Indonesia sebagai negara yang berasaskan Pancasila dengan penduduk dari latar belakang agama yang berbeda beda, sangat memungkinkan terjadinya nikah beda agama. Isu legalitas nikah beda agama seringkali sampai dan terdengar ke telinga kita. Misalnya, bolehkah jatuh hati pada pasangan non-muslim? Lebih dari itu, bagaimana bila menikahi dan membangun rumah tangga bersamanya?
Di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 221 Allah Swt mewanti-wanti umat muslim untuk tidak menikahi pasangan musyrik. Secara logika alasannya mudah ditebak. Pernikahan beda agama dapat menggoyahkan salah satu iman di antara mereka. Tarik-menarik satu sama lain agar mengikuti kepercayaan masing-masing tidak dapat terelakkan.
Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 221:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ࣖ
Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.
Pada ayat di atas ada dua pesan yang hendak Allah Swt sampaikan. Pertama, larangan bagi pria menikahi perempuan musyrik:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ
Kedua, pantangan perempuan muslim menikahi laki-laki musyrik:
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ
Makna Musyrik pada ayat al-Baqarah 221
Para mufasir berbeda pendapat mengenai arti kata musyrik pada ayat di atas. sebagian pendapat mengatakan bahwa maksud kata musyrik ialah para penyembah berhala. Menurut pendapat ini ahl kitab (Nasrani atau Yahudi) tidak tercakup di dalamnya. Alasannya, karena diksi musyrik yang diredaksikan al-Qur’an tidak lain hanya diperuntukkan terhadap perempuan penyembah berhala. Tatkala Allah Swt hendak menyinggung perempuan Nasrani atau Yahudi (ahl kitab) maka pilihan kata yang digunakan adalah ahl kitab atau mensifatinya dengan katak kufur bukan musyrik. Dengan begitu, kata musyrik yang terdapat pada ayat tersebut lebih pantas disandingkan kepada para penyembah berhala (al-Tafsir al-Wasit li al-Qur’an al-Karim, 01/488).
Baca Juga: Tafsir Surah at-Taubah Ayat 28: Benarkah Orang Musyrik Itu Najis?
Pendapat lainnya mengatakan bahwa lafal “musyrik” pada ayat di atas ditujukan kepada seluruh non-muslim, baik penyembah berhala maupun kafir ahl kitab. Pendapat kedua ini mengeneralisir kepada semua bentuk kekufuran sebagaimana yang dikehendaki oleh lafad yang ada. Selain itu menurut Syekh Muhammad Ali As-Shabhuni ahl kitab juga termasuk kategori musyrik sebagaimana yang terdapat pada surat at-Taubah ayat 30-31 (Rawai’ul Bayan, 234; al-Tafsir al-Munir, 02/290).
Hukum menikahi Wanita Musyrik
Melalui perbedaan penafsiran tersebut kemudian berimplikasi pada hukum yang berbeda pula. Menurut penafsiran pertama, larangan nikah beda agama hanya tertuju kepada penyembah berhala. dengan kata lain, menikahi Wanita ahl kitab tetap diperbolehkan. Selain itu, legalitas menikahi Wanita ahl kitab dijelaskan secara khusus oleh Allah Swt pada ayat lain khususnya pada surat al-Maidah ayat 05:
مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”
Berbeda halnya dengan pendapat yang kedua, menurutnya menikahi perempuan non-muslim tidak diperkenankan secara mutlak, baik dari kalangan Nasrani, Yahudi, penyembah berhala, dan sebagainya. Pendapat ini dipelopori oleh Ibn Umar.
Dalam suatu Riwayat disebutkan, tatkala Ibn Umar ditanya mengenai seorang laki-laki yang hendak menikahi Wanita Nasrani atau Yahudi beliau menjawab: “tidak ada bentuk kemusyrikan yang lebih parah daripada perkataan salah seorang Wanita yang mngatakan; Tuhanku adalah Isa atau seorang hamba di antara hamba-hamba Allah”.
Selain itu, mengenai kandungan ayat 05 surat al-Maidah tentang kebolehan menikahi Wanita ahl kitab menurut pendapat ini ayat tersebut telah dinaskh oleh surat al-Baqarah ayat 221. Hanya saja, asumsi tersebut dibantah oleh mufasir yang lain.
Ulama menyelidiki bahwa surat al-Baqarah merupakan surat yang pertamakali turun di Madinah, sementara al-Maidah merupakan surat yang terakhir kali turu. Padahal, kaidah yang ada pada naskh-mansukh menyebutkan ayat terakhir menghapus hukum ayat yang turun lebih awal. Jadi menaskh kandungan surat al-Maidah menggunakan surat al-Baqarah secara teori tidak dibenarkan (Rawai’ul Bayan, 01/237-238; al-Tafsir al-Wasit li al-Qur’an al-Karim, 01/488).
Hukum Menikahi Laki-Laki Musyrik
Perdebatan di atas terjadi bila pernikahan yang terjadi antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim. Ada pun pernikahan perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim ulama sepakat tidak memperbolehkan. Alasannya karena di dalam rumah tangga (pada biasanya) yang memiliki kendali penuh adalah laki-laki. Jadi, mempersilahkan pernikan tersebut sama halnya dengan membahyakan akidah si Wanita. Dan hal ini tidak boleh terjadi. Islam sangat memerhatikan dan memeluk erat-erat para pemeluknya, semangat mempertahankan akidah sangat dijaga dalam Islam (Rawai’ul Bayan, 01/239).
Baca Juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 28: Benarkah Non-Muslim Dilarang Masuk Masjid?
Alhasil, nikah beda agama masih diperinci sebagai berikut. Pertama, laki-laki muslim dengan perempuan musyrik, hukumnya masih diperselisihkan ulama: (1) ada yang menutup rapat-rapat, sama sekali tidak memperbolehkan baik mempelai Wanita dari kalangan Yahudi, Nasrani, penyembah berhala, dan lain lain. (2) sedikit memberi kelonggaran kepada umat muslim. Menikahi perempuan non-muslim diperbolehkan selama si Wanita dari kalangan ahl kitab (Yahudi atau Nasrani). Selain itu, tidak diperbolehkan.
Kedua, pernikahan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim. Bentuk pernikahan ini ulama sepakat tidak memperbolehkan. Larangan ini dilakukan guna membentengi akidah umat muslim agar tetap kokoh dan tidak runtuh. Wallahu A’lam.