‘Ulama’, istilah yang lagi naik daun akhir-akhir ini. Pelabelan ulama juga banyak digemari oleh masyarakat Indonesia, hingga muncul banyak sekali ulama. Lantas, siapa yang disebut ulama, siapa yang seharusnya menyandang status mulia tersebut? Apakah mereka yang telah terdaftar dalam list kepengurusan Majelis Ulama Indonesia? Ataukah mereka yang banyak mengisi ceramah-ceramah, berdalil dengan ayat Alquran dan hadis baik di dunia nyata maupun virual? Ataukah mereka yang berpakaian jubah dan bersorban?
Alquran di surat Fathir ayat 28 mengatakan bahwa orang-orang yang takut kepada Allah, itulah ulama.
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ
Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.
Kriteria ulama menurut beberapa mufasir
Pada ayat di atas sekilas sudah disinggung tentang ulama, yaitu hamba Allah yang takut kepadaNya. Kemudian, bagaimana beberapa mufasir menjelaskan definisi ulama yang sangat singkat ini, sehingga diketahui siapa yang disebut ulama?
Baca Juga: Sertifikasi Da’i dan Pentingnya Muhasabah Diri
Ibnu Abbas mendefinisikan ulama adalah orang yang mengetahui kemuliaan dan keagungan Allah, karena semakin seseorang mengenal Allah, maka semakin bertambah pula takutnya (khosyyah) Hal ini menjadi dasar bahwa ahli ilmu (ulama) lebih baik daripada ahli ibadah (‘abid). Rasululullah Bersabda: seandainya kalian semua mengetahui apa yang Aku ketahui (tentang Tuhan) maka sungguh kalian akan banyak menangis dan sedikit tertawa.” (Ibnu A’dil, Al-Lubab fi Ulum al-Kitab)
Ulama memiliki jiwa yang kuat namun sangat lembut terhadap sesama, karena seorang ulama itu memiliki rasa kasih sayang yang tinggi dengan membantu manusia menuju Allah. Setiap umat yang dibimbingnya selalu ditunjukkan jalan-jalan yang diridlai oleh Allah. (As-Sulami, Haqaiq al-Tafsir)
Pada ayat 28 surat Fathir Allah menggunakan kata Khashyah sebagai term yang dikhususkan bagi ulama. Kata khasyyah berbeda dengan kata khawf. Term khashyah juga berbeda dengan term rahaba. Khasyyah menghasilkan seseorang untuk tetap bersama yang ia takuti, disini ulama ketika khasyyah kepada Allah, maka ulama tersebut selalu ingin mengingat dan hanya bersama Allah. Sedangkan kata rahaba, memiliki makna bahwa orang tersebut akan lari dari apa yang ditakutinya.
Perbedaan khawf dan khasyyah juga dapat kita lihat di Ali Imran ayat 175. Pada ayat ini khawf menghendaki keimanan, sementara term khasyah menghendaki pengetahuan (al-ilm). (Al-Qushairi, Lathaif al-Isyarat)
Selain itu, Ibnu Arabi menggambarkan dalam tafsirnya bagaimana khasyahnya para ulama terhadap Allah, khasyyah bukanlah khawf yang takut akan siksaan di dunia dan di Akhirat nanti. Khasyyah adalah sebuah bentuk khusyu’ di dalam hati ketika menggambarkan sifat-sifat agung Allah. Hati tersebut benar-benar hadir ketika tadabbur, sehingga hati tersebut mengetahui secara jelas bagaimana kegaungan Allah yang tiada batas. Pengetahuan inilah yang dihasilkan dari khasyah. (Ibnu Arabi, Tafsir al-Quran).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa siapapun orang yang menekuni ilmu apapun yang dapat mengantarkan pada khasyyah dialah Ulama. Allah tidak membatasi ilmunya, seluruh ilmu yang dapat memberikan manfaat kepada umat dan mendekatkan diri kepada Allah adalah ilmu Allah. Jelas disini bahwa ilmu yang dimaksud bukan hanya ilmu agama, ilmu geografi, kedokteran, pertanian, matematika dan yang lain juga ilmu Allah. Dengan demikian kemasalahatan umatlah yang menjadi acuan.
Baca Juga: Sertifikasi Dai Perlu Dilakukan Atau Tidak? Simak Penafsiran QS. Hud Ayat 93
M. Quraish Shihab dalam Membumikan Alquran juga mencoba memberikan kriteria siapa yang disebut ulama. Seorang ulama memiliki beberapa tugas yang diemban. Pertama, seorang ulama harus menyampaikan ajaran-ajaran Allah sesuai dengan syariat (Al-Quran, Hadis, Ijma dan Qiyas). Kedua, menjelaskan kepada manusia tentang ajaran-ajaran agama berdasarkan keempat sumber tadi. Ketiga, memutuskan problema masyarakat berdasarkan syariat. Terakhir, memberikan teladan berupa pengamalan yang telah dicontohkan oleh Nabi, karena ulama disebut dengan Waratsatul Anbiya’
Pada fase ini, kita juga mengalami krisis ulama, dalam arti para ulama yang memiliki bekal literasi dan wawasan yang luas juga dekat dengan masyarakat, sehingga permasalahan yang ada dapat diputuskan dengan tepat dan seimbang. Ulama itu tidak cukup berpaku pada satu literasi, ditambah satu madzhab dan satu manhaj pula, ia harus menguasai berbagai metode pendekatan penyelesaian masalah untuk menjadi pondasi baginya menemukan solusi-solusi baru yang maslahah bagi masyarakat.
Dalam konteks Indonesia, siapa yang disebut ulama? Gus Mus, sapaan KH. Mustafa Bisri pernah menyampaikan bahwa ada lima macam ulama versi orang Indonesia. Pertama, ulama produk masyarakat, karena laku dan ilmunya. Kedua, ulama produk pers, karena pers menyebutnya ulama dan yang lainnya ikut-ikutan. Ketiga, ulama produk pemerintah, karena aktif di Majelis Ulama Indonesia. Keempat, ulama produk politisi. Kelima, ulama produk sendiri, menggunakan atribut ulama seperti peci putih, jubah dan sorban, hafal 3-4 ayat Alquran dan hadis pendek yang sangat populer, ditambah dengan sedikit kemampuan akting.
Ulama anda ada di kriteria yang mana?