Adapun sistem patriarkhal dalam kultur bangsa Arab tersebut bernilai negatif dari sisi moral. Ini karena laki-laki melakukan penindasan kepada perempuan. Sehingga, melalui wahyu Allah, Nabi Muhammad SAW memperbaiki sisi-sisi negatif (tidak bermoral) tersebut dengan cara menghilangkan unsur-unsur penindasan dalam sistem tersebut. Ssalah satunya adalah bahwa mereka sering berbuat buruk kepada istrinya ketika tidak taat (nusyus) kepada mereka, maka suami tersebut langsung memukulnya dengan pukulan yang melukai.
Baca Juga: Hikmah Dibalik Ayat-Ayat Waris dan Derajat Perempuan di Masa Jahiliah
Menurut Sahiron Syamsuddin bahwa perilaku tersebut kemudian diperbaiki oleh Al-Qur’an dalam ayatnya wa-llati takhafuna nusyuzahunna fa-‘izhuhunna wa-hjuruhunna fi l-madlaji’I wa-dlribuhunna. Ini mengajari laki-laki (suami) untuk tidak melakukan pemukulan kepada isri-istrinya serta merta ketika mereka (istri) melakukan nusyuz, melainkan harus melalui tahapan-tahapan yang bermoral dan secara berurutan: (1) nasihat, (2) pisah tempat tidur, dan (3) memukul (yang tidak melukai).
Berdasarkan pemahaman di atas, Sahiron Syamsuddin menilai bahwa Surah Al-Nisa Ayat 34 sebagai ayat historis-kultural-normatif, yakni ayat-ayat yang berhubungan dengan sejarah sosial dan budaya Arab ketika wahyu ini disampaikan, yang ditujukan untuk memasukkan nilai-nilai moral dalam kultur Arab saat itu. Dengan demikian, pemahaman Sahiron Syamsuddin tersebut terkesan lebih holistik, terutama untuk diterapkan di Indonesia era kontemporer.[] Wallahu A’lam.