BerandaTafsir TematikSurah al-Qadr Ayat 1, Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadr Menurut Fakhruddin Ar-Razi

Surah al-Qadr Ayat 1, Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadr Menurut Fakhruddin Ar-Razi

Fenomena Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadr di bulan suci Ramadhan serta Q.S. al-Qadr merupakan satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Q.S. al-Qadr merupakan bentuk informatif atas fenomena Lailatul Qadr dan Nuzulul Qur’an. Berdasarkan hal tersebut, maka akan sangat menarik jika Q.S. al-Qadr dikaji melalui uraian filosofis Fakhruddin al-Razi dalam karya agungnya Mafatih al-Ghaib.

Seperti biasa sebelum masuk pada bagian inti artikel ini, mari disimak dulu ayat beserta terjemahnya:

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar.

Al-Razi terkenal dengan gaya pembahasannya yang begitu luas. Bagi orang yang sudah terbiasa membaca Mafatih al-Ghaib akan mendapati bahwa dalam membahas suatu diskursus tertentu, ia kerapkali membawanya pada penafsiran yang bercabang-cabang. Style penafsiran semacam itu juga akan didapati pada penafsirannya terhadap Q.S. al-Qadr kali ini.

Baca Juga: Surah Al-Qadr [97] Ayat 3: Lailatul Qadar Lebih Baik dari Seribu Bulan

Maka tidak mengherankan jika dalam penafsiran ayat pertama Q.S. al-Qadr ini ada tujuh cabang permasalahan yang dibahas. Oleh karena itu, untuk memudahkan pembaca, dari ketujuh poin pembahasan tersebut akan dibahas tema-tema menarik yang patut dipahami.

Fungsi Dhamir “Hu” Sebagai Pengganti al-Qur’an

Sebagai seorang mufassir yang terkenal akan gaya penafsirannya yang filosofis, al-Razi begitu detail termasuk dalam memperhatikan sisi kebahasaan. Pada poin pembahasan pertama ini, ia mencoba mengungkap fungsi di balik penggunaan dhamir “hu” sebagai pengganti al-Qur’an.

Ada tiga jawaban yang diberikan al-Razi atas persoalan ini. Pertama, menyandarkan turunnya al-Qur’an secara khusus pada malam Lailatul Qadr tidak pada malam yang lain. Kedua, menunjukkan bahwa al-Qur’an memang tidak butuh disebutkan secara jelas sebab sudah masyhur siapa atau apa yang menjadi marja’ dari dhamir yang digunakan. Ketiga, mengangungkan waktu pada saat al-Qur’an diturunkan (Lailatul Qadr).

Fungsi Dhamir Mutakallim ma’a al-Ghair yang Marja’nya Allah

Tentu bagi pembaca yang sudah pernah belajar Nahwu tingkat lanjut akan mengetahui bahwa lafadzاِنَّآ  dalam ayat tidak akan merusak ke-Esa-an Allah. Sebab penggunaan dhamir mutakallim ma’a al-ghair tersebut oleh Allah bukan sebagai penanda jama’ atau lebih dari satu.

Melainkan sebagai bentuk pengagungan/ menunjukkan kebesaran (ta’dzhim) oleh Allah untuk diri-Nya sendiri. Pendapat ini juga ditegaskan oleh al-Razi berikut ini:

إِنَّا مَحْمُولٌ عَلَى التَّعْظِيمِ لَا عَلَى الْجَمْعِ

Lafadz “innaa” dibawa pada makna ta’dzhim bukan pada makna jama’.

Makna di Balik Turunnya al-Qur’an pada Malam Lailatul Qadr

Untuk menjelaskan diskursus ini, al-Razi mengutip beberapa pendapat Ulama sebelumnya sebagai argumentasinya. Pendapat pertama datang dari al-Sya’bi yang dalam hematnya mengatakan bahwa permulaan turunnya al-Qur’an di malam Lailatul Qadr disebabkan oleh waktu diutusnya Muhammad pertama kali sebagai Nabi ialah di bulan Ramadhan.

Mungkin maksud al-Sya’bi, jika Muhammad tidak diutus sebagai Nabi pada bulan Ramadhan, mungkin saja jika al-Qur’an tidak diturunkan di malam Lailatul Qadr. Pendapat al-Sya’bi ini mungkin bisa dikatakan sebagai pendapat yang logis dan realistis.

Pendapat selanjutnya dinukil dari Ibn Abbas yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan secara utuh ke langit dunia pada malam Lailatul Qadr dan kemudian diturunkan secara berangsur-angsur ke Bumi. Maksud dari penukilan riwayat ini oleh al-Razi, menurut hemat penulis, ialah untuk menjawab sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik, “jika al-Qur’an pada malam Lailatul Qadr baru sampai di langit dunia, mengapa makhluk bumi merayakannya?”

