BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanSurah Al-Mumtahanah Ayat 8-9 dan Pesan Relasi Muslim-Non Muslim dalam Tafsir Al-Ibriz

Surah Al-Mumtahanah Ayat 8-9 dan Pesan Relasi Muslim-Non Muslim dalam Tafsir Al-Ibriz

Secara umum, surah Al-Mumtahanah ayat 8-9 berisi penjelasan tentang hubungan antar-agama. Ayat 8 menjelaskan bahwa tidak ada larangan bagi orang Islam untuk menjalin interaksi dengan pemeluk agama lain. Sedang ayat 9 menjelaskan perihal larangan berinteraksi dengan pemeluk agama lain kecuali ada beberapa syarat dan ketentuan. Larangan inipun sebenarnya berlaku bagi orang atau penganut agama lain yang telah jelas membuat permusuhan dengan umat Islam, seperti memerangi, merampas harta dan mengusir orang Islam dari rumah-rumah mereka.

Konteks awal kedua ayat tersebut yaitu turun berkaitan erat dengan relasi antara umat Islam zaman Nabi dengan masyarakat Arab. Kala itu, kaum Muhajirin berhijrah dari Makkah dengan meninggalkan rumah dan harta benda. Alasan dan tujuan dari hijrah sendiri yaitu karena perintah Allah dan juga mencari tempat perlindungan dari segala ancaman dan bahaya yang ditimbulkan kafir Makkah.

Beberapa referensi tafsir, seperti tafsir At-Thabari, Ibnu Katsir yang dikutip oleh salah satu artikel di website ini menuliskan bahwa ayat ini juga erat kaitannya dengan peristiwa keberatan Asma’ bint Abu Bakar untuk menerima kunjungan dari ibunya yang masih kafir. Asma’ kemudian meminta adiknya, Aisyah untuk menanyakannya kepada Nabi Muhammad Saw. Keberatan dan keengganan Asma’ ini sebenarnya bukan tanpa alasan, sebab sebelum surah Al-Mumtahanah ini turun, terdapat sebuah larangan bagi umat Islam untuk menjalin hubungan dengan kaum kafir.

Menarik ketika melihat penafsiran Tafsir Al-Ibriz yang dikenal dengan unsur lokalitas kejawaannya. Dari segi penafsiran sebenarnya tidak banyak berbeda, bahkan cenderung sama, perbedaan yang mencolok adalah bahasanya dan dzauq yang dihasilkan oleh Bahasa tersebut, khususnya ketika dibaca oleh orang Jawa. Berikut penafsiran KH. Bisri Mustafa tersebut,

Baca Juga: Kiai Bisri Mustofa: Sang Penggubah Tafsir Arab Pegon Al-Ibriz

Antara ora nyegah lan nyegah sangking ambagusi wong-wong kafir

Allah ta’ala ora nyegah siro kabeh sangking ambagusi wong-wong kafir kang ora merangi siro kabeh ingdalem soal agomo, lan ora ngusir siro kabeh sangking kampung kampung iro kabeh, lan ugo sangking tumindak adil marang wong-wong kafir mau. Temen Allah ta’ala iku demen ing wong kang podo adil. (8).  

(Tanbih) Ayat iki den mansukh sarana ayat faqtulul musyrikiina khaitsu wajad tumuuhum.

Namung Allah ta’ala iku nyegah siro kabeh sangking ambagusi wong-wong kafir kang podo merangi siro kabeh ingdalem soal agomo, lan podo ngusir siro kabeh sangking kampung-kampung iro kabeh. Lan podo membantu kanggo ngusir siro kabeh, Allah swt nyegah siro kabeh sobatan (kekancan) karo wong kafir  mengkono sifat kuwi. Sopo wonge sobatan karo wong-wong kafir mengkono-mengkono sifat mau, wong-wong iku, iyo wong kang sobatan mau wong-wong kang podo dzolim. (9). (Bisri Mustofa, Tafsir Al Ibriz, Juz 28, hal. 50.)

Pada ayat ke delapan, KH. Bisri Mustofa menafsirkan sebagaimana terjemahan pada umumnya. Penjelasannya lebih kepada alih bahasa dari Arab ke Jawa. Pada akhir penafsiran, terdapat sebuah catatan (tanbih) bahwa ayat tersebut di mansukh dengan turunnya surah At-Taubah ayat 5.

