prinsip hermeneutika gramatikal SchleiermacherPada artikel sebelumnya, penulis telah menjelaskan mengenai ‘Paradigma Ma’na Cum Maghza sebagai Pendekatan Tafsir ala Sahiron Syamsuddin’. Adapun dalam tulisan kali ini penulis akan memaparkan terkait prinsip hermeneutika gramatikal Schleiermacher ketika direlevansikan dengan pendekatan tafsir Ma’na Cum Maghza. Dalam pengembangan pendekatan tafsir Ma’na Cum Maghza ini, ternyata Sahiron tidak hanya merujuk kepada tokoh-tokoh Muslim (seperti Fazlur Rahman, Abu Zayd, dan al-Talibi), melainkan Sahiron juga mengelaborasikan pemikirannya dengan pemikiran Barat untuk kemudian direlevansikan dengan pengembangan kajian hermeneutika Al-Qur’an. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendekatan yang ditawarkan Sahiron ini merupakan teori hermeneutika yang seimbang antara pemikiran Islam dan Barat.
Sebelum melangkah ke pembahasan, kiranya sangatlah penting untuk mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hermeneutika gramatical Schleiermacher. Dimana yang dimaksud dengan hermeneutika gramatikal Schleiermacher adalah hermeneutika yang kaitannya dengan bahasa, yakni bahasa yang tertuang di dalam kitab yang akan ditafsirkan. Hal ini sejalan dengan dimensi penting pendekatan Ma’na Cum Maghza.
Dimana, salahsatu dimensi penting dari pendekatan Ma’na Cum Maghza ini adalah bahwa seorang mufassir sangat penting untuk memahami aspek kebahasaan atau gramatikal dari Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana ungkapannya Schleiermacher, “The succesfull practice of the art depends on the talent of language”, artinya “Kesuksesan praktek seni menafsirkan itu tergantung pada kemampuan bahasa”. Jadi sangatlah penting bagi seorang mufassir untuk memiliki kemampuan dalam segi bahasa. Dalam dunia tafsir Al-Qur’an, tentu saja kemampuan bahasa yang harus dimiliki seorang mufassir adalah kemampuan bahasa Arab.
Baca juga: Keutamaan Malam Hari dalam Al-Quran
Tiga Prinsip Hermeneutika Schleiermacher dan Kaitannya dengan Pendekatan Tafsir Ma’na Cum Maghza
Dalam bukunya Hermeneutcs and Criticsm, Schleiermacher menyampaikan prinsip-prinsip hermeneutika gramatikal. Setidaknya ada tiga prinsip yang harus diketahui yang paling signifikan dengan analisa bahasa ketika dikembangkan dalam kajian pendekatan tafsir Ma’na Cum Maghza.
Pertama, ketika sesorang menafsirkan teks tertentu, maka yang harus kita perhatikan itu adalah bahasa yang dipakai oleh pengarang. Jadi istilahnya, kita harus mengenal area bahasa (language area), bidang bahasa yang memang dikenal dan dipakai oleh pengarang tersebut. Dan juga harus mengenal original audiens language, artinya harus mengenal bahasa yang digunakan audiens pada saat pengarang tersebut mengarang teks.
Prinsip ini juga berlaku bagi Al-Qur’an, yang mana dalam hal ini Nabi Muhammad disebut sebagai original audiens, dan bahasa yang digunakan disebut sebagai language area, yakni bahasa yang digunakan pada masa Nabi yaitu bahasa Arab abad ke-7. Jadi dalam hal ini, seorang mufassir haruslah mempunyai kesadaran penuh bahwa bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah bahasa Arab pada masa Nabi, yakni bahasa Arab abad ke-7.
Baca juga: Mendudukkan Ayat Jihad dan Kebebasan Beragama dalam al-Quran (2)
Sebagaimana diketahui, bahwa setiap bahasa termasuk bahasa Arab tentu mengalami diakronik atau perkembangan dari masa ke masa, baik itu perkembangannya dalam makna kosakata maupun dalam struktur kalimatnya (tarkibnya). Contoh sederhana, makna ikhlas. Dalam makna kontemporer, ikhlas dimaknai sebagai untuk mendapat ridho Allah dengan melakukan ibadah hablun minannas dan hablun minallah. Hal ini tentu berbeda dengan makna ikhlas dalam bahasa Al-Qur’an, yang mana bahasa Arabnya adalah bahasa Arab abad ke-7 pada masa Nabi. Dimana, dalam Al-Qur’an ikhlas dimaknai sebagai ketauhidan. Lantas mengapa surat Al-Ikhlas tidak dinamai surat Tauhid?, karena dalam konteks zaman Nabi bahasa Tauhid itu belum digunakan dalam bahasa teologi, yang digunakan pada waktu itu adalah al-ikhlas, yang mana maksudnya sama yaitu ketauhidan.
Dengan demikian, kata ikhlas dan tauhid itu mengalami diakronik (perkembangan). Jadi, singkatnya ketika hendak menafsirkan Al-Qur’an maka bahasa Arab yang dipakai adalah bahasa Arab yang digunakan ketika Al-Qur’an tersebut diturunkan, yakni bahasa Arab pada abad ke-7. Hal ini dilakukan agar dapat meminimalisir kesalahan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini sejalan dengan ungkapannya Imam Syatibi, bahwa “Seseorang tidak mungkin memahami bahasa Al-Qur’an kecuali dia memahami bahasa Arab ketika diturunkannya Al-Qur’an”.