Menjawab pertanyaan ini, Fakhruddin menguraikan jawaban yang begitu menarik dan sangat logis, sebagaimana berikut ini:

 وَهَذَا لِأَنَّ السَّمَاءَ كَالْمُشْتَرِكِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمَلَائِكَةِ، فَهِيَ لَهُمْ مَسْكَنٌ وَلَنَا سَقْفٌ وَزِينَةٌ، كَمَا قَالَ: وَجَعَلْنَا السَّماءَ سَقْفاً [الأنبياء: 32] فإنزاله القرآن هناك كإنزاله هاهنا

Dan hal ini disebabkan oleh langit yang merupakan perekat antara kita (manusia) dan malaikat. Langit bagi mereka adalah tempat tinggal dan bagi kita ialah atap (Q.S. al-Anbiya’: 32) dan perhiasan. Maka turunnya al-Qur’an di sana (langit dunia) layaknya turunnya al-Qur’an di sini (bumi).

Argumentasi yang begitu indah oleh al-Razi ini kemudian ditutup dengan uraian bahwa makna فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ialah fi fadhilati lailatil qadr wa bayani syarfiha (kemuliaan malam Lailatul Qadr). Maknanya al-Qur’an itu diturunkan di malam yang penuh kemuliaan, maka tiada sesuatu yang turun di malam yang mulia kecuali hal yang mulia.

Mengapa Allah Sembunyikan Waktu Lailatul Qadr?

Dalam menjawab persoalan ini, al-Razi memiliki jawaban yang sangat menarik. Ia menguraikan bahwa tujuan Allah menyembunyikan malam Lailatul Qadr ialah sebagaimana Allah menyembunyikan walinya di antara manusia hingga akhirnya manusia saling menghormati dan memuliakan, lalu menyembunyikan kapan diijabahnya doa agar manusia senantiasa bersungguh-sungguh dalam setiap doanya.

Begitupun dengan merahasiakan maksud shalatul wustha agar manusia senantiasa menjaga setiap shalatnya. Jadi tujuan Allah menyembunyikan/ merahasiakan kapan waktu pasti terjadinya malam Lailatul Qadr ialah agar manusia atau umat Islam khususnya senantiasa memuliakan setiap malam di bulan Ramadhan dan tidak memilih-milih malam yang akan dimuliakan.

Lalu jawaban menarik selanjutnya bahwa al-Razi menjadikan fenomena Lailatul Qadr ini sebagai tafsir atas penggalan akhir Q.S. al-Baqarah: 30 (قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ). Begini ungkapannya secara utuh:

أَنَّ الْعَبْدَ إِذَا لَمْ يَتَيَقَّنْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ، فَإِنَّهُ يَجْتَهِدُ فِي الطَّاعَةِ فِي جميع ليالي رَمَضَانَ، عَلَى رَجَاءِ أَنَّهُ رُبَّمَا كَانَتْ هَذِهِ اللَّيْلَةُ هِيَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ، فَيُبَاهِي اللَّهُ تَعَالَى بِهِمْ مَلَائِكَتَهُ، وَيَقُولُ: كُنْتُمْ تَقُولُونَ فِيهِمْ يُفْسِدُونَ وَيَسْفِكُونَ الدِّمَاءَ فَهَذَا جِدُّهُ وَاجْتِهَادُهُ فِي اللَّيْلَةِ الْمَظْنُونَةِ، فَكَيْفَ لَوْ جَعَلْتُهَا مَعْلُومَةً لَهُ! فَحِينَئِذٍ يَظْهَرُ سِرُّ قَوْلِهِ: إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ [الْبَقَرَةِ: 30]

Terjemah bebas: manusia yang tidak tahu kapan malam Lailatul Qadr akan hadir, justru menjadikannya motivasi untuk berharap dan berusaha meraihnya di setiap malam Ramadhan. Maka atas dasar itulah Allah dapat membanggakan manusia di hadapan para malaikat yang dahulu memperotes keputusan Allah menciptakan manusia. Bahwa manusia yang tidak diberi tahu kapan terjadinya Lailatul Qadr saja usahanya dalam meraihnya bisa seperti apalagi jika diberi tahu! Maka jelas penegasan Allah pada malaikat bahwa hanya Allah-lah yang Maha Tahu dan hakikatnya makhluk tidak mengetahui apapun.

Beberapa poin yang telah dibahas dalam artikel ini setidaknya menjadi suplemen tambahan dalam memaknai kemuliaan al-Qur’an serta waktu saat ia diturunkan. Momentum Nuzulul Qur’an sudah semestinya menjadi alarm bagi umat Islam untuk kembali mengkaji esensi dari kitab sucinya. Sekaligus menjadi motivasi dalam meraih kemuliaan malam di saat al-Qur’an diturunkan ke langit dunia. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Gus Baha jelaskan tata krama dalam interaksi sosial

Gus Baha Jelaskan Pentingnya Tata Krama dalam Interaksi Sosial

0
Dalam interaksi antar sesama di kehidupan bermasyarakat, Islam mengajarkan bahwa  muslim harus memperhatikan adab dan tata krama sosial, terlepas dari status dan kedudukan dalam...