Vandalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lain (keindahan alam dan sebagainya), perusakan dan penghancuran secara ganas. George T Falkness mendefinisikan perbuatan vandalisme merupakan sebuah tindak kejahatan yang bertujuan untuk merusak barang-barang.
Tindakan yang dilakukan bukan hanya merusak fasilitas umum yang tersedia, namun juga fasilitas yang menunjang kebutuhan pribadi. Jadi, vandalisme merupakan suatu perbuatan yang mempunyai tujuan untuk merusak ataupun menghancurkan benda atau karya, baik buatan manusia maupun alam ciptaan Allah SWT. Perbuatan vandalisme tentu bukan hanya merugikan diri sendiri, akan tetapi dampak dari perbuatan tersebut juga dirasakan oleh orang lain dan lingkungan sekitar. Allah SWT. dalam Q.S. al-Rum [30]: 41 berfirman:
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Baca juga: Resolusi Al-Quran Menghadapi Tantangan Digital di Era Post-Truth
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah Juz 11: 77, mengemukakan bahwa kerusakan yang terjadi di darat dan di laut disebabkan oleh ketidakseimbangan antara keduanya serta kemanfaatan yang ada didalamnya telah berkurang, bisa juga keduanya mengalami kerusakan dengan sendirinya.
Sementara itu, Ibnu ‘Asyur mendefinisikan kerusakan yang dimaksud dalam ayat diatas adalah semesta alam yang telah diciptakan oleh Allah dalam sebuah komponen yang sangat serasi dan menunjang kebutuhan manusia, mengalami kerusakan akibat dari perbuatan buruk yang mereka lakukan, sehingga hal ini mengakibatkan ketimpangan atau ketidakseimbangan ekosistem alam. Kerusakan alam yang dilakukan oleh manusia mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem alam, begitupula kerusakan yang dilakukan di tempat-tempat umum, hal ini juga mengakibatkan rusaknya fasilitas umum sehingga akomodasi manusia menjadi terhambat.
Kerusakan yang dilakukan oleh manusia bukan hanya berdampak pada alam ataupun fasilitas yang tersedia, akan tetapi kerusakan juga dapat menimpa manusia itu sendiri. Sebagaimana penafsiran Quraish Shihab pada Q.S. al-Baqarah [2]: 205 yang berbunyi:
وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي ٱلۡأَرۡضِ لِيُفۡسِدَ فِيهَا وَيُهۡلِكَ ٱلۡحَرۡثَ وَٱلنَّسۡلَۚ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلۡفَسَادَ
Artinya: “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”.
Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Menyoal Manusia dan Krisis Ekologis
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah Juz 1:446 mengartikan kalimat al-harts wa al-nasl adalah tanaman dan binatang ternak, akan tetapi juga dapat dipahami dalam arti wanita dan anak-anak. Sehingga, kerusakan yang terjadi pada manusia adalah ketika manusia itu melecehkan wanita akan berdampak pada rusaknya generasi muda/anak-anak. Kemudian kata tawalla dapat pula dipahami dengan arti memerintah. Sehingga, apabila manusia diberi kekuasaan, kemudian membuat kebijakan-kebijakan yang mana kebijakan tersebut dapat menimbulkan kerusakan, seperti eksploitasi alam dan lain sebagainya.
Kerusakan-kerusakan di muka bumi tentunya juga dapat menghambat aktivitas manusia sebagai khalifatullahi fi al-ardh atau wakil Allah di bumi. Oleh karena itu, manusia juga harus senantiasa melakukan pengelolaan yang terus berkesinambungan untuk meminimalisir terjadinya kerusakan. Allah SWT. berfirman dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 30 yang berbunyi:
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
Artinya: “ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau?” tuhan berfirman: “sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Baca juga: Tafsir Ilmi Kemenag: Bumi yang Dinamis dan Relevansinya Bagi Kehidupan
Manusia sebagai tangan kanan Allah atau wakil Allah di bumi, sudah sepatutnya untuk merepresentasikan sifat allah dalam mengelola alam semesta raya. Diantara sifat tersebut adalah terus menerus mengurus atau memelihara dan selalu menebar rahmat atau kasih sayang di bumi. Oleh sebab itu, kewajiban seorang manusia terhadap semesta sebagai bentuk tanggungjawabnya dan pengabdiannya kepada Allah adalah terus melakukan pemeliharan alam termasuk juga pemeliharaan terhadap diri sendiri dan orang lain guna mempertahankan kebutuhan hidupnya.
Allah memperkenankan manusia untuk mengambil manfaat dari apa yang telah diciptakan oleh-Nya. Namun, hal demikian harus dilakukan secara bijak dan penuh tanggungjawab, tidak dilakukan secara berlebihan sehingga dapat mengakibatkan kerusakan.
Sifat rahmat atau kasih sayang dalam menjalani tugas manusia sebagai wakil Allah di bumi juga perlu dimiliki. Karena, apabila manusia berinteraksi dengan manusia lain, tetapi tidak dilandasi dengan sifat rahmat atau kasih sayang, yang akan timbul adalah permusuhan dan pertengkaran antar sesama manusia. Permusuhan dan pertengkaran tentunya bukanlah suatu hal yang baik, karena hal ini dapat memicu adanya perkelahian atau peperangan yang dapat mengakibatkan kerusakan terhadap diri dan orang lain. Pada akhirnya, sifat saling memelihara dan menebar rahmat atau kasih sayang, menjadi poin penting dalam menjalani kehidupan manusia sebagai wakil Allah di bumi.
Wallahu a’lam bi shawab.