BerandaTafsir TematikTafsir Surah Yunus Ayat 12: Bersabar Saat Bahaya dan Bersyukur Kala Bahagia

Tafsir Surah Yunus Ayat 12: Bersabar Saat Bahaya dan Bersyukur Kala Bahagia

Di dalam bukunya yang bertajuk Terapi Matsnawi, Dr. Nevzat Tarhan mengatakan “