BerandaTafsir TematikSurah Al-An‘am 107-108: Pentingnya Etika Dakwah Bagi Pendakwah

Surah Al-An‘am 107-108: Pentingnya Etika Dakwah Bagi Pendakwah

Kehidupan beragama senantiasa tidak terlepas dari kegiatan penyebaran agama itu sendiri. Kerap kali kita jumpai individu atau sekelompok orang yang mengajak orang lain agar memeluk agama yang mereka anut. Dalam agama Kristen, kita mengenal istilah “misionaris”. Dalam agama Islam, dikenal istilah pendakwah atau da’i. Pun juga dalam agama lain, walaupun terdapat perbedaan istilah yang dipakai, namun tetap merujuk kepada satu tujuan yang sama, yakni mengajak dan meyakinkan orang lain untuk memeluk agama yang mereka anut.

Dalam tataran praktisnya, kegiatan dakwah ini perlu diiringi dengan etika yang baik agar objek dakwah tidak merasa terganggu dengan kehadiran pendakwah. Pendakwah tidak diperkenankan memaksakan ajaran yang dianutnya agar dibenarkan orang lain. Pendakwah perlu menyadari bahwa keislaman seseorang bukan berada di bawah kendali dirinya, melainkan hal tersebut merupakan murni kekuasaan dan hak Allah swt. Allah swt. dengan segala kekuasaan dan kebesaran-Nya bisa saja menjadikan seluruh umat manusia di alam semesta ini beriman kepada-Nya. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam Q.S. Al-An‘ām [6]:107 yang tertulis demikian:

وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَآ اَشْرَكُوْاۗ وَمَا جَعَلْنٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًاۚ وَمَآ اَنْتَ عَلَيْهِمْ بِوَكِيْلٍ.

Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan(-Nya). Dan Kami tidak menjadikan engkau penjaga mereka; dan engkau bukan pula pemelihara mereka. (Al-An‘ām [6]:107)

Ayat tersebut menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw. tidak diutus sebagai penjaga (hafizh) dan pemelihara (wakil) orang-orang kafir dari azab Allah swt., akan tetapi hanya sebagai penyampai risalah (mubaligh). (Ma’alim at-Tanzil/3/176).

Penting bagi kita membaca penafsiran Imam Al-Baghawi di atas karena ayat tersebut seolah-olah mengatakan kalau pendakwah perlu menyadari perannya hanya sebagai penyampai ajaran Islam. Pendakwah tidak berhak memaksakan orang lain agar menerima ajaran Islam yang didakwahkan. Soal beriman atau tidaknya mereka, cukup diserahkan kepada yang Mahakuasa.

Sekalipun dakwah memang ditujukan untuk meyakinkan kebenaran agama Islam, namun tidak dibenarkan jika diiringi dengan perbuatan menghina atau merendahkan agama lain, salah satunya adalah dengan mengolok-mengolok Tuhan yang mereka sembah. Hal ini diatur oleh Allah dalam firman-Nya Q.S. al-An‘ām [6]:108.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ  كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. (Al-An‘ām [6]:108)

Mengapa kita selaku umat Islam, terlebih lagi para pendakwah, dilarang mencaci maki Tuhan yang disembah penganut agama lain? Imam Al-Qurthubi dalam karyanya, Tafsir Al-Qurthubi menjelaskan bahwa hinaan dan cacian yang dilontarkan kepada sesembahan agama lain akan berakibat kepada semakin menjauhnya mereka dari Islam dan menambah kekufurannya. (Tafsir al-Qurthubi/7/41). Jika hal ini terjadi, tentu sudah melenceng keluar dari tujuan asal dakwah itu sendiri, mengajak dan meyakinkan orang lain untuk memeluk agama Islam.

Selain karena pertimbangan tujuan dakwah, larangan mencaci maki sesembahan agama lain juga bertujuan memelihara kesucian agama-agama dan menciptakan rasa aman serta harmonisasi antar umat beragama. Sudah menjadi tabi’at manusia pada umumnya jika agama dan kepercayaannya disinggung, maka emosinya akan terpancing dan meledak-ledak. Hal ini disebabkan karena agama bersemayam di hati para penganutnya, sedangkan hati merupakan sumber emosi. (Tafsir Al-Mishbah/ 3/607).

