BerandaUlumul QuranSiapa Saja Mufasir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Mas’ud

Siapa Saja Mufasir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Mas’ud

Sekilas Tentang Abdullah Ibn Mas’ud

Nama lengkapnya ialah Abdullah ibn Mas’ud ibn Ghafil. Ia memiliki kunyah Abu Abdirrahman al-Hudzali. Ibunya bernama Ummu Abd bintu Abdud yang berasal dari Hudzail. Sesekali Ibn Mas’ud dinasabkan kepada ibunya sehingga ia pun dipanggil Ibn Ummi Abd.

Dikatakan bahwa ciri fisik dari Ibn Mas’ud ialah berperawakan kurus, pendek, serta memiliki kulit yang pekat. Ibn Mas’ud tergolong dalam orang-orang yang pertama kali masuk Islam (assabiqunal awwalun). Dia juga termasuk orang pertama, setelah Rasulullah, yang membacakan al-Qur’an secara terang-terangan di Mekkah dan memperdengarkannya kepada orang-orang Quraisy.

Saat Abdullah ibn Mas’ud masuk Islam, Rasulullah pun mengajaknya dan ia pun kemudian mengabdi kepada Rasulullah dalam hampir segala hal yang dilakukan Rasul. Ia lah yang mengurusi perlengkapan bersuci Rasul, siwaknya, hingga sandalnya. Layaknya bodyguard, ia pun berjalan di depan Rasul tatkala bepergian serta menutupinya ketika mandi. Ia juga biasa saja masuk ke rumah Rasul dan sampai seorang sahabat yakni Abu Musa al-Asy’ari mengiranya sebagai bagian dari Ahlu Bait.

Sebagai sahabat yang begitu dekat dengan Rasulullah, Ibn Mas’ud telah mengikuti beberapa peristiwa penting bersama Rasulullah. Mulai dari hijrah ke Habasyah, kemudian Madinah, lalu peristiwa perpindahan kiblat, perang Badr, Uhud, Khandaq, kemudian peristiwa Bai’ah Ridwan, serta seluruh peperangan yang diikuti oleh Rasulullah. Setelah wafatnya Rasul pun ia tetap berkontribusi dalam perang Yarmuk. Dikatakan dalam sejarah bahwa Ibn Mas’ud-lah yang berhasil menumpahkan darah Abu Jahal saat perang Badr.

Baca Juga: Siapa Saja Mufassir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Abbas

Begitu besarnya kontribusi Ibn Mas’ud dalam perkembangan Islam, ia pun dipercaya sebagai pengelola Baitul Mal di Kufah pada dua era Khalifah yakni Umar dan Utsman. Sebelum wafat, ia pun meninggalkan Kufah dan mendapati Madinah sebagai tempat peristirahatan terakhirnya. Abdullah Ibn Mas’ud pun wafat di tahun 32 Hijriyah dan umurnya kala itu sekitar 60 tahun.

Level Keilmuan

Ibn Mas’ud merupakan sahabat yang paling menguasai al-Qur’an. Rasulullah pun mewajibkan untuk mendengarkan bacaan Ibn Mas’ud. Rasul bersabda, “barangsiapa yang ingin membaca al-Qur’an sebagaimana waktu diturunkannya, maka hendaklah membaca dengan qira’at Ibn Ummi Abd”.

Dalam riwayat lain bahkan Ibn Mas’ud berkata bahwa tidak ada satu ayat pun yang ia tidak ketahui konteks pewahyuannya. Ini memperlihatkan kedalaman ilmu Ibn Mas’ud dengan makna ayat serta asbabun nuzulnya. Bahkan di akhir riwayat, ia mengatakan bahwa seandainya ada seseorang yang lebih mengetahui darinya, niscaya ia akan mencarinya jika bisa ditempuh dengan menunggang unta. Ini menunjukkan betapa keseriusan Ibn Mas’ud dalam belajar al-Qur’an.

Kedudukan Ibn Mas’ud juga disebutkan dalam sebuah riwayat yang memuat pujian kepadanya. Dikatakan bahwa keseluruhan ilmu dari para sahabat bermuara pada enam orang yaitu Ali, Umar, Abdullah ibn Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab, Abu Darda’, serta Zaid ibn Tsabit. Dan dari enam orang tersebut masih bermuara lagi pada dua orang yakni Ali dan Abdullah ibn Mas’ud.

Tatkala Ibn Mas’ud diutus oleh Umar pergi ke Kufah sebagai pejabat pemerintah, Umar pun telah memesani para penduduk Kufah untuk menimba ilmu dan merujuk kepadanya. Benar saja, saat sampai di Kufah Ibn Mas’ud pun dijadikan sebagai pengajar utama Al-Qur’an, Hadis serta Fiqh. Beberapa riwayat itu memperlihatkan betapa tingginya derajat keilmuan Ibn Mas’ud di mata para sahabat.

Hal Menarik Seputar Abdullah Ibn Mas’ud

Hal menarik dalam kisah Ibn Mas’ud adalah tatkala ia mendapati perselisihan dengan Utsman ibn Affan selaku khalifah pada saat itu. Perselisihan mereka perihal kodifikasi al-Qur’an. Utsman pada saat itu memerintahkan agar para sahabat yang memiliki mushaf pribadi agar disetorkan dan dibakar karena akan digantikan dengan mushaf Imam yang sedang digarap. Saat bertemu Ibn Mas’ud, Utsman memintanya agar memberikan mushaf miliknya dan sekaligus mengabarkan mengenai proyek kodifikasi al-Qur’an.

Abdullah ibn Mas’ud pun awalnya menolak sebab ia mengatakan bahwa seluruh bacaan al-Qur’an merupakan bacaan yang telah disetorkan pada Rasulullah dan tidak mungkin ada kesalahan. Selanjutnya ia juga mengomentari pedas pemilihan Zaid ibn Tsabit sebagai ketua panitia penulisan mushaf—sebab ia tidak dipilih. Ia berkomentar bahwa Zaid ibn Tsabit tidaklah lebih cakap darinya dalam keilmuan. Namun, kemudian berkat penjelasan dari Utsman yang menitikberatkan pada upaya menyelesaikan perdebatan umat terkait perbedaan qira’at akhirnya hal ini bisa teratasi. Dalam masalah ini, Ali ibn Abi Thalib pun menekankan bahwa apa yang diusahakan oleh Utsman adalah hal yang baik dan seandainya Utsman tidak mau melakukannya (membakar mushaf milik sahabat) maka ia yang akan melakukannya.

Hal menarik lainnya adalah tatkala bacaan atau qira’at dari Ibn Mas’ud digunakan sebagai penafsiran dalam penetapan hukum. Kasus hukuman potong tangan menjadi salah satu contohnya di mana ayat faqtha’u aidiyahuma ditafsirkan dengan qira’at Ibn Mas’ud yang menyebut faqtha’u aimanahuma. Dari situlah maka hukuman potong tangan ditetapkan dengan mendahulukan memotong tangan kanan. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU