Salah satu hal yang diperjuangkan mati-matian oleh elit Quraisy adalah berhala-berhala di sekitar Ka’bah. Berhala-berhala tersebut memiliki sejarah masing-masing. Terdapat tiga berhala yang banyak disembah oleh masyarakat pada waktu itu hingga Alquran mempertanyakan tentang mereka dalam surah al-Najm ayat 19-21.
(21) أَفَرَأَيْتُمُ اللَاّتَ وَالْعُزَّى (19) وَ مَناةَ الثَّالِثَةَ الْأُخْرى (20) أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثى
Apakah menurut kalian al-Lata dan al-Uzza. Pun manat tiga yang lain. Apakah bagi kalian lelaki dan baginya Perempuan.
Imam ar-Razi menjelaskan dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib bahwa berhala dipandang oleh kaum musyrikin sebagai sekutu Allah. Mereka meyakini bahwa mereka juga mendiami sidratul muntaha meminta kepada Allah untuk mengabulkan atau menolak suatu hal untuk hamba-Nya di bumi. Kebalikan dari keyakinan mereka, berdasarkan fenomena isra’ mi’raj Nabi saw., para malaikat mulia pun tidak dapat sampai di sidratul muntaha.
Berhala-berhala di sekitar Ka’bah ini menurut mereka adalah anak perempuan Allah, maka dipahat menyerupai bentuk perempuan dan dinamai dengan asma perempuan. Di sisi lain pada masa itu masyarakat Arab merasa hina jika memiliki anak perempuan. Kondisi sosial ini menjadi premis kedua yang meruntuhkan analogi berpikir masyarakat pagan waktu itu.
Bagaimana mungkin menyandarkan suatu yang dianggap hina kepada suatu yang disifati sempurna? Bagaimana mungkin untuk Tuhan Yang Maha Sempurna mereka katakan memiliki puteri sementara mereka sendiri hanya menginginkan putera?
Logika berpikir sederhana adalah menyandarkan keagungan pada yang dianggap agung. Jika yang dianggap mulia juga disifati dengan hal yang menurut mereka hina, maka menurut ar-Razi hal ini telah jauh menyalahi adat berpikir dan berakal manusia. Jika ditelisik dari kacamata sejarah ketiganya bukanlah berasal dari malaikat yang terhubung kepada Allah melainkan ciptaan manusia.
Baca Juga: Dukungan Politik Elite Quraisy untuk Nabi Muhammad: Antara Prasyarat, Ujian, dan Kesempatan
Al-Lata: Seorang Pengadon Roti Untuk Para Peziarah
Imam al-Baghawi dalam kitab beliau, Ma’alim at-Tanzil menerangkan bahwasanya al-Lata adalah seorang yang mengadon tepung, mempersiapkan dan memberikan makanan, untuk para peziarah. Ketika ia meninggal para peziarah menyembahnya. Mujahid menyebutkan bahwa ia adalah seorang dengan gembala yang ia ambil susunya untuk dijadikan keju, ia mencampurnya dengan kismis dan jadilah makanan khas yang ia suguhkan untuk para peziarah.
Al-Kalbi menyebutkan bahwa al-Lata adalah seorang dari bani Tsaqif, elitnya Thaif, bernama Shirmah bin Ghanam. Ia senantiasa menyediakan minyak samin dan meletakkannya di atas batu, jika datang orang Arab kepadanya maka ia akan mengadonkan tepung mereka dengan saminnya. Saat ia mati orang Tsaqif memindahkan batu yang biasa dipakai itu ke tempat untuk disembah.
Al-Aini dalam kitab beliau, Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhari menyebutkan bahwa terdapat pendapat yang mengatakan kalau al-Lata adalah seorang yang bernama Rabi’ah bin Haritsah, yang berasal dari klan Khuza’ah. Ia menjamu para peziarah tanpa henti hingga ketika ia mati mereka masih mengenang batu tempatnya duduk membagikan jamuan hingga kemudian terlintas dalam benak mereka untuk menjadikan batu itu sebagai sesembahan, menjadikannya serupa berhala dan menamakannya al-Lata yang berasal dari frasa lat al-sawiq yang berarti mengadon tepung.
Al-Fakihi dari jalur Mujahid menyatakan bahwa al-Lata merupakan seorang di zaman Jahiliyah yang tinggal di bukit Thaif. Ia memiliki kambing yang dapat diperas susunya tiap hari di samping kismis dan keju yang dicampurkan dengan minyak untuk dijadikan hais, semacam roti khas yang banyak digemari kala itu. Ia memberi makan setiap orang yang berjalan dengannya sehingga ketika ia meninggal salah seorang di antara mereka berkata, ‘sesungguhnya ia tidak mati melainkan masuk ke dalam batu maka sembahlah ia dan dirikan rumah persembahan untuknya.’ Qatadah menyatakan bahwa al-Lata ini adalah berhala klan Tsaqif dari Thaif.
