Surah Muhammad [47] Ayat 22-23: Ajaran tentang Menjaga Silaturahmi

Menjaga Silaturahmi
Menjaga Silaturahmi

Agama Islam – sebagai agama sempurna bagi pemeluknya – tidak hanya mengajarkan tentang dimensi spiritual-ritual, melainkan juga dimensi sosial-kemanusiaan-kealaman. Di antara ajaran tersebut adalah menjaga silaturahmi, menyantuni fakir, miskin, dan anak yatim, melestarikan alam, merawat kerukunan dan persaudaraan masyarakat.

Menjaga silaturahmi adalah salah satu pokok ajaran Islam berkenaan sosial-kemasyarakatan. Sebab, kualitas dan kuantitas silaturahmi – kemungkinan besar – menentukan persentase keharmonisan dan keharmonian masyarakat. Bisa dikatakan bahwa tanpa adanya silaturahmi, masyarakat akan tercerai-berai karena tidak adanya interaksi dan rasa persaudaraan.

Berdasarkan urgensi silaturahmi, maka tak heran Islam menekankan pentingnya menjaga silaturahmi. Bahkan Rasulullah saw – sang utusan Allah swt di muka bumi – dalam banyak kesempatan sering menyampaikan anjuran menjaga silaturahmi dan larangan memutusnya sebagaimana yang tertuang dalam sabdanya, “Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahmi.” (Muttaqafun alaih).

Baca Selengkapnya: Surah Al-Baqarah [2] Ayat 185: Anjuran Bertakbir di Hari Raya dan Bacaannya

Larangan memutus silaturahmi ini juga disebutkan dalam surah Muhammad [47] ayat 22-23 yang berbunyi:

فَهَلْ عَسَيْتُمْ اِنْ تَوَلَّيْتُمْ اَنْ تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ وَتُقَطِّعُوْٓا اَرْحَامَكُمْ ٢٢ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ لَعَنَهُمُ اللّٰهُ فَاَصَمَّهُمْ وَاَعْمٰٓى اَبْصَارَهُمْ ٢٣

Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya.” (QS. Muhammad [47]: ayat 22-23).

Secara umum, surah Muhammad [47] ayat 22-23 – sebagaimana disebutkan Ibnu ‘Asyur – berisi tentang kecaman terhadap kaum munafik yang enggan berperang di jalan Allah swt. Ayat ini seakan berkata, “Kemungkinan besar – jika kamu berpaling dari tuntunan Al-Qur’an – kamu akan melakukan perusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahmi. Kamu enggan berperang hanya demi menjaga keselamatan kamu sendiri.”

Menurut Quraish Shihab, surah Muhammad [47] ayat 22-23 adalah sebuah kecaman kepada mereka yang melakukan kerusakan di muka bumi seperti merusak hutan, dan mereka yang memutuskan silaturahmi. Oleh karena itu, seorang mukmin sejati harus menghindari sebisa mungkin kedua perbuatan atau sikap tersebut yang juga merupakan ciri-ciri orang munafik.

Al-Sa’adi menuturkan (hlm. 788), pada surah Muhammad [47] ayat 22-23 Allah swt menyebutkan keadaan orang-orang yang berpaling dari-Nya, bahwa mereka tidak menuju kebaikan, melainkan keburukan. Mereka ini biasanya melakukan kerusakan di muka dumi dan memutuskan silaturahmi. Atas perbuatan tersebut, mereka pantas mendapatkan laknat dari Allah, yakni jauh dari rahmat-Nya dan dekat dengan murka-Nya.

Syekh Nawawi al-Bantani menyampaikan hal senada. Menurutnya, kedua ayat ini merupakan kritik Allah swt kepada kaum munafik yang enggan berjihad dengan alasan itu dapat memutuskan silaturahmi antara mereka. Padahal sesungguhnya ini dilakukan demi kebaikan bersama, tidaklah sama dengan berbuat kerusakan di muka bumi dan tidak pula memutuskan silaturahmi.

Di sisi lain – menurut al-Bantani dalam Marah Labid – bila ayat ini dibaca dengan qiraat «وليتم» (bina al-majhul), maka maknanya adalah jika kalian (orang-orang munafik) menjadi pemimpin atau pemuka-pemuka, maka kalianlah yang akan berlaku zalim dengan berbuat kerusakan di muka bumi seperti pajak korupsi dan memutuskan silaturahmi antar keluarga serta sesama manusia.

Al-Qurthubi mengemukakan bahwa rahim yang dimaksud pada surah Muhammad [47] ayat 22-23 ada dua macam, yaitu: pertama, rahim bermakna khusus, yakni hubungan kekeluargaan yang berpangkal pada dimensi biologis atau keturunan. Kedua, rahim bermakna umum, yakni hubungan yang terjalin atas dasar persamaan agama. Kedua bentuk silaturahmi ini sama-sama tidak boleh diputuskan.

Sementara sebagian ulama berpandangan, silaturahmi tidak terbatas hanya pada hubungan kekeluargaan dan persamaan agama, tetapi juga hubungan sesama manusia, karena semua manusia berasal dari nenek moyang yang sama, yakni nabi Adam as dan Hawa as. Tali silaturahmi antara sesama manusia ini tidak boleh diputuskan dan diganggu gugat selama tidak berakibat buruk (Tafsir al-Misbah [13]: 147).

Di akhir ayat ditegaskan bahwa mereka yakni orang-orang munafik yang berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan silaturahmi akan mendapatkan laknat dari Allah swt, jauh dari rahmat-Nya dan dekat dengan murka-Nya. Tidak hanya itu, Dia juga akan membutakan mata kepala atau mata hati mereka dan menulikan pendengaran mereka sehingga tidak dapat menyadari atau memahami kebenaran.

Meskipun surah Muhammad [47] ayat 22-23 secara spesifik berbicara berkenaan kaum munafik yang enggan berperang pada masa nabi Muhammad saw, namun kandungan nilainya bermakna universal. Artinya, setiap muslim – dari masa nabi saw hingga akhir kiamat nanti – tidak boleh atau dilarang untuk melakukan kerusakan di muka bumi bagaimanapun bentuknya dan dilarang memutuskan silaturahmi.

Baca Selengkapnya: Tafsir Ahkam: Makna Shalat Ied Pada Hari Raya Idul Fitri

Di sisi lain, jika surah Muhammad [47] ayat 22-23 dibaca dalam kaidah ushul fikih “النهي عن شيء الامر بالضده” atau larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan yang sebaliknya, maka makna larangan memutus silaturahmi pada ayat ini bermakna perintah menjaga silaturahmi. Artinya, umat Islam diperintahkan untuk menjaga bumi dan silaturahmi antara sesama manusia tanpa memandang latar belakang.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa melalui dua ayat tersebut Allah swt ingin mengkritik kaum munafik yang hanya mengutamakan kepentingan mereka sendiri. Di sisi lain, Dia juga secara eksplisit menuntun manusia untuk menjaga alam sekitar, tidak berbuat kerusakan di muka bumi, dan menjaga silaturahmi, baik terhadap sesama muslim maupun sesama manusia. Wallahu a’lam.