Apabila seorang muslim melepas keyakinannya (murtad), maka amal perbuatan yang pernah dilakukan sebelumnya menjadi hangus tak tersisa. Kemudian, ketika orang yang murtad itu menyesal dan kembali lagi memeluk agama Islam, apakah ia wajib mengulang seluruh ibadahnya yang lalu? Berikut ulasannya!
Menurut surat al-Baqarah ayat 127, amal perbuatan yang pernah dilakukan murtad sebelumnya menjadi sia-sia:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Teks ayat di atas menyebutkan bahwa muslim yang meninggalkan keyakinannya sangatlah rugi, karena jerih payah ibadahnya menjadi sia-sia, selain itu, ia akan dijerumuskan ke neraka selamanya.
Baca Juga: Hukum Bank ASI (Air Susu Ibu) dalam Islam
Meski demikian, ulama berbeda pendapat, apakah orang yang murtad secara otomatis dapat melebur amal baik seseorang atau tidak? Menurut kalangan Hanafi, apabila seseorang murtad, maka secara otomatis amal baiknya menjadi hilang. Sementara dari kalangan Syafi’i berpendapat, bisa hangus bila ia tidak mau kembali memeluk Islam hingga ajal menjemputnya, [Fathul Bayan Fi Maqasid Alqur’an, 1/437 dan Rawai’ alBayan Tafsir ayat ahkam, 1/265].
Dari perdebatan ini kemudian merambat kepada persoalan lain, mengenai status ibadah orang yang murtad tatkala dia bertaubat. Menurut mazhab Syafi’I, murtad yang kembali memeluk Islam tidak perlu mengulangi salat atau ibadah yang pernah dilakukan sebelumya. Berbeda dengan Abu Hanifah, menurutnya si murtad wajib mengulangi seluruh ibadahnya yang lalu.
Pendapat Abu hanifah ini berdasarkan penafsirannya mengenai firman Allah pada surat al-Baqarah ayat ke 127. Menurutnya, ibadah yang pernah dilakukan murtad semasa Islam menjadi sia-sia dan hangus sehingga bila dia bertaubat perlu mengulang lagi ibadahnya.
Dalam kitab majmuk pada bab salat disebutkan bahwa ketika seorang salat lalu dia murtad kemudian kembali lagi masuk Islam dan waktu salat masih berlangsung maka tidak wajib baginya mengulang salat. Artinya salat yang terjadi sebelumnya sudah dianngap cukup. Berbeda dengan Abu Hanifah yang berpendapat bahwa murtad wajib mengulang salatnya.
Imam Nawawi pengarang Kitab Majmuk menjelaskan lebih lanjut bahwa perbedaan ini bermuara dari perbedaan kedua bela pihak dalam menafsiri surat al-Baqarah ayat ke 127, [al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab, 3/5].
Baca Juga: Alasan Jamaah Haji Singgah di Masjid Sebelum Pulang ke Rumah
Di dalam bab haji, Imam Nawawi juga mengulas persoalan yang serupa. Ketika seseorang telai menunaikan haji kemudian murtad dan selang beberapa waktu dia kembali ke Islam maka menurut mazhab Syafi’I tidak perlu melaksanakan haji yang kedua kalinya. Sementara menurut Abu Hanifah dia wajib melaksanakan haji lagi, karena haji yang pertama menjadi sia-sia. Perbedaan ini pun menurut Imam Nawawi karena perbedaan penafsiran dari kedua kubu mengenai al-Baqarah ayat ke 127, [al-Majmuk Syarah al-Muhadzzab, 9/7].
Di dalam kitab Mugnil Muhtaj karya Syakh Khatib Syarbini ada keterangan menarik yang berkaitan dengan persoalan ini. Konon, keterangan yang dinukil dari pendapat Imam Syafii langsung menyatakan bahwa murtad bisa menghapus pahala amal. Akan tetapi, menurut Syakh Khatib Syarbini kalau pun benar demikian, hal ini tidak mengubah fakta bahwa menurut imam Syafi seorang yang murtad tidak perlu mengulang salatnya yang lalu, karena antara pahala dan ibadah merupakan dua hal yang berbeda. Boleh jadi ibadah dilakukan tanpa memperoleh pahala sedikit pun sebagaimana yang terjadi dalam kasus salatnya orang yang mengenakan pakaian hasil ghasab, [Mugnil Muhtaj, 5/427].