BerandaTafsir TematikTafsir AhkamSurah at-Taubah Ayat 103: Tujuan Zakat Menurut Al-Qur’an

Surah at-Taubah [9] Ayat 103: Tujuan Zakat Menurut Al-Qur’an

Umat Islam meyakini bahwa setiap ibadah dalam ajaran Islam memiliki tujuan hikmah tertentu yang tersirat maupun tersurat, baik bersifat internal maupun eksternal. Sebagai contoh, tujuan zakat menurut Al-Qur’an adalah untuk membersihkan harta dan diri pelakunya. Di sisi lain, zakat juga dapat membantu mengentaskan kemiskinan dan mempererat hubungan antar golongan masyarakat.

Zakat adalah ibadah yang memiliki dua dimensi, yaitu vertikal dan horizontal. Zakat merupakan ibadah yang berfungsi sebagai bentuk ketaatan kepada Allah (hablu minallah; vertikal) dan sebagai bentuk perhatian kepada sesama manusia (hablu minannaas; horizontal). Dua dimensi inilah yang membuat zakat menjadi salah satu tonggak keislaman selain shalat.

Baca Juga: Surah at-Taubah Ayat 60: Delapan Golongan yang Berhak Menerima Zakat

Zakat sering disebut sebagai ibadah kesungguhan dalam harta (maliyah ijtihadiyah). Posisi penting zakat dalam Islam dapat dilihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an yang menyandingkan perintah zakat dengan perintah shalat. Uslubul qur’an semacam ini memberi makna bahwa zakat adalah ibadah yang memiliki peran penting serupa dengan shalat.

Sama seperti tujuan ibadah lain, tujuan zakat juga terdiri dari berbagai aspek sebagaimana dituturkan Harun Nasution dalam bukunya, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, yaitu: Sarana memperkuat keyakinan dan pengabdian kepada Allah; membangun karakter dan kedisiplinan diri sebagai hamba Tuhan di muka bumi; mempererat persaudaraan dan rasa kasih sayang; dan latihan moral.

Tujuan zakat secara spesifik disebutkan oleh Allah swt dalam surah at-Taubah (9) ayat 103 yang berbunyi:

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ١٠٣

Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah (9) ayat 103).

Menurut Quraish Shihab, surah at-Taubah (9) ayat 103 berbicara mengenai sekelompok orang yang imannya masih lemah, yang mencampurbaurkan amal baik dan buruk dalam kesehariannya. Mereka ini diharapkan dapat mendapatkan hidayah dan ampunan Allah swt – salah satunya – melalui sedekah dan membayar zakat guna membantu kesulitan sesama muslim.

Karena alasan itulah, dalam surah at-Taubah (9) ayat 103 nabi Muhammad saw diperintahkan mengambil shadaqat, yakni sebagian harta mereka sebagai zakat dan sedekah. Jika zakat tersebut diserahkan dengan penuh ketulusan dan kesungguhan, maka itu akan membersihkan harta dan jiwa mereka serta mengembangkan keduanya (Tafsir al-Misbah [5]: 706).

Selain itu, pada ayat ini nabi Muhammad saw juga diperintahkan mendoakan mereka yang berzakat, berdoalah untuk mereka, guna menunjukkan restu kepada mereka dan memohonkan keselamatan serta kesejahteraan bagi mereka. Doa tersebut akan membuat jiwa mereka yang selama ini takut dan gelisah akibat dosa menjadi tenteram.

Al-Sa’adi menuturkan dalam Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, surah at-Taubah (9) ayat 103 berisi tentang perintah dan tujuan zakat. Setidaknya ada tiga tujuan zakat yang tercantum pada ayat ini, yaitu: membersihkan mereka dari dosa-dosa dan akhlak tercela; dan menumbuhkan atau menambahkan akhlak yang terpuji pada diri mereka; serta membuat harta mereka berkembang.

Atas dasar ayat inilah al-Sa’adi berpendapat bahwa sunah hukumnya mendoakan orang yang memberi sedekah atau zakat sebagaimana yang dilakukan nabi Muhammad saw, baik doa yang bersifat umum maupun khusus seperti minta diampuni dosa. Doa tersebut diharapkan mampu menenteramkan dan membahagiakan hati mereka.

Hal serupa disampaikan oleh Imam Syaukani dalam Fath al-Qadir. Pada akhir surah at-Taubah (9) ayat 103 Allah sekan berfirman, “Doakanlah mereka setelah engkau (Muhammad) menerima sedekah dari harta mereka. Doamu itu bertujuan agar mereka merasa tenteram pasca dilanda keresahan akibat perbuatan dosa. Yakinlah, Aku Maha Mendengar, Maha Mengetahui semuanya.”

Karena ayat inilah, Imam Syafi’i – sebagaimana dikutip Syekh Nawawi al-Bantani dalam Marah Labid – menganjurkan penerima zakat untuk berdoa ketika menerima zakat dengan doa sebagai berikut:

آجرك الله فيما أعطيت وجعله لك طهورا وبارك لك فيما أبقيت

Ajarakallahu fi ma a’thaita, wa ja’alahu laka thahura, wa baraka laka fi ma abqaita.

Artinya: “Semoga Allah memberimu ganjaran atas pemberianmu, dan menjadikannya sarana penyucian bagimu, serta memberimu keberkahan dalam harta yang masih ada padamu.

Zakat sendiri terbagi kepada beberapa jenis, di antaranya: Pertama, zakat fitrah yakni zakat yang wajib dibayarkan umat muslim ketika bulan Ramadan atau hari raya Idulfitri, Kedua, zakat harta yakni harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Memberikan Zakat Kepada Orang Tua dan Kerabat Dekat

Ketiga, zakat perdagangan atau tijarah yakni zakat yang berkaitan dengan komoditas perdagangan. Zakat ini memiliki ketentuan yakni diambil dari modal, dan dihitung dari total penjualan barang sebesar 2,5 persen. Selain itu, ada pula ijtihad kontemporer mengenai jenis zakat seperti zakat profesi, zakat saham dan zakat perusahaan dengan analogi pada zakat perdagangan.

Di samping tujuan zakat yang telah disebutkan di atas, zakat sangat bermanfaat bagi perkembangan ekonomi masyarakat, khususnya dalam mengatasi kemiskinan. Melalui zakat akan terbentuk stabilitas ekonomi dan hubungan harmonis antara setiap elemen masyarakat. Bisa dikatakan bahwa zakat mendekatkan seseorang dengan Tuhan dan kemanusiaan. Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...