Sekilas Tentang Ali Ibn Abi Thalib
Nama lengkapnya ialah Ali ibn Abi Thalib ibn Abdul Muthalib al-Quraisyi al-Hasyimi. Ia adalah seorang anak dari paman Rasulullah, Abu Thalib dan secara silsilah masuk ke dalam ahlu bait Rasulullah. Ibunya bernama Fathimah bintu Asad ibn Hasyim. Karena kedua orang tuanya berasal dari marga yang sama, dikatakan bahwa Ali merupakan anak keturunan Hasyimi pertama yang lahir dari kedua orang tua yang memiliki kesamaan marga.
Ali termasuk dari golongan pertama yang memeluk Islam dan percaya akan kenabian Muhammad. Ia selalu mengiringi Nabi dalam setiap peristiwa penting. Kisahnya yang mengorbankan diri demi hijrahnya Nabi begitu fenomenal. Begitu pun dengan berbagai pertempuran yang diikutinya bersama Rasulullah. Dikatakan bahwa tak ada satupun pertempuran yang ia lewatkan kecuali perang Tabuk. Dalam banyak kesempatan, Ali juga dipercaya oleh Rasulullah sebagai pembawa panji (al-liwa’) dan bahkan Rasulullah bersabda, “sungguh akan kuserahkan al-rayah (panji) kepada seseorang yang telah mendapat futuhat dari Allah, seseorang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, seseorang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”.
Pengulangan kalimat dalam sabda Nabi tersebut menunjukkan penekanan bahwa Nabi benar-benar mempercayakan tugas mulia itu pada sahabat Ali. Rasulullah pun mengatakan bahwa Ali merupakan saudaranya di dunia serta di akhirat. Kedekatan Rasulullah dengan sahabat Ali semakin bertambah dengan dijadikannya Ali sebagai menantu Nabi setelah menikahi Fathimah Az-Zahra.
Baca Juga: Siapa Saja Mufasir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Mas’ud
Selepas wafatnya Rasulullah, Ali ibn Abi Thalib dipercaya menjadi Khalifah yang menggantikan Khalifah ketiga, Usman ibn Affan. Memegang tampuk kekuasaan selama hampir 5 tahun, Ali sang babul ilmi harus mengakhiri era kekhalifahannya sebab wafat ditangan seorang khawarij, Abdurrahman ibn Muljam. Kala itu usia Ali telah menginjak 60 tahun atau ada juga yang mengatakan 63 tahun. Ia wafat tepat di bulan Ramadhan tahun 40 Hijriyyah.
Level Keilmuan
Ali ibn Abi Thalib dijuluki sebagai bahrul ilmi dan juga babul ilmi sebab kekuatan hujjahnya, ketepatannya dalam beristinbat, kefasihannya dalam berkhutbah dan merangkai syair serta kecerdasan akalnya dalam menghadirkan solusi bagi setiap masalah. Maka tak heran jika banyak sahabat yang mencarinya untuk meminta solusi atas beragam masalah yang ditimpanya.
Dalam sebuah riwayat, dikatakan bahwa Ali juga merupakan sahabat yang mendapatkan doa istimewa dari Nabi selain Ibn Abbas. Doa tersebut berbunyi, “allahumma tsabbit lisanahu wa ihdi qalbahu” (ya Allah tetapkanlah lisannya (Ali) dalam kebenaran dan kebajikan dan karuniailah hatinya petunjuk).
Doa itu menjadi wasilah bagi kematangan dan kebijaksanaan Ali dalam memutuskan suatu perkara. Ia pun menjadi sahabat yang paling dipercaya dalam memutuskan perkara dan memberi fatwa. Kemampuan itu merupakan hasil dari penguasaannya atas al-Qur’an serta pengetahuannya atas makna-makna yang sifatnya asrar atau makna batin. Ibn Abbas pernah berkata bahwa ia hanya mengambil penafsiran al-Qur’an (sahabat) dari Ali ibn Abi Thalib.
Diriwayatkan juga oleh Abu Thufail bahwa Ali pernah berkata di depan para sahabat: “Tanyailah aku! Demi Allah tak ada satu pun pertanyaan yang tidak bisa ku kabarkan jawabannya. Tanyailah aku tentang al-Qur’an! Demi Allah tak ada satupun ayat kecuali aku ketahui tentang konteks pewahyuannya, apakah siang ataukah malam, apakah di dataran ataukah di gunung”.
Ibn Mas’ud juga turut mengakui kealimannya, ia berkata, “sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf (mengenai makna tujuh huruf ini begitu beragam), tidak ada dari ketujuh huruf itu satu huruf saja yang tidak memiliki makna dhahir dan bathin. Dan sungguh Ali ibn Abi Thalib memiliki keduanya”. Dari beberapa riwayat dan keterangan Nabi serta para sahabat kita ketahui bahwa Ali ibn Thalib merupakan sahabat yang memiliki derajat keilmuan yang tinggi dan pantas menjadi rujukan pada masa itu.
Baca Juga: Siapa Saja Mufassir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Abbas
Hal Menarik Seputar Ali Ibn Abi Thalib
Salah satu pembahasan menarik seputar Ali ibn Abi Thalib adalah mengenai riwayat penafsirannya. Dikatakan bahwa riwayat penafsiran Ali menjadi bahan yang diperdebatkan di antara Ulama sehingga mereka pun berusaha untuk mengkaji dan men-tahqiqnya demi mendapatkan riwayat yang shahih.
Adz-Dzahabi berargumen bahwa riwayat penafsiran Ali ibn Abi Thalib yang shahih lebih sedikit daripada yang dipalsukan. Pemalsuan ini sebenarnya melibatkan campur tangan Syi’ah. Ini bisa kita lacak dari adanya krisis politik yang terjadi di masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib yang berujung pada wafatnya dirinya oleh seorang khawarij.
Krisis politik yang telah terjadi itu menyebabkan munculnya dua kelompok yang memiliki keyakinan politis yang berbeda dan saling membenarkan pandangan politisnya. Kedua kelompok itu ialah Syi’ah (kelompok pro Ali) dan Khawarij (kelompok kontra Ali). Pertarungan ideologis-politis kedua kelompok ini juga berpengaruh pada kualitas riwayat yang dibawa oleh keduanya.
Syi’ah sebagai kelompok yang begitu fanatis kepada Ali, mempromosikan dan menguatkan pandangan ideologis-politis kelompoknya dengan banyak bersikap tidak adil dalam meriwayatkan riwayat-riwayat dari Ali. Mereka beranggapan bahwa bersikap berlebihan dalam menyampaikan riwayat yang berkaitan dengan Ali lebih utama daripada menyampaikannya secara ilmiah dan sesuai dengan kadarnya (orisinil). Maka dalam hal ini, para pengkaji al-Qur’an perlu melakukan analisa thuruq al-riwayah secara teliti dalam mengambil penafsiran sahabat terutama yang berasal dari Ali ibn Abi Thalib demi terhindar dari riwayat yang fasid. Wallahu a’lam.