Kewajiban berpuasa tercantum secara jelas dalam Q.S. al-Baqarah Ayat 183. Kemudian ayat-ayat berikutnya menjelaskan hukum puasa bagi saudara kita yang sedang sakit atau dalam perjalanan, serta kapan puasa dilaksanakan. Secara umum, hal ini tidak ada yang berbeda dengan apa yang kita ketahui selama ini. Yakni mereka yang sedang sakit atau dalam bepergian bisa menggantinya di waktu lain dan puasa dilaksanakan selama bulan Ramadan setelah posisi hilal diketahui dengan pasti.
Namun, tahukan kita bahwa ada perbedaan antara puasa yang kita kenal saat ini dengan puasa yang pernah ada pada masa Nabi Muhammad? Informasi seputar puasa yang kita ketahui sekarang ini tidak ada yang berbeda sedikitpun dari informasi yang juga dikenal pada masa Nabi. Hanya saja pernah ada sedikit perbedaan sebelum model puasa yang kita kenal ini dilegalkan oleh Allah.
Dahulu, sebelum turun Surah al-Baqarah Ayat 187, ketentuan puasa yang ada tidaklah sepenuhnya sama dengan ketentuan puasa kita. Mengenai larangan makan, minum, dan berhubungan badan masih tetap sama. Mengingat di situlah letak inti berpuasa.
Dalam hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sahabat Abu Hurairah, Allah berfirman “Puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberikan pahalanya (kelak). Dia meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku. Ada dua kebahagiaan bagi orang berpuasa; kebahagiaan saat berbuka dan saat berjumpa dengan Tuhannya” (HR. Muslim). Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Malik ada redaksi “… meninggalkan syahwa, makanan, dan minumannya.” (HR. Malik)
Menurut informasi hadis yang menjadi sebab nuzul Surah al-Baqarah Ayat 187 ini, berbuka puasa hanya bisa dilakukan dalam rentang waktu antara maghrib dan isya saja. Selebihnya sudah berlaku kembali ketentuan puasa (tidak boleh makan, minum, dan berhubungan badan).
Sahabat Barrā` bercerita bahwasanya “dahulu, jika salah satu sahabat Nabi berpuasa, lalu waktu berbuka tiba ia tertidur sebelum berbuka, maka ia tidak diperbolehkan lagi makan sepanjang malam itu dan siang hari berikutnya sampai tiba waktu sore (yakni waktu berbuka untuk hari esoknya)”. Hal ini tentu terasa berat bagi sebagian sahabat Nabi yang siang harinya sudah memeras keringat mencari rejeki.
Belum lagi cuaca tanah Arab yang terkenal ekstrem, hal itu tentunya membuat sahabat merasa lebih berat lagi dalam menjalani puasa di hari esoknya. Suatu ketika – tutur sahabat Barrā` bin ‘Āzib – Shirmah bin Qais al-Anshārī berpuasa. Begitu waktu puasa tiba, ia menghampiri istrinya dan bertanya ‘Apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan)?’ ‘Tidak, tapi aku akan keluar mencarikan makanan untukmu’ jawab sang istri.
Sebagai orang yang bekerja di siang hari, Qais pun merasa letih dan tertidur. Tidak lama istrinya datang. Mengetahui suaminya tertidur, istrinya berucap ‘kasihan sekali dirimu, suamiku!’.
Keesokan harinya, ketika tengah hari tiba, Qais pingsan. Tragedi yang mengenaskan ini dilaporkan kepada Nabi lalu turunlah ayat “dihalalkan bagimu menggauli istrimu pada malam puasa” Para sahabatpun sangat senang luar biasa. Selain itu, turun pula “makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang merah” (HR. Bukhari, Ahmad, al-Darimi, Abu Dawud, dan al-Turmudzi).
Demikian awal mula kisah dibebaskannya makan dan minum pada malam hari selama bulan puasa. Hadis tadi bisa ditemukan juga misalnya dalam kitab al-Muharrar fī Asbāb Nuzūl al-Qur’an min Khilāl al-Kutub al-Tis’ah. Jika makan dan minum sudah mendapatkan lampu hijau, lantas bagaimana dengan kebutuhan yang satunya? Dalam kitab yang ditulis oleh Khalid bin Sulaiman al-Mazīnī ini ada hadis riwayat Imam Ahmad yang menjadi satu rangkaian hadis-hadis sebab turunnya Surah al-Baqarah Ayat 187.
Hadis ini menceritakan kejadian yang dialami sahabat Umar bersama istrinya. Pada bulan Ramadan – dalam hadis tersebut – ketika seseorang berpuasa kemudian tertidur menjelang waktu berbuka, haram baginya makanan, minuman, dan menggauli istri hingga tiba waktu berbuka puasa keesokan harinya.
Suatu malam, sahabat Umar pulang dari kediaman Nabi setelah terjaga bersamanya dan menjumpai istrinya tertidur. Sahabat Umar ingin menggaulinya namun istrinya mengaku bahwa dirinya telah tertidur (sehingga tidak bisa memenuhi keinginan suaminya itu). Sahabat Umarpun berkata ‘engkau tidak tidur’ dan terjadilah apa yang diinginkannya dari istrinya itu.
Keesokan harinya, sahabat Umar menghadap Nabi dan melapor perihal kejadian semalam. Lalu turunlah ayat “Allah tahu bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, Allah pun menerima taubatmu dan memaafkanmu” (HR. Ahmad). Setelah ayat ini turun, sempurna sudah kenikmatan yang dirasakan para sahabat kala itu. Mereka tidak lagi tersiksa oleh keterbatasan waktu yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan biologis semisal makan, minum, dan lainnya.
Mengenai dua hadis ini, Ibn Katsīr dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhīm-nya (2/196) berkomentar “Demikianlah yang diriwayatkan dari Mujāhid, ‘Athā`, ‘Ikrimah, Qatādah, dan yang lain terkait sebab turunnya ayat ini. Ia menjadi jawaban atas kasus yang menimpa Umar bin Khattāb, Shirmah bin Qais, dan siapapun yang senasib dengan mereka. Kemudian Allah memperbolehkan berhubungan badan, makan, dan minum sepanjang malam-malam puasa sebagai bentuk kasih sayang dan keringanan”.
Kini, jika demikian kenyataannya, rasanya tidak layak bagi kita untuk mengeluhkan rasa lapar dan dahaga yang dirasakan saat berpuasa. Sebab kondisi ini hanya sampai waktu magrib saja. Pada malam harinya kita bisa menikmati aneka makanan yang dihidangkan di hadapan kita. Para sahabat – dengan kondisi wilayah yang jauh leih panas dari Indonesia – telah merasakan hal yang lebih berat dari itu. sebelum ayat ini turun, mereka hanya bisa menikmati kelezatan dunia antara waktu maghrib dan isya saja. wallāhu a’lam