BerandaKisah Al QuranRekaman Keruntuhan Bangsa-Bangsa dalam Alquran

Rekaman Keruntuhan Bangsa-Bangsa dalam Alquran

Di dalam Alquran terdapat banyak kisah yang dapat diambil hikmahnya. Kendati hikmah yang didapat itu, tidak bisa stagnan, menyeluruh, dan belum final. Hal ini lantaran hikmah dari kisah-kisah Alquran selalu peroleh interpretasi yang segar, baru, dan beragam dari pembaca muslim atau nonmuslim dengan latar belakang, kepentingan, dan kondisi aktual yang berbeda-beda. Pada titik ini, saya rasa Alquran membuktikan bahwa keberadaannya sebagai kitab suci, selalu relevan sampai nanti akhir zaman.

Misalnya saja kisah tentang keruntuhan bangsa-bangsa superior di masa silam: kaum ‘Ad, kaum Tsamud, dan Firaun yang direkam dalam surah Al-Fajr (89) di ayat 6-13. Dalam sejarah, ketiga kaum ini memiliki kontribusi yang cukup signifikan bagi peradaban umat manusia.

Kaum ‘Ad dengan kondisi bangsa yang dikaruniai kelimpahan sumber daya alam. Kemudian kaum Tsamud yang diriwayatkan menjadi penerus dari kaum ‘Ad. Kaum Tsamud sendiri menjadi kaum yang dinilai cukup kreatif karena ahli dalam seni memahat. Mereka memotong batu besar di lembah, memahatnya, dan menjadikannya sebagai istana. Terakhir adalah kaum Firaun atau Ramses II. Mereka merupakan kaum berperadaban tinggi. Mereka memiliki ahli teknokrat, akademisi, ekonom, sampai peramal dan tukang sihir yang membuat kaum Firaun di masa itu sangat superior.

Hanya saja kaum dari bangsa yang superior pada masanya itu, dikisahkan dalam Alquran peroleh kehancuran. Warisannya sampai hari ini hanya berbentuk cerita dan puing-puing yang mewakili masa keemasannya. Kenapa demikian?

Penyebab Keruntuhan Bangsa-Bangsa

Hidayatullah Ismail dan Nasrul Fatah dalam telaahnya di artikel Sebab Keruntuhan Suatu Bangsa (2018), mengidentifikasi ihwal penyebab keruntuhan bangsa-bangsa tersebut. Identifikasi itu didasarkan pada dua hal; teologis dan sosiologis.

Dari sisi teologis, ambruknya ketiga bangsa itu lantaran kepemilikan sikap arogan pada ajaran tauhid yang dibawa nabi-nabi pada zamannya. Rata-rata kaum dari ketiga bangsa itu menilai bahwa, mereka telah berdaya tanpa adanya ajaran tauhid. Bahkan tidak hanya berhenti di situ, penodaan agama melalui simbol-simbol tertentu juga dilakukan oleh ketiga bangsa itu.

Baca juga: Kehancuran Negeri karena Kefasikan Bangsawan: Memaknai Surah Al-Isra Ayat 16

Selanjutnya dari sisi sosiologis, ketiga kaum ini pada dasarnya merupakan bangsa maju dengan segenap pengetahuan yang dimiliki pada masanya. Hanya saja karena hal itulah, mereka menjadi pongah. Seakan-akan pengetahuan yang hanya dititipkan itu, dapat membuat hidup mereka abadi dan berjarak dengan ragam penderitaan. Mereka luput dalam menyadari itu.

Selain itu, khususnya masa kepemimpinan Ramses II, merupakan prototipe dari kepemimpinan yang tirani. Saking tiraninya, ia emoh ada bayi laki-laki yang lahir lantas menjadi ancaman dari tahta yang ia duduki. Kendati begitu, dalam cerita yang sampai ke telinga orang-orang hari ini, Ramses II dengan sekian kemajuan yang dimilikinya juga ambruk oleh Nabi Musa.

Peran Sentral Pemimpin

Sebagai kitab yang lengkap, Alquran tidak hanya berisi kisah terdahulu sebagai pelajaran umat manusia hari ini. Alquran sendiri juga memberi rambu-rambu ihwal bangsa yang sehat. T. Mairizal dalam artikelnya, Stabilitas Pemerintahan dalam Perspektif Alquran (2018), menemukan ada beberapa tips agar sebuah bangsa bisa berjalan dengan menegasikan atau meminimalisasi kekacauan sekaligus bisa memberi kemanfaatan bagi para warganya. Tips ini diinterpretasikan dari surah An-Nisa (4): 58-59.

Pertama, pemimpin yang menunaikan amanat. Artinya, pemimpin mesti bisa menjamin hak-hak dari setiap warganya. Selanjutnya, pemimpin yang berupaya dengan keras memberi keadilan hukum, tanpa pilih kasih. Mereka yang salah mesti peroleh hukuman sesuai kadar kesalahan yang dilakukan, sekalipun yang salah adalah orang terdekatnya.

Baca juga: Kisah Bani Israil Pasca Kehancuran Firaun dan Bala Tentaranya dalam Alquran

Kemudian, perbedaan pendapat atas sesuatu perkara merupakan hal yang lumrah. Di ayat tersebut, pemimpin mesti “mengembalikannya” ke Alquran dan teladan Kanjeng Nabi jika mufakat tidak ditemukan. Saya rasa “kembali ke sumber” ini tidak semata-mata tekstual; tetapi juga mesti memahami konteks di masa lalu dan masa sekarang.

Hal itu lantaran seperti yang saya sebut di awal, selain Alquran itu memang relevan sampai akhir zaman, jika “kembali ke sumber” ini hanya tekstual semata, maka konklusi yang ditemukan malah akan mereduksi suatu perkara. Alih-alih memberi solusi, malah bisa memicu munculnya perkara lain.

Baca juga: Perpecahan dan Kemunduran Bani Israil: Presistensi Ilmuwan yang Tendensius

Memungkasi ini saya kira memang sangat pas jika Alquran diposisikan sebagai pedoman. Karena di dalamnya ada banyak sekali rekaman peristiwa yang, jika digali mendalam, maka nilai-nilai yang ditemukan tidak pernah usang. Sekian.

Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady
Alumnus Magister Studi Agama-agama, Konsentrasi Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

0
Manusia hidup dan berkembang seiring perubahan zaman. Berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi bidang teknologi, sosial, ekonomi, dan budaya terus berubah seiring berjalannya waktu....