BerandaTafsir TematikSosok Al Maghdhub ‘Alaihim dan Al Dhallin Menurut Izzat Darwazah

Sosok Al Maghdhub ‘Alaihim dan Al Dhallin Menurut Izzat Darwazah

Ada catatan menarik dari Muhammad Izzat Darwazah dalam karyanya, al-Tafsir al-Hadits, tentang siapa sesungguhnya “al maghdhub ‘alaihim (mereka yang dimurkai) dan al dhallin (mereka yang sesat)” dalam surah al-Fatihah. Banyak mufassir, demikian ‘Izzat, menafsirkan “mereka yang dimurkai” dengan Yahudi dan “mereka yang sesat” dengan Nasrani, dan “jalan yang lurus” dengan Islam.

Para mufasir tersebut menguatkan pendapatnya dengan hadis yang menyebut bahwa orang-orang Yahudi adalah “mereka yang dimurkai” dan orang-orang Nasrani adalah “mereka yang sesat”. Hadis riwayat Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Tirmidzi dari ‘Adi bin Hatim menyatakan demikian: “Orang-orang Yahudi mereka itu dimurkai dan orang-orang Nasrani adalah orang-orang sesat.”

Yang menjadi catatan Muhammad Izzat Darwazah adalah bahwa surah Al Fatihah merupakan surah yang pertama turun, atau paling tidak termasuk kelompok surah yang pertama turun. Artinya, surah al-Fatihah merupakan surah Makiyah. Surah-surah Makiyah menyinggung Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) secara global dengan nada positif dan berisi kesaksian dari mereka akan kebenaran risalah Nabi saw. dan kejujuran wahyu al-Qur`an.

Sejumlah ayat Makiyah mengabarkan tentang keimanan mereka dan kekhusyukan serta ketundukan mereka ketika dibacakan pada mereka ayat-ayat al-Qur`an. Lihat al-An’am/6: 114, Yunus/10: 94, al-Ra’d/13: 36, al-Isra`/17: 107-109, al-Qashash/28: 52-53, al-‘Ankabut/29: 47, al-Sajdah/32: 23-24, dan al-Ahqaf/46: 10.

Baca Juga: Metode Penafsiran Alquran Kiai Ihsan Jampes

Ayat-ayat itu memberi pengertian bahwa kaum Muslimin saat itu menganggap diri mereka berada dalam satu kelompok yang sama (hizb wahid) dengan Ahli Kitab. Sementara itu dari ayat-ayat yang turun di Madinah (madaniyah) kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sikap penolakan, pembangkangan, pengingkaran, dan permusuhan dari sekelompok orang Yahudi dan dari beberapa kelompok Nasrani baru terlihat pasca hijrah. Karena itu, dapat dikatakan bahwa hadis di atas yang menyatakan “mereka yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi dan mereka yang sesat adalah orang-orang Nasrani”, diucapkan Nabi saw. di Madinah.

Hadis itu, jika sahih, diucapkan Nabi dalam rangka menjelaskan ayat-ayat madaniyah tentang orang-orang Yahudi dan Nasrani di Madinah yang sombong dan membangkang. Mereka melakukan kesombongan dan pembangkangan itu secara sadar dan terang-terangan, sehingga mereka pantas mendapat murka-Nya sebagaimana disebutkan sejumlah ayat madaniyah, seperti al-Baqarah/2: 89-90. Tentang orang-orang Nasrani yang melakukan itu lantaran kesesatan mereka terekam dalam beberapa ayat, antara lain al-Ma`idah/5: 72-75.

Para mufasir yang mengatakan bahwa yang dimaksud “mereka yang dimurkai” dalam surah Al Fatihah adalah orang-orang Yahudi berdalil dengan ayat-ayat yang disebutkan di atas yang menetapkan adanya murka Allah atas orang-orang Yahudi. Para mufasir itu juga berdalil dengan al-Ma`idah/5: 72-75 tersebut ketika mengatakan bahwa yang dimaksud “mereka yang sesat” dalam surah al-Fatihah adalah orang-orang Nasrani. Ayat-ayat dalam surah al-Ma`idah tersebut topik pembicaraannya adalah seputar akidah orang-orang Nasrani tentang Nabi Isa dan ibunya (al-Ma`idah/5: 77).

