Muhammad bin Sa’ad dalam kitabnya, al-Thabaqat al-Kubra (jilid 1, 291-359), melansir bahwa delegasi-delegasi atau diplomat yang diterima Nabi Muhammad saw. berjumlah tujuh puluh. Tahun 9 H adalah tahun paling banyak beliau menemui utusan diplomat yang membawa tujuannya masing-masing.
Menurut M. Quraish Shihab, tujuan mereka datang menemui Nabi saw. di antaranya untuk memperoleh keamanan tanpa memeluk agama Islam. Nabi saw. pun menerima dan memberikan hak diplomasi mereka. Ada juga yang datang untuk konfirmasi tentang ajaran Islam, lalu memeluk agama Islam. Ada pula yang sudah memeluk Islam, lalu ingin memperdalam ajaran dan ilmunya. Di sisi lain, ada pula yang datang kepada Nabi saw. hanya untuk meminta imbalan materi (Membaca Sirah Nabi Muhammad, 972-973).
Dari berbagai macam tujuan tersebut, Nabi saw. selalu mengedepankan keramahan, toleransi, dan penyambutan yang begitu hangat. Berikut ini adalah beberapa kisah terkait pemenuhan hak diplomasi oleh Nabi saw.
Menjamu dengan ramah dan memberikan buah tangan
Delegasi Thjib Al-Huwairits mengisahkan, “Delegasi dari Tajib datang kepada Rasulullah saw. tahun ke-9 H. Mereka berjumlah tiga belas orang yang masing-masing membawa harta zakat mereka untuk diserahkan. Rasulullah menyambut kedatangan mereka dengan gembira, ‘Marhaban, mari silakan!’ sambut beliau ramah. Beliau menghormati mereka dan menyuruh Bilal untuk menjamu mereka dengan baik. Selain itu, beliau memberikan sejumlah hadiah kepada mereka melebihi delegasi-delegasi lainnya.” (al-Wafa, 616).
Abu Qatadah meriwayatkan, “Ketika para utusan Najasyi itu sampai pada Rasulullah, beliau sendiri yang menjamu mereka. Para sahabat yang hadir merasa tidak enak. ‘Biarkan kami saja yang melakukannya,’ kata mereka menawarkan jasa. Akan tetapi, beliau menampiknya. ‘Mereka itu telah memuliakan para sahabatku (ketika berkunjung ke sana), maka aku ingin membalas kebaikan mereka itu di sini.” (Ibnul Jauzy, al-Wafa Biahwal al-Musthafa, 605).
Memberikan kebebasan untuk melakukan ritual ibadah
Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat baik dalam menghormati dan memuliakan wakil-wakil diplomatik tersebut. Nabi saw. menerima mereka dengan ramah dan penuh kasih sayang. Dar al-Islam menyediakan gedung-gedung tamu agung (guests house). Upacara-upacara penyambutan sesuai dengan kehormatan seorang wakil dari suatu negara diadakan.
Bahkan Nabi Muhammad menyediakan suatu tempat di Masjid Nabawi untuk penerimaan tamu-tamu agung tersebut yang berada di bawah suatu tiang yang terkenal dengan istilah Usthuwanah al-Wufud (tiang kehormatan duta-duta/the Pillar of Embassies). Disamping itu, para wakil diplomatik mendapat hak kebebasan bergerak dan mengamalkan ajaran agama mereka masing-masing. Kemudian diadakan saling memberi hadiah (Ikhwan, Hubungan Diplomatik: Hukum dan Praktek dalam Islam, 136).
Baca juga: Diplomasi Ala Nabi Muhammad Saw.
Kemudian, diplomat Thaif juga disambut dengan baik oleh Rasulullah saw. Meskipun mereka bukan orang Muslim, tetapi mereka disediakan tempat tinggal yang berdekatan dengan masjid. Ini adalah penghormatan tertinggi yang diberikan kepada para tamu, sekaligus memberi kesempatan bagi mereka untuk melihat secara langsung pelaksanaan ibadah dan spirit persaudaraan yang ada di antara kaum muslimin (Ikhwan, Hubungan Diplomatik, 78).
Lalu, diplomat dari Najran. Mereka memasuki masjid Nabawi yang pada saat itu Nabi saw. sedang melaksanakan salat Zuhur. Mereka berjumlah tiga orang dengan pakaian yang mewah asal Yunani lengkap beserta mantel yang begitu indah. Mereka menganut agama Kristen.
Saat memasuki waktu salat Zuhur, mereka ikut berdiri dan melakukan ritual ibadah di dalam masjid dengan menghadap ke arah timur. Nabi saw. memberikan izin kepada mereka untuk melakukan hal tersebut, “Lakukan ritual Anda di dalam masjid ini. Tempat ini merupakan tempat untuk beribadah kepada Allah Swt.” (Ikhwan, Hubungan Diplomatik, 81).
Memberikan jaminan keselamatan
Jaminan keselamatan ketika para diplomat tersebut menemui Nabi saw. merupakan hak diplomasi yang paling fundamental. Nabi saw. memberikan teladan ini, bahkan sekaliber utusan dari Musailamah al-Kadzdzab.
Baca juga: Menilik Isi Surat Nabi Sulaiman kepada Ratu Saba
Diplomat dari Bani Hanifah salah satu di antaranya adalah Musailamah bin Habib al-Kadzdzab. Pada saat itu, Musailamah belum memproklamirkan dirinya sebagai nabi. Ketika menghadap Nabi saw, Musailamah tidak ikut serta. Ia bertugas menjaga unta beserta barang-barang yang mereka bawa.
Setelah menghadap Nabi saw. mereka menyatakan masuk Islam. Nabi saw. pun memberikan hak berupa barang kepada para delegasi tersebut, termasuk Musailamah. “Bagian dia tidak lebih jelek daripada bagian kamu sekalian, maksudnya dalam mendapatkan kekayaan sebagaimana teman-temannya yang lain,” ucap beliau. Kemudian mereka pun pulang, dalam perjalannya, tepatnya di daerah al-Yamamah, Musailamah murtad dan mengaku dirinya sebagai utusan Allah Swt.
Baca juga: Ayat-Ayat ‘Lucu’ Musailamah Al-Kadzdzab dalam ‘Menjawab’ Tantangan Alquran
Dia berkata kepada delegasi yang lain, “Saya adalah sekutu Muhammad. Tidakkah kau dengar saat dia berkata kepada kalian dan menyebutkan nama saya serta menanyakan bahwa posisi saya tidak lebih jelek daripada posisi kamu sekalian? Apa yang dia katakan itu menunjukkan bahwasanya dia tahu bahwa saya adalah sekutunya dalam nubuwah dan kerasulan.”
Selang beberapa waktu, Musailamah mengirimkan dua delegasi yang membawa surat untuk menghadap Nabi saw. Surat itu berbunyi, “Dari Musailamah utusan Allah untuk Muhammad utusan Allah. Saya sekarang menjadi sekutu anda dalam otoritas kenabian. Separuh tanah ini menjadi bagian kami dan separuhnya lagi untuk orang Quraisy. Namun, orang-orang Quraisy adalah manusia yang kurang ajar.” Ketika Nabi saw. membaca surat itu, beliau berujar, “Demi Allah andai kata seorang utusan boleh dibunuh, pasti telah saya penggal kepala kalian berdua.” (Ikhwan, Hubungan Diplomatik, 93-95). []