Setelah membahas sedikit pengantar mengenai aktivitas penafsiran di era Sahabat, kali ini kita akan membahas masing-masing penafsir yang terkenal dan dijadikan rujukan. Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa ada 10 orang sahabat yang paling terkenal di era ini sebagai rujukan utama penafsiran. Salah satu dari 10 sahabat tersebut ialah Abdullah Ibn Abbas.
(BacaJuga: Apakah Nabi Menafsirkan Ayat Al-Quran Seluruhnya dan Telah Menyampaikannya Kepada Para Sahabat?)
Sekilas Tentang Ibn Abbas
Nama lengkapnya ialah Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib ibn Hasyim ibn Abdi Manaf al-Quraisy al-Hasyimi. Sejak kecil ia telah istimewa. Ia lahir saat Rasulullah serta keluarganya sedang berada di Mekkah dan waktu itu sekitar 13 tahun sebelum Hijriyyah. Sebagai bagian dari ahlu bait, Rasulullah pun mendatanginya serta men-tahniknya langsung. Adanya faktor kekerabatan dengan Rasulullah juga membuatnya dapat ber-mulazamah langsung dengan Rasul sejak kecil.
Pada saat Rasulullah wafat, ia baru menginjak usia remaja. Dikatakan bahwa umurnya pada saat itu sekitar 13-15 tahun. Maka kemudian ia pun ber-mulazamah dengan para pembesar di kalangan sahabat dan banyak mengambil ilmu serta riwayat-riwayat hadis dari mereka.
Ia pun wafat dan dimakamkan di Thaif dan usianya saat itu dikatakan sekitar 68-70 tahun. Selepas dimakamkan, ada sebuah ungkapan yang mempersaksikan tingginya derajat ilmu Ibn Abbas, “Demi Allah telah wafat tinta (ilmu) umat ini”.
Level Keilmuan
Sebab tingginya level keilmuannya, Abdullah Ibn Abbas mendapat laqob al-habr (tinta ilmu) dan al-bahr (lautan ilmu). Dalam majlis Ibn Abbas, Umar ibn Khattab dan para sahabat memujinya dengan berbagai pujian. Mulai dari fisik, etika, keilmuan hingga keluhuran batinnya. Umar ibn Khattab juga tak jarang meminta nasihat dari Ibn Abbas tatkala mendapati masalah yang susah untuk dipecahkan.
Ada beberapa hal yang dikatakan menjadi penyebab kecerdasan Ibn Abbas. Pertama, doa yang diberikan Rasul kepadanya. Tidak bisa dipungkiri bahwa doa yang dimohonkan langsung oleh Nabi untuk Ibn Abbas telah menjadikannya sosok yang faqih dalam urusan agama serta memahami takwil dari ayat-ayat al-Qur’an.
Kedua, Ibn Abbas tumbuh dan berkembang di lingkungan terdekat dengan Rasulullah. Sebagai bagian dari ahlu bait Rasulullah, Ibn Abbas memiliki akses yang lebih mudah untuk ber-mulazamah dengan Rasul. Dari sanalah ia mendapati banyak kisah serta konteks yang membersamai turunnya ayat. Sebagaimana yang dikatan oleh al-Wahidi bahwa pengetahuan mengenai kisah dan konteks yang mengiringi ayat (asbab al-nuzul) sangat berpengaruh terhadap ketepatan dalam memahami ayat.
Ketiga, ber-mulazamah dengan para pembesar sahabat setelah wafatnya Nabi. Melalui para sahabat ini, Ibn Abbas mendapatkan banyak ilmu yang ia belum dapati selama bersama Nabi. Dalam sebuah riwayat, Ibn Abbas berbicara tentang dirinya yang tidak sungkan serta tetap menjaga adab dalam meminta ilmu kepada para sahabat.
Keempat, kemapanan penguasaan bahasa Arab. Ibn Abbas dikenal sebagai sahabat yang memahami seluk-beluk bahasa Arab secara komprehensif. Mulai dari struktur/ uslub, lafaz gharib, sastra serta syair-syair Arab. Penguasaan bahasa yang komprehensif memperkaya pemahamannya dalam memaknai al-Qur’an. Kelima, telah sampai pada level mujtahid serta berani dalam menjelaskan apa yang diyakininya sebagai kebenaran.
Hal Menarik Seputar Ibn Abbas
Ada salah satu hal menarik yang bisa didiskusikan mengenai Ibn Abbas yakni benarkah Ibn Abbas gemar mengambil informasi dari ahli Kitab dalam menafsirkan al-Quran?
Selain dengan tafsir Nabi, kemudian ijtihad dengan berbagai ilmu seperti asbab al-nuzul serta faktor eksternal seperti ilham, Ibn Abbas juga dikatakan kerapkali mengutip informasi dari ahlu kitab dalam menafsirkan al-Qur’an. Terkhusus pada ayat-ayat mujmal yang didapati tafshil-nya dalam Taurah maupun Injil.
Maka sebenarnya bagaimana sikap Ibn Abbas terhadap informasi dari ahlu Kitab? Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa baik Ibn Abbas maupun sahabat lainnya memang dahulu seringkali bertanya kepada para Ulama Yahudi yang mengakui Islam sebagai agama. Akan tetapi mereka tidak menanyakan hal-hal yang menyentuh Aqidah.
Adapun hal-hal yang dipertanyakan adalah mengenai kisah-kisah serta khabar-khabar masa lampau. Informasi itupun tidak langsung diterima begitu saja melainkan difilter terlebih dahulu. Maka informasi-informasi yang diterima itulah yang dijadikan sebagai tambahan referensi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang harus dipahami melalui jalur ijtihad sebab ketiadaannya riwayat tafsir Nabi.
Diskursus menarik seputar Abdullah Ibn Abbas ini menjadi inspirasi dalam melakukan penelitian. Di mana penggunaan riwayat-riwayat Israiliyyah dalam penelitian dapat dibenarkan untuk mendapatkan rekonstruksi konteks yang lebih komprehensif khususnya dalam kajian yang menjadikan konteks historis sebagai elemen penting, seperti dalam memahami ayat eticho-legal. Namun juga tetap melakukan filterisasi agar terhindar dari informasi yang mungkin menyebabkan keraguan dalam aqidah serta kesalahan dalam memahami redaksi ayat al-Qur’an. Wallahu a’lam.