Lalu bagaimana jika olok-olokan yang disampaikan itu benar, apakah tetap dilarang? Ada keterangan menarik dari analisis mufassir kenamaan Indonesia, Prof. Quraish Shihab, terkait hal ini. Kata تَسُبُّوْا (tasubbu) pada ayat tersebut berasal dari akar kata سَبَّ (sabba) yang bermakna penghinaan terhadap sesuatu atau penisbahan suatu kekurangan terhadapnya, terlepas dari hal tersebut apakah benar adanya atau tidak. (Tafsir Al-Mishbah/3/606). Jika melihat dari hasil analisis tersebut, ayat tersebut melarang secara umum bentuk cacian dan olok-olok apapun yang ditujukan kepada sesembahan penganut agama lain,  terlepas dari apakah cacian dan olokan itu benar maupun tidak. Dengan kata lain, jika cacian dan olokan yang mengandung kebenaran saja dilarang, apalagi yang mengandung kebohongan?

Menariknya lagi, Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Tafsir al-Munir ketika memberikan penafsiran Q.S Al-An’am ayat 108 ini menerangkan bahwa Allah melarang orang-orang muslim mencaci maki sesembahan/Tuhan agama lain sekalipun perbuatan tersebut diniatkan untuk kebaikan dan kemaslahatan. Syekh Wahbah Az-Zuhaili memberikan catatan penting kepada kita bahwa perbuatan mencaci maki sesembahan agama lain pasti akan berakibat timbulnya kerusakan (mafsadah) yang lebih besar dibandingkan kemaslahatannya. Tak menutup kemungkinan mereka akan balik menyerang dan menghina Tuhan yang disembah umat Islam, Allah swt. (Tafsir al-Munir/7-8/344).

Itulah mengapa menurut Nadirsyah Hosen, ayat ini erat kaitannya dengan kaidah دَرْءُ الْمَفَاسِد مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِح, yang berarti perbuatan yang bertujuan menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada perbuatan yang bertujuan mendapat kebaikan. Kaidah lain yang juga relevan dengan pembahasan ini adalah Sadd al-Dzari’ah. Dalam kajian ilmu ushul fiqih, kaidah ini dimaknai sebagai perbuatan yang menutup semua akses yang menimbulkan kemudharatan. (Perintah Ilahi: Jangan Memaki Sesembahan Mereka)

Menghindari perbuatan yang memancing penganut agama lain mencaci maki agama Islam dan Allah swt. jauh lebih diutamakan dibandingkan usaha untuk mengajak mereka memeluk agama Islam. Sekalipun tingkah laku kita pada awalnya berniat baik dan berupa ketaatan, namun jika pada akhirnya berakibat pada timbulnya kemudaratan yang lebih besar, maka perbuatan tersebut dilarang. Bahkan Prof. Quraish Shihab menyatakan bahwa perbuatan amar ma’ruf dan nahi mungkar saja dapat gugur kewajibannya jika dikhawatirkan timbul mudarat yang lebih besar ketika kewajiban itu dilaksanakan. (Tafsir Al-Mishbah/3/607)

Sebuah pesan sederhana namun sarat makna yang disampaikan Prof. Quraish Shihab ketika menafsirkan ayat ini adalah bahwa seorang muslim tidak sepatutnya membalas cacian yang dialamatkan kepada Islam. Jika membalas cacian saja dilarang, apalagi jika kita yang terlebih dahulu menghina agama lain, terlebih lagi tuhan yang mereka sembah. Perbuatan demikian hanya akan memberikan gambaran buruknya akhlak seorang muslim. (Tafsir Al-Mishbah/3/607)

Hidup dalam masyarakat majemuk yang rentan akan terjadinya gesekan dan konflik, mengharuskan kita agar saling menghargai dan menghormati perbedaan keyakinan masing-masing. Penerapan etika dakwah yang ramah bertujuan agar terwujudnya kerukunan dan menghindari pertikaian antar umat beragama. Berdasarkan kandungan Q.S Al-An’am ayat 107-108, diantara etika dakwah yang ramah adalah tidak memaksakan agar orang lain memiliki keyakinan agama yang sama serta tidak mengolok-ngolok dan mencaci-caci sesembahan agama lain walaupun mengandung kebenaran dan bertujuan untuk kemaslahatan. Wallahu A’lam.

Rijal Ali
Rijal Ali
Mahasiswa UIN Antasari, minat kajian Isu-isu keislaman kontemporer,
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...