Hingga di sini yang harus dicatat adalah, seperti telah disinggung, bahwa ayat-ayat ini semuanya madaniyah. Sehingga, seperti juga telah dikatakan, hadis yang menyatakan bahwa “mereka yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi, dan mereka yang sesat adalah orang-orang Nasrani”, diucapkan Nabi di Madinah terhadap sikap beberapa kelompok Yahudi dan Nasrani kala itu.

Atas dasar itu, ayat صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ dalam al-Fatihah mengandung peringatan (pemberitahuan) bahwa manusia di hadapan Allah terdiri dari tiga golongan: Pertama, golongan yang telah Allah karuniakan nikmat atas mereka sehingga mereka beroleh hidayah dan berjalan di atas jalan-Nya yang lurus. Kedua, golongan yang menyimpang dari jalan lurus secara sadar, atas dasar keingkaran dan kesombongan. Mereka ini pantas mendapat murka Allah.

Ketiga, golongan yang menyimpang dari jalan lurus karena ketidaktahuan dan tanpa petunjuk, lalu terus berada dalam penyimpangan tanpa menemukan jalan yang telah Allah turunkan kepada para rasul-Nya. Mereka ini kemudian dicap sebagai golongan yang sesat. Sungguh sebuah pengelompokkan yang menarik, bagus dan menyeluruh.

Pengelompokkan yang dilakukan Al Quran lewat surah Al Fatihah ini berlaku atas siapa saja; Ahli Kitab dan lainnya. Hanya saja, ketika surah Al Fatihah ini turun (di Mekah), tentang Ahli Kitab berlaku ayat-ayat yang sudah kita sebut di atas (al-An’am/6: 114, Yunus/10: 94, al-Ra’d/13: 36, al-Isra`/17: 107-109, al-Qashash/28: 52-53, al-‘Ankabut/29: 47, al-Sajdah/32: 23-24, dan al-Ahqaf/46: 10).

Dalam Fathir/35: 42-43 yang turun di Mekah, Allah menggambarkan adanya penyimpangan dan kesesatan yang dilakukan secara sadar dan lantaran kesombongan yang dilakukan oleh selain Ahli Kitab. Sementara itu dalam al-A’raf/7: 30 Allah menggambarkan adanya kelompok yang melakukan kesesatan lantaran ketidaktahuan tapi kemudian mereka larut dalam kesesatan itu. Baca juga al-Hajj/: 12-13.

Baca Juga: Tafsir Yahya bin Salam, Tafsir Tertua yang Terlupakan

Senada dengan Muhammad Izzat Darwazah, Muhammad Jawad Mughniyah dalam al-Tafsir al-Kasyif mengatakan bahwa ayat ini (صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ) bersifat umum; tidak ada pengkhususan, tidak ada pengecualian di dalamnya. Siapa pun melakukan ketaatan, akan beroleh nikmat Allah dan rahmat-Nya, dan siapa pun melakukan kemaksiatan, ia tersesat dan dimurkai-Nya.

Bagaimana pun, demikian Mughniyah, tujuan ayat ini secara khusus dan surah al-Fatihah secara keseluruhan, adalah menuntun setiap hamba untuk tetap berada di hadapan Tuhannya sebagai seorang yang beriman dan bertauhid, bersyukur dan memanjatkan pujian, tulus-ikhlas dan sesantiasa berdoa semoga Allah senantiasa memberinya taufik, berupa ilmu dan amalnya, kepada jalan keridhaan-Nya. Semua manusia akan berada di hadapan Penciptanya dengan segala amal-perbuatan yang pernah dilakukannya. Semua kata-kata juga akan diperhitungkan; apakah membawa pada ketaatan dan menjauhkan dari kemaksiatan, ataukah sebaliknya. Wallahu A’lam.

Abad Badruzaman
Abad Badruzaman
Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...