Baca Juga: Tafsir Surah An-Najm Ayat 16-19
Al-Uzza: Sebongkah Pohon Kurma dari Ghathafan
Syaikh Musa Syahin dalam Fath al-Mun’im Syarh Shahih Muslim menerangkan terkait al-Uzza, mengutip Mujahid yang menyebutkan bahwa ia adalah pohon di Ghathafan yang disembah masyarakat sekitarnya. Khalid bin Walid adalah sosok yang diutus Rasulullah saw. untuk menebang pohon itu. Beliau menggunakan kapak untuk menebangnya, sambil berkata, ‘wahai Uzza mengingkarimu tidak mensucikanmu, aku melihat Allah sungguh telah merendahkanmu.’ Keluarlah dari dalamnya setan perempuan dengan rambut terurai menjerit kesakitan memegangi kepalanya.
Riwayat lain menyebut bahwa ketika Khalid kembali kepada Nabi saw. dan melaporkan bahwa ia telah menebangnya beliau bertanya tentang apa yang dilihatnya. Khalid menjawab tidak melihat apa-apa. Oleh karenanya Nabi saw. menyuruhnya kembali untuk menebangnya lagi. Ia pun kembali lengkap dengan peralatannya, menebangnya hingga mencabut akarnya. Dari situ keluar perempuan tanpa busana yang kemudian ia bunuh. Setelah melapor lagi kepada Nabi saw. Beliau katakan bahwa itulah al-Uzza dan ia tidak akan disembah selamanya.
Ad-Dhahak menerangkan bahwa al-Uzza adalah berhala orang Ghatafan yang dibuat oleh Sa’ad bin Zalim. Demikian karena ia ketika sampai di Makkah dan melihat Shafa dan Marwa, masyarakat Makkah yang bertawaf di antara keduanya, ia pun berkata kepada kaumnya, bahwasanya penduduk Makkah punya Shafa dan Marwa sementara kaumnya tidak memiliki itu, penduduk Makkah punya Tuhan untuk disembah sementara kaumnya tidak.
Ia pun menyampaikan akan membuat berhala untuk mereka, dua batu besar ia letakkan di sisi kanan dan kiri pohon kurma dan satu batu ia sandarkan pada pokok pohon itu. Kemudian mereka pun bertawaf di antara dua batu seperti halnya Shafa dan Marwa seraya menyembah kepada pohon yang mereka sebut al-Uzza.
Baca Juga: Kaitan antara Taurat dan Alquran: Kajian Surah Alisra’ Ayat 2
Manat: Batuan antara Makkah dan Madinah
Berhala terakhir yakni Manat yang merupakan batu yang ada di antara Makkah dan Madinah. Orang-orang Yatsrib menyembahnya sebelum mereka masuk Islam. Mereka memahat batu ini menjadi berhala dan meletakkannya di Ka’bah, Shafa, dan Marwah. Pada saat fath Makkah, Rasulullah menghancurkan berhala-berhala tersebut. Beliau juga mengutus al-Mughirah bin Syu’bah untuk menghancurkan al-Lata di Thaif, Khalid bin al-Walid untuk memotong pohon kurma yang disebut al-Uzza, serta Ali bin Abi Thalib untuk menghancurkan Manat. Adapun Manat menurut ad-Dhahak adalah berhala klan Khuza’ah dan Hudzail yang disembah oleh penduduk Makkah.
Sejarah ketiga berhala di atas tidak relevan dengan anggapan masyarakat Arab pada waktu itu yang menyebut bahwa mereka adalah malaikat, dewi puteri Allah. Maha Suci Allah yang menciptakan alam raya. Sejarah yang disebutkan oleh para ulama justru membuktikan bahwa mereka adalah buatan belaka. Penyembahan berhala juga tidak memiliki dasar logika yang kuat jika dibenturkan dengan fakta sosial yang tengah terjadi saat itu.
Pertanyaannya adalah mengapa suatu yang tidak logis dan menyimpang dari sejarah mereka pertahankan mati-matian melebihi ajaran cinta dan kasih sayang? Propaganda untuk mempertahankan status quo dan kuasa bisa jadi adalah hal yang sebenarnya mereka perjuangkan, para elit yang tidak mau bagiannya terusik karena hadirnya ajaran baru. Wallahu a’lam