Manusia tidak selalu bertabiat baik, ada juga tabiat buruk dalam diri manusia yang dapat mendorong kepada hal-hal negatif, antara lain ialah tidak sabar, sering berkeluh kesah, kikir atau tidak mau berbagi harta, tidak bersyukur atas pemberian Allah, dan lain sebagainya.
Salah satu ayat Alquran yang menjelaskan sifat-sifat buruk manusia adalah surah al-Ma’arij ayat 19-21,
اِنَّ الْاِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا (١٩) إذَا مَسَّهُ الشّرُّ جَزُوعًا (٢٠) وَ إذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا (٢١)
“Sesungguhnya manusia diciptakan dengan sifat suka mengeluh. Apabila ditimpa keburukan (kesusahan), ia berkeluh kesah. Apabila mendapat kebaikan (harta), ia amat kikir.”
Allah memaparkan ayat di atas dengan menggunakan bahasa yang ringkas, namun memiliki makna begitu dalam. Dari ayat itu, manusia diajak untuk mengetahui dan mengintrospeksi diri akan sifat buruk yang sering muncul agar menjadi hamba yang bisa mengendalikan tabiat-tabiat buruk tersebut.
Baca Juga: Surah al-Alaq Ayat 6-8: Karakter Manusia yang Melampaui Batas
Penafsiran surah al-Ma’arij Ayat 19-21
Menurut Wahbah az-Zuhaili, manusia diciptakan oleh Allah dengan tabiat mudah cemas atau panik. Dengan sifat ini manusia cenderung tidak sabar, tamak, kikir dan tidak mau berbagi. Apabila ditimpa musibah seperti sakit atau kesusahan lainnya, ia akan berkeluh kesah dan bersedih. Namun jika ia memperoleh kenikmatan seperti kekayaan, jabatan dan kekuasaan, ia menjadi hamba yang sangat kikir dan tidak mau mendermakan sebagian hartanya kepada saudaranya yang membutuhkan. (Tafsir al-Munir, juz 15, hal. 124)
Dalam kitab Mafatih al-Ghaib, Imam Fakhruddin al-Razi menerangkan bahwa sifat suka mengeluh dalam diri manusia itu merujuk pada dua keadaan. Pertama al-halah an-nafsaniyah, yaitu keadaan yang mendorong manusia untuk mengeluh dan gelisah. Ketika ditimpa musibah, manusia memang cenderung akan mengeluh, sifat seperti ini merupakan ciptaan Allah dan menjadi bagian dari fitrah manusia.
Kedua al-af’al al-dzahiriyah, yaitu tindakan atau ucapan keluh kesah dari manusia yang disebabkan adanya pendorong, seperti seseorang yang mengeluh lantaran ditimpa musibah. Berbeda dengan keadaan pertama, tindakan ini muncul dari diri manusia sendiri dan bisa dikendalikan. Sedangkan keadaan nafsaniyah adalah pemberian Allah dan melekat dalam diri manusia secara alami.
Lebih lanjut lagi, Imam Fakhruddin al-Razi menjelaskan bahwa seseorang yang tidak bisa mengendalikan tabiat buruk yang ada pada jiwanya, maka ia menjadi makhluk tercela di mata Allah. Sebab, seseorang yang suka mengeluh, tidak sabar dan kikir, ia senantiasa lebih mengurusi keadaan jasmani yang bersifat duniawi dan tidak memperhatikan keadaan ukhrawinya. Dengan demikian ia akan jauh dari Allah dan selalu mengejar dunia yang fana dan sementara. (Mafatih al-Ghaib, juz 15, hal. 118).
Baca Juga: Membingkai Kembali Nafs al-Muthma’innah di Era Distraksi Digital
Obat Penawar atas Sifat Buruk Manusia
Tidak ada pilihan lagi, manusia harus menerima sifat suka mengeluh dan kikir yang diciptakan Allah untuk hamba-hamba-Nya. Meskipun demikian, dalam lanjutan dua ayat sebelumnya (surah al-Ma’arij ayat 19-21), tepatnya di ayat 22-30 Allah memberikan obat penawar alias cara untuk mengatasi tabiat-tabiat buruk tersebut.
اِلَّا الْمُصَلِّيْنَ (22) الَّذِيْنَ هُمْ عَلٰى صَلَاتِهِمْ دَاۤىِٕمُوْنَ (23) وَالَّذِيْنَ فِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ (24) لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ (25) وَالَّذِيْنَ يُصَدِّقُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ (26) وَالَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَ (27) اِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُوْنٍ (28) وَّالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَ (29) اِلَّا عَلٰٓى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ (30)
“Kecuali orang-orang yang mengerjakan salat, mereka yang selalu setia mengerjakan salatnya. Dan mereka yang di dalam hartanya ada bagian tertentu, untuk orang (miskin) yang meminta-minta dan orang (miskin) yang menahan diri dari meminta. Kemudian orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan yang takut terhadap azab Tuhannya. Sesungguhnya tidak ada orang yang merasa aman dari azab Tuhan mereka. (Termasuk orang yang selamat dari azab adalah) orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka tidak tercela (karena menggaulinya).” Q.S. al-Ma’arij [70]: 22-30
Ayat di atas bisa dipahami bahwa Allah memberikan obat atas sifat-sifat buruk manusia. Obat pertama berupa mengerjakan salat pada waktunya. Kedua, menyisihkan sebagian harta agar diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Ketiga, percaya akan hari akhir dan hari pembalasan. Keempat, takut akan pedihnya azab Allah, dan kelima selalu menjaga kemaluannya dari hal-hal yang tidak diridai oleh Allah swt.
Dalam Tafsir Ta’wilat Ahl as-Sunnah, Imam al-Maturidi menjelaskan bahwa meskipun manusia diciptakan dengan memiliki tabiat-tabiat buruk, namun manusia tetap diberikan cara untuk melawan sifat buruk tersebut. Di antara caranya adalah dengan melakukan riyadhah, yaitu berusaha melatih diri untuk menghindari hal-hal buruk agar bisa lebih dekat dengan Sang Pencipta. Bentuk riyadhah bisa berupa melaksanakan salat, zikir, sedekah, menahan hawa nafsu dari perkara yang haram dan lain semacamnya. (Ta’wilat Ahl as-Sunnah, juz 10, hal. 205)
Demikian Alquran menginformasikan tentang kebiasaan buruk manusia sekaligus cara-cara untuk mengatasinya. Pada akhirnya menjadi baik atau buruk adalah sebuah pilihan. Jadilah baik sejak di awal pilihan. Wallah a’lam

















