Riyadhah KH. M. Munawwir Krapyak, dari Wirid Al Qur’an hingga Bertemu Nabi Khidir

Riyadhah KH. M. Munawwir
Riyadhah KH. M. Munawwir

Membaca kisah para ulama selalu memberikan keteladanan yang mendalam, terlebih tentang riyadhah, tirakat dan segala hal yang berkaitan dengan perjuangan. Begitu pun dengan mahaguru Pesantren Al Qur’an KH. M. Munawwir Krapyak, cerita perjuangannya laksana oase bagi para pembelajar Al Qur’an. Tulisan ini akan mengulas kisah riyadhah KH. M. Munawwir Krapyak, dari wirid al Qur’an hingga bertemu nabi Khidir

Dalam buku Para Penjaga Al-Qur’an biografi Huffaz Al-Qur’an di Nusantara, profil sang Kyai menjadi pembuka buku tersebut. Kyai yang lahir dari pasangan KH. Abdullah Rosyad dan Khadijah ini ternyata cucu dari ajudan Pangeran Diponegoro, yakni KH. Hasan Besari. Disebutkan juga bahwa kealiman KH. Munawwir dalam fan Ilmu Al Qur’an merupakan wasilah dari doa kakeknya yang ingin menghafalkan Al Qur’an namun serasa berat. Kemudian, doa dan usahanya terwujud melalui cucunya ini.


Baca juga: Sayyid Muhammad Husain Al-Thabathaba’i: Arsitek Tafsir Al-Mizan


Semasa kecil Kyai Munawwir layaknya anak-anak pada umumnya saat belajar Al Qur’an. Ia diberikan iming-iming hadiah di tengah proses penggemblengan yang ketat. Ayahnya sendiri selaku guru pertama, memberikan tantangan jika mampu megkhatamkan Al Qur’an dalam waktu seminggu maka Munawwir kecil mendapatkan imbalan Rp 2,50. Ternyata tantangan ini terlaksana dengan baik menjadi rutinitas, sampai tak lagi diiming-imingi hadiah tersebut.

Seiring bertambahnya usia, Kyai Munawwir mulai mengembara untuk mencari ilmu pada ulama-ulama lain baik di Nusantara maupun Haramain. Di antara guru-gurunya di Nusantara yaitu KH. Abdullah (Kanggotan – Bantul), KH. Kholil (Bangkalan – Madura), KH. Soleh (Darat – Semarang) dan KH. Abdurrahman (Watucongol – Magelang). Setelah itu, Kyai Munawir menimba ilmu ke Haramain dan berguru pada Syaikh Abdullah Sanqara, Syaikh Syarbini,  Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdus Syakur, Syaikh Mushthafa, Syaikh Yusuf Hajar (guru dalam qira’ah sab’ah).

Dalam proses menimba ilmu inilah Kyai Munawwir memiliki riyadhah dan kegigihan yang luar biasa. Tak hanya itu, keistiqomahannya pun diterapkan hingga pulang ke Nusantara.


Baca juga: Abdul Qadir Mulla Huwaisy: Ahli Hukum Islam Penulis Tafsir Bayani al-Maani


Riyadhah Hafalan Al Qur’an hingga Bertemu Nabi Khidir

Kyai Munawwir dalam menghafal memiliki metode tersendiri. Pada tiga tahun pertama, ia mengkhatamkan Al Qur′an sekali selama tujuh hari tujuh malam. Tiga tahun selanjutnya, ia mengkhatamkan Al-Qur′an dalam waktu tiga hari tiga malam. Kemudian tiga tahun terakhir, ia hanya butuh waktu sehari semalam untuk mengkhatamkan Al-Qur′an. Bahkan menurut muridnya, setelah melalui tiga tahapan itu, Kyai Munawwir pernah khatam Al Qur’an tanpa henti selama 40 hari, hingga bibirnya berdarah.

Selain itu, ada kisah populer yang dituturkan oleh KH. Arwani Kudus bahwa Kyai Munawwir pernah didoakan Nabi Khidir. Saat itu Kyai Munawwir sedang melakukan perjalanan dari Mekkah ke Madinah. Namun ia berjumpa dengan orang tua yang tak ia kenal, lalu berjabat tangan. Ketika itu, Kyai Munawwir meminta doa agar menjadi orang yang benar-benar Hafiz Al Qur’an. Lalu orang itu pun menjawab Insya Allah.  Di kalangan Pesantren kisah-kisah seperti ini merupakan karomah sebab kebersihan hati sang Kyai.

Sepulang belajar dari Makkah Al Mukarraomah dan Madinah Al Munawwarah, Kyai Munawwir tetap menjaga amalan riyadhah. Dikisahkan KH. M. Munawwir selalu menunaikan shalat di awal waktu. Shalat sunnah juga tidak pernah lepas, seperti sunnah rawatib, witir, isyraq, dhuha, dan shalat tahajud yang mana semua shalat itu sebagai sarana untuk melantunkan hafalannya.

Kyai Munawwir juga mewiridkan al-Quran tiap ba’da Ashar dan ba’da Shubuh. Wirid Al Qur’an pun ia lantunkan sering kali memegang mushaf Al Qur’an, meski sudah hafal. Hal ini tentu lebih menguatkan hafalan dan memperlancar wirid. Banyak juga yang meyakini keistiqomahan Kyai Munawwir dalam mewiridkan Al Qur’an dalam kondisi apapun. Bahkan kemanapun beliau bepergian, baik berjalan kaki maupun berkendara. Secara rutin Kyai Munawwir mengkhatamkan Al Qur’an seminggu sekali, seperti halnya yang ia lakukan saat kecil.


Baca juga: Jalaluddin As-Suyuthi: Pemuka Tafsir yang Multitalenta dan Sangat Produktif


Dari riyadhah yang begitu konsistennya, Kyai Munawwir pun berhasil mencetak banyak ulama Al Qur’an. Di antara santri-santrinya yang meneruskan jejak perjuangan di daerah masing-masing yaitu, KH. Arwani Amin (Kudus), KH. Ahmad Umar Abdul Manan (Pesantren AlMuayyad, Mangkuyudan Solo), KH. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber Wonosobo), KH. Ahmad Badhawi Abdur Rosyid (Kaliwungu Semarang), KH. Zuhdi (Nganjuk Kertosono), dan kyai lainnya.

Hingga saat ini, Kyai Munawwir diyakini sebagai mahaguru pesantren Al Qur’an, bahkan ilmu Al Qur’an di pesantren Jawa kembali pada sanad Kyai Munawwir Krapyak. Tentu, hal ini tercapai berkat riyadhah, keikhlasan dan keistiqomahan Kyai dalam mengajarkan Al Qur’an.

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam[]