Kedua, ketika menafsirkan atau mencoba memahami suatu kosakata, maka hendaknya memperhatikan kosakata yang berada di sekitarnya. Prinsip seperti ini juga ada dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Sebagai contoh, ketika hendak menafsirkan ayat, “Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil’aalamiin”. Lantas makna rahmat disini apa? Maka ketika kita hendak menggali makna rahmat tersebut, hendaknya memperhatikan kata-kata yang berada di sekitarnya, bahkan jika perlu kita perhatikan pula ayat-ayat sebelumnya.
Hal ini dalam bahasa Arab disebut dengan “As-Siyaaq an-nafsi” atau disebut dengan tekstual-konteks atau sintagmatik (perhatian terhadap tekstual-konteks). Sebab, dalam bahasa Arab itu ada yang disebut dengan musytarak, artinya satu kata namun beragam makna. Karena sebagaimana diketahui, bahwa bahasa Arab itu amatlah sangat kompleks. Jadi, ketika hendak menafsirkan ayat Al-Qur’an hendaklah memperhatikan penggunaan kosakata yang sedang ditafsirkan, apakah berkaitan dengan kosakata yang disekitarnya atau dengan ayat-ayat sebelumnya, serta bagaimana penggunaan kosakata tersebut pada ayat-ayat lain. Atau, dalam bahasa Sahiron disebut dengan perhatian terhadap intratekstualitas, yakni mampu mengkomparasikan kata-kata Al-Qur’an.
Pentingnya analisa bahasa terhadap Al-Qur’an, disamping bertujuan untuk memahami makna denotatif sebuah lafal, analisa bahasa juga bertujuan agar seorang penafsir mampu memahami makna konotatif (makna relasional) sebuah lafal. Sebagai contoh, kata manusia. Dimana dalam Al-Qur’an ada kata basyar, yang mana kata basyar ini merupakan makna manusia dalam segi fisiknya.
Jadi, kata basyar dalam Al-Qur’an artinya menunjukkan manusia dalam sisi fisiologisnya, yang mana nantinya menjadi berbentuk fisik, seperti wajah, tangan, kaki, dan lainnya. Sebagai contoh penerapan kata basyar dalam Q.S Maryam [19] : 20. Dalam ayat ini terdapat kalimat وَّلَمْ يَمْسَسْنِيْ بَشَرٌ. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa fisik Maryam betul-betul tidak disentuh samasekali, hal ini ditunjukkan dengan adanya kata لَم, yang berarti Lam Juhud, yaitu Lam yang membuat fi’il mudhari’ menjadi nashab dan mengandung arti untuk penyangkalan. Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa Maryam tidaklah berzina dengan siapapun.
Baca juga: Pemikiran Arthur Jeffery Tentang Ragam Qira’at dan Kritik Autentisitas Al-Quran
Kemudian dalam Al-Qur’an ada kata insan, yang mana kata insan disini menunjukkan manusia dalam segi non-fisiknya. Hal ini berdasar pada bahwa Allah mengajarkan manusia dalam sisi yang tidak mereka ketahui, artinya dalam sisi otaknya, sisi hatinya, sisi ruhaninya dan sisi spiritualnya. Jadi ketika menyebutkan insan maka konotasinya adalah manusia dalam sisi non-fisiknya. Sebagai contoh, terkait amanah yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu agar manusia mampu memakmurkan bumi dengan melaksanakan perintah-Nya. Jadi singkatnya, ketika seseorang menafsirkan kata basyar dengan mengkonotasikannya dengan kata insan, maka itu tidaklah benar. Karena konotasi kata basyar yaitu berkaitan dengan manusia dalam sisi fisiknya. Sedangkan kata insan, konotasinya berkaitan dengan sisi manusia dalam segi non-fisiknya yakni fungsi manusia di muka bumi.
Ketiga, bahwa dalam penafsiran harus dipahami bahwa karya seseorang merupakan bagian dari bahasa dan kehidupan pengarangnya. Hal ini dikaitkan dengan penafsiran Al-Qur’an yaitu dalam hal al-kulli al-juziyati. Sebagai contoh, kita menafsirkan Al-Qur’an dengan ayat-ayat tertentu, maka harus kita ingat kulliyat-nya Al-Qur’an itu apa? Bahwa kulliyat atau makna keseluruhan Al-Qur’an adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Bahwa Al-Qur’an adalah untuk membina akhlak manusia agar mampu beretika dengan baik, sebagaimana yang telah Al-Qur’an ajarkan. Jadi, singkatnya, ketika hendak menafsirkan Al-Qur’an maka hendaknya memperhatikan misi utama (kulliyat) dari Al-Qur’an agar sesuai dengan koridor tujuan diturunkannya Al-Qur’an, bahwa Al-Qur’an adalah sebagai rahmat.
Dari tulisan sederhana ini, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pendekatan tafsir Ma’na Cum Maghza ini merupakan pendekatan tafsir dengan teori hermeneutika yang berupaya mengelaborasikan dua kutub keilmuan antara pemikiran Islam dan Barat. Dimana, dari pendekatan Ma’na Cum Maghza ini, penulis menyadari bahwa betapa pentingnya seorang mufassir untuk tidak menutup diri dari adanya ilmu pengetahuan Barat guna mendukung perkembangan pemikiran seorang mufassir itu sendiri. Hal ini sebagaimana dibuktikan Sahiron, bahwa prinsip hermeneutika Schleiermacher nyatanya bisa direlevansikan dengan pemikiran hermeneutika Al-Qur’an. Dalam hal ini, tentu saja dengan tetap menjunjung tinggi nilai maslahat dan rahmat, sebagaimana tujuan dari hadirnya Al-Qur’an itu sendiri. (Wallaahu A’lam Bisshawaab)