Mengacu pada bagian pengantar tafsir ini, Al-Ibriz sangat dimungkinkan ditulis dengan mengambil refrensi tafsir-tafsir klasik seperti Tafsir Al-Jalalayn, Tafsir Al-Khazin, Tafsir Baydhowi. Juga, dalam pengutipan penjelasan status mansukhnya ayat ke 8 tersebut oleh surah At-Taubah ayat 5. Keterangan ini terdapat pada Tafsir Al-Jalalayn. (Jalaluddin As-Suyuthi dan Jalaluddin Al-Mahally, Tafsir Al-Jalalayn, hal. 592)

Sementara itu penjelasan dari Al-Ibriz ini bisa kita temukan padanan dan afirmasinya dalam tafsir Ahkam Al-Quran yang ditulis oleh Ibnul Arabi. Ia mengemukakan bahwa ada tiga persoalan dalam ayat tersebut. (Ibnul Arabi, Ahkam Al-Quran, 4/227)

Pertama, tentang ketetapan ayat atau status mansukh. Ke-mansukh-an ayat ke-8 sebagaimana dikatakan Ibnu Zaid dengan alasan ayat ini berlaku sebelum turunnya ayat perintah perang (ayatul qital).  Pendapat lain mengatakan bahwa ayat ini merupakan ketetapan hukum. Dalil yang menjadi penguat adalah hadis yang menceritakan pertemuan Asma’ binti Abu Bakar dengan Ibnunya, Qutailah binti Abdul Uzza.

Kedua, seruan untuk berbuat adil. Surah Al-Mumtahanah ayat 8-9 selain berisi penjelasan sikap terhadap pemeluk agama lain, juga menjelaskan tentang konsep keadilan. Dalam istilah lain disebut dengan objektif, yaitu ketika seseorang tidak berbuat jahat kepada kita, maka tidak boleh kita memusuhinya. Ketiga, berisi kewajiban setiap muslim yang memiliki orang tua non-muslim untuk tetap menghormatinya.

Adapun ayat ke sembilan berisi penjejasan tentang dalam bentuk apa dan bagaimana Islam memberikan larangan berinteraksi antar peneluk agama. pada ayat ini, KH. Bisri Musthofa menjelaskan yang dilarang dalam Islam adalah menjalin relasi dengan orang-orang kafir yang jelas memerangi dan mengusir orang Islam, karena alasan agama. Terhadap orang-orang yang demikian, Islam sangat melarang umatnya menjalin hubungan. Maka siapapun yang menjalin hubungan terhadap mereka, orang tersebut tergolong dalam orang yang zalim.

Baca Juga: Tuntunan dalam Membangun Relasi Antar Umat Beragama

Pedoman BerIslam di Indonesia

Terdapat beberapa pesan yang dapat diambil dari penafsiran Kiyai Bisri dalam ayat tersebut. Islam menghendaki umatnya untuk menjalin hubungan dengan semua penganut umat beragama. Meski demikian, terhadap orang-orang yang berbuat aniaya terlebih dalam hal agama, Islam melarang umatnya untuk menjalin hubungan.

Jalinan hubungan tersebut bahkan tidak boleh putus terhadap orang tua yang berlainan kepercayaan. Sekalipun berbeda keyakinan, muslim yang baik harus menghormatinya dan memenuhi hak-haknya sebagai orang tua. Dalam hal ini, ketauladanan yang dicontohkan sahabat Abdurrahman bin Auf patut ditiru.

Surah Al-Mumtahanah ayat 8-9 juga mengajarkan kita untuk berlaku adil dan objektif. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, keputusan untuk menjalin hubungan ataupun tidak merupakan bentuk aplikasi dari adil. Demikian kiyai Bisri memberikan pandangan dan pendapatnya tentang relasi muslim-non muslim yang dituangkan dalam penafsiran surah Al-Mumtahanah ayat 8-9. Penafsiran ini bisa kita jadikan pedoman dalam berIslam di Indonesia.

Muhammad Wildan Syaiful Amri Wibowo
Muhammad Wildan Syaiful Amri Wibowo
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...