BerandaTafsir TematikSurah Al-Mujadalah Ayat 1-2: Memaknai Kehadiran Al-Quran Perspektif Ingrid Mattson

Surah Al-Mujadalah Ayat 1-2: Memaknai Kehadiran Al-Quran Perspektif Ingrid Mattson

Surah Al-Mujadalah Ayat 1-2 biasanya dipahami pada dua sisi, (1) kesetaraan gender, dan (2) hukum zihar. Mereka yang menyuarakan kesetaraan gender menjadikan kisah Khaulah binti Tsa’labah dalam ayat tersebut sebagai perempuan yang berhasil menggugurkan ketinggian derajat laki-laki dari perempuan.

Adapun mereka yang memahaminya sebagai ayat tentang kasus zihar menjadikan kisah Khaulah sebagai bagian penting dalam isu dan pengambilan hukum terhadap perceraian suami-istri. Berbeda dari dua bentuk pemahaman tersebut, Ingrid Mattson memahami kisah dalam ayat tersebut sebagai cara Allah menyampaikan dan menghadirkan Al-Qur’an dalam kehidupan manusia.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Zhihar dan Beberapa Ketentuannya

Redaksi QS. Al-Mujadalah [58]: 1-2 yang dimaksud di sini adalah:

قَدْ سَمِعَ اللّٰهُ قَوْلَ الَّتِيْ تُجَادِلُكَ فِيْ زَوْجِهَا وَتَشْتَكِيْٓ اِلَى اللّٰهِ ۖوَاللّٰهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَاۗ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌۢ بَصِيْرٌ

اَلَّذِيْنَ يُظٰهِرُوْنَ مِنْكُمْ مِّنْ نِّسَاىِٕهِمْ مَّا هُنَّ اُمَّهٰتِهِمْۗ اِنْ اُمَّهٰتُهُمْ اِلَّا الّٰۤـِٔيْ وَلَدْنَهُمْۗ وَاِنَّهُمْ لَيَقُوْلُوْنَ مُنْكَرًا مِّنَ الْقَوْلِ وَزُوْرًاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ

Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. Orang-orang di antara kamu yang menzihar istrinya, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan sesungguhnya mereka benar-benar telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.

Sekilas tentang Ingrid Mattson dan Kisah Khaulah Binti Tsa’labah

Ingrid Mattson adalah seorang professor yang juga dikenal sebagai aktifis, serta mantan presiden masyarakat Islam Amerika Utara. Menyelesaikan program Ph.D-nya dalam bidang studi Islam di Universitas Chicago.

Salah satu karyanya yang akrab dan dijadikan rujukan dalam kajian Al-Qur’an adalah buku the Story of the Qur’an: its History and Place in Muslim Life (2008). Buku ini kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Ulumul Qur’an Zaman Kita: Pengantar untuk Memahami Konteks, Kisah dan Sejarah Al-Qur’an (2013).

Dalam buku tersebut, Ingrid mengangkat kasus Khaulah binti Tsa’labah bersama Aus bin Samir, yang diabadikan dalam QS. Al-Mujadalah [58]: 1-2.  Kisah ini menjadi bagian awal sekaligus menjadi pengantar dalam memahami sejarah dan dialektika wahyu (Al-Qur’an) dan konteks kehidupan manusia.

Sebagaimana yang umum dijelaskan mengenai Surah Al-Mujadalah Ayat 1-2, baik dari versi kisah Al-Qur’an, sirah Nabawiyah, maupun yang tercantum dalam tradisi penafsirannya, penyampaian ayat tersebut berkaitan dengan kisah Khaulah sebagai seorang istri yang dizihar oleh suaminya, Aus bin Samit, dengan mengatakan “Engkau (haram) bagiku seperti (haramnya) punggung ibuku.”

Dalam tradisi Arab, menzihar seorang istri berarti memutuskan hubungan suami-istri –sama halnya bercerai, tetapi istri tidak diperbolehkan meninggalkan suaminya. Keadaan ini membuat bingung perempuan, termasuk yang dialami oleh Khaulah. Karena itu, Khaulah mengadukan kasusnya kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi tidak mendapatkan solusi.

Berkali-kali Khaulah memohon solusi dari Nabi Muhammad SAW, beliau hanya berkata “Aku belum punya jawaban dan keputusan mengenai persoalanmu”. Posisi Nabi Muhammad SAW di sini adalah seorang utusan Allah, sehingga menjadikannya tidak berani menghukumi kasus Khaulah tanpa bimbingan wahyu. Jawaban Nabi berupa “Khaulah, menurutku engkau diharamkan atasnya” merupakan sebuah pendapat manusiawi. Sehingga, itu tidak menjadi keputusan akhir dari kasus Khaulah.

Sepanjang Khaulah meminta solusi dari Nabi Muhammad SAW, sepanjang itu juga Khaulah berdo’a dan memohon kepada Allah SWT untuk diberikan solusi atas kasus yang dialaminya. Hingga akhirnya, Allah SWT mewahyukan QS. Al-Mujadalah [58]: 1-2 kepada Nabi Muhammad SAW yang kemudian disampaikannya kepada Khaulah binti Tsa’labah dan suaminya. Sehingga, terselesaikanlah kasus zihar Khaulah dengan diperintahkan Aus untuk bersedekah kepada fakir miskin agar mereka dapat bersatu kembali.

Al-Qur’an yang Hadir kepada Manusia Biasa

Kehadiran Al-Qur’an dalam menyelesaikan persoalan zihar yang dialami oleh Khaulah di atas memberi pemahaman yang lebih luas terkait kehadiran Al-Qur’an dalam kehidupan manusia. Ingrid menilai bahwa penyampaian Al-Qur’an dalam kasus Khaulah tersebut mengindikasikan bahwa wahyu bisa saja disampaikan berkenaan kasus dari orang biasa. Saat yang sama, Tuhan sedang menjadikan Khaulah sebagai perantara untuk menyampaikan wahyu kepada seluruh manusia.

Di sini, Ingrid melihat posisi sosial seorang Khaulah yang nampaknya adalah perempuan biasa yang tinggal di Madinah abad ketujuh. Posisinya sebagai perempuan biasa, bukan hanya membuat Khaulah tidak dapat melakukan protes dan perlawanan terhadap tradisi daerahnya, tetapi bahkan harus mendengarkan dan patuh kepada suaminya. Saat itu, perempuan yang memiliki nasab (keturunan), suku, atau posisi yang terhormat yang dapat didengar suaranya.

Ingrid melihat adanya jejak situasi dan keadaan di mana laki-laki mendominasi ruang publik di bangsa Arab inilah yang kerap kali mencekam keharmonisan dalam kehidupan suami-istri, sebagaimana yang dialami Khaulah dan Aus.

Beruntung karena suara perempuan tidak sepenuhnya dibungkam. Sehingga, sekalipun strata sosialnya biasa saja, tetapi Khaulah bintih Tsa’labah telah berhasil mengambil ‘perhatian’ Allah SWT hingga QS. Al-Mujadalah [58]: 1-2 disampaikan dalam konteks kasus yang dialaminya.

Dari sini, Ingrid mengatakan bahwa sekalipun Al-Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi Allah SWT berhak menyampaikan wahyunya untuk merespon kehidupan siapa saja, laki-laki ataupun perempuan. Dalam penyampaian Al-Qur’an tersebut, kasus-kasus spesifik seringkali memiliki makna universal (umum) untuk kehidupan umat manusia, kapan dan di manapun.

Ingrid menilai bahwa kasus Khaulah menunjukkan upaya Al-Quran memperbaiki tradisi-tradisi bangsa Arab yang mengandung ketidakadilan. Ini tidak hanya tentang kasus zihar, tetapi juga tentang pembunuhan, pencurian, penindasan, dan seterusnya.

Baca Juga: Ragam Bentuk Keadilan Sosial dalam Pandangan Al-Quran

Penjelasan Ingrid tentang pemahaman Surah Al-Mujadalah Ayat 1-2 yang melibatkan penjelasan proses pewahyuannya, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa Ingrid sedang menunjukkan bahwa keterkaitan wahyu dan konteks sebenarnya berlangsung dan terjadi secara alami.

Ketika Khaulah tengah kebingungan terhadap tradisinya yang tidak adil, Al-Qur’an (Surah Al-Mujadalah Ayat 1-2) sebagai pedoman hidup hadir menyelesaikan persoalan tersebut. Dari sini, proses pewahyuan Al-Qur’an dapat dipahami sebagai komunikasi Tuhan bersama manusia, yang di dalamnya melibatkan konteks Arab saat itu. [] Wallahu A’lam.

Muhammad Alwi HS
Muhammad Alwi HS
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Konsentrasi Studi Al-Quran dan Hadis.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...