BerandaTafsir TematikTafsir EkologiRevitalisasi Nilai-nilai Keagamaan dalam Upaya Melestarikan Lingkungan

Revitalisasi Nilai-nilai Keagamaan dalam Upaya Melestarikan Lingkungan

Beberapa waktu yang lalu, Indonesia berhasil menjadi tuan rumah terselenggaranya konferensi agama dan perubahan se-Asia Tenggara yang diadakan oleh Majelis Hukama Muslimin (MHM). Salah satu tema besar yang menjadi pembahasan dalam konferensi tersebut adalah “Meneguhkan Kembali Eksistensi Agama dalam Menjaga dan Melestarikan Lingkungan,” termasuk ancaman perubahan iklim dunia.

Akhir-akhir ini, dunia memang sedang mengalami krisis ekologis. Saat ini, di Indonesia sendiri kita juga sedang mengalami musim kemarau panjang dengan suhu panas yang tidak biasa. Akibatnya banyak wilayah yang terdampak kekeringan, persedian air menipis dan berpotensi menyebabkan kebakaran lahan akibat suhu yang begitu tinggi. bahkan baru-baru ini, Ibu Kota kita, Jakarta, tercatat sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia.

Baca juga: Keadilan Agraria dalam Narasi Tafsir Alquran
Sebagian orang mungkin menganggap fenomena ini hanya sekedar musim panas yang akan berlalu seiring berjalannya waktu. Akan tetapi, perubahan iklim yang terjadi di belahan negara manapun di dunia ini sejatinya tidak bisa dilepaskan dari menipinya lapisan ozon di angkasa akibat pemanasan global.
Ada semacam konsensus ilmiah bahwa kegiatan manusia terutama emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida mengakibatkan perubahan iklim bumi dengan laju yang mengkhawatirkan. Kegiatan perindustrian yang memerlukan bahan bakar minyak, batu bara, dan bahan-bahan tak terbarukan lainnya menjadi pemicu utama es di daerah kutub mencair yang pada akhirnya menyebabkan lapisan ozon menipis.
Manusia sebagai subjek utama yang menghuni bumi ini menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas krisis ekologi yang melanda dunia saat ini. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam Alquran surah Arrum ayat 41,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُون  [الروم: 41]

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Q.S. Arrum [30]: 41.
Syaikh Mutawalli al-Syarawi dalam kitab tafsirnya menyebutkan bukti empiris mengenai dampak kegiatan manusia terhadap kelestarian lingkungan. Dapat kita bandingkan misalnya bagaimana suasana di hutan pedalaman atau pedesaan lebih asri ketimbang lingkungan di pusat industri. Udaranya lebih segar, air dapat diperoleh secara alami dan jernih, lingkungan hidup yang natural, dan seterusnya. ini membuktikan bahwa kerusakan-kerusakan yang terjadi di alam ini merupakan tanggung jawab besar umat manusia.

Upaya yang Bisa Dilakukan

Seorang sejarawan sekaligus penulis terkenal, Yuval Noah Harari mengatakan dalam bukunya, 21 Lessons for The 21 Century bahwa masalah krisis ekologis merupakan problem dunia yang dampaknya bahkan bisa lebih mengerikan daripada bom nuklir sekalipun. Sebab dalam jangka panjang, krisis ekologis ini dapat mengancam kelangsungan hidup seluruh manusia di dunia. Disamping itu, ia juga merupakan masalah yang tersembunyi.

Tidak seperti ancaman bom nuklir di mana dunia pernah mengalami kenangan pahit dengannya sehingga sangat mungkin seluruh negara kerjasama untuk menanggulanginya, krisis ekologis ini bagaikan gunung es di lautan. Karena ia terlihat kecil di permukaan, banyak orang yang kemudian acuh tak acuh dengan masalah yang sejatinya sangat krusial ini.
Upaya pertama yang harus dilakukan adalah membangkitkan kesadaran mengenai problem ekologis yang mengancam eksistensi lingkungan hidup. Karena kita adalah penghuni bumi, seharusnya upaya untuk merawat dan menjaganya harus menjadi prioritas utama. Sebagai seorang muslim, kita sudah tidak asing lagi dengan narasi-narasi normatif mengenai posisi manusia sebagai khalifah (pemegang mandat Tuhan) di bumi.

Baca juga: Konsep Keharmonisan Alam dalam Alquran: Panduan Konservasi Lingkungan
Mengutip pandangan para mufasir, Prof. KH. Moh. Tholhah Hasan menjabarkan tiga konsesi yang diberikan Tuhan kepada manusia terhadap alam raya. Pertama, konsesi intifa’ (memanfaatkan alam). Karena konsesi inilah Allah, Swt. menundukkan alam semesta sehingga manusia bisa hidup di atasnya dan memanfaatkan fasilitas yang ada di dalamnya. Kedua, konsesi i’tibar (merenung). Selain sebagai tempat tinggal yang menyediakan fasilitas-fasilitas kehidupan, Allah Swt. juga menjadikan alam ini sebagai bahan pelajaran dan ibrah bagi manusia. Tujuan utama dari konsesi ini adalah agar manusia menyadari dan meyakini eksistensi Zat yang menciptakan alam tersebut sehingga dapat melahirkan keimanan dan rasa syukur kepada-Nya.
Ketiga, konsesi ihtifadz (pemeliharaan). Allah Swt. memang menyediakan semua fasilitas kehidupan di dunia ini untuk kelangsungan hidup manusia. Akan tetapi, manusia tidak boleh melakukan tindakan eksploitasi yang berpotensi menyebabkan kerusakan pada alam itu sendiri. sebagai khalifah Allah di bumi, manusia berkewajiban untuk menjaga kelestarian dan eksistensi bumi yang mereka huni. Kalau boleh berpendapat, melakukan tindakan yang dapat merusak lingkungan hidup merupakan tindakan dosa besar mengingat dampaknya yang tidak hanya dirasakan oleh individu tertentu melainkan masyarakat secara kolektif juga terkena imbasnya.

Penutup

Akhir kata, upaya yang dapat dilakukan untuk tetap menjaga kelangsungan lingkungan hidup kita adalah dengan mengurangi tindakan-tindakan yang berpotensi mengakibatkan kerusakan. Misalnya, mengurangi penggunaan emisi gas rumah kaca, tidak memberantas hutan, dan lain sebagainya. Idealnya, upaya ini harus dilakukan secara kolektif dalam tingkat global. Namun, jika kita tidak mampu membangkitkan kesadaran masyarakat dunia secara spontan, maka tindakan individual kiranya merupakan awal yang baik. Think globally, act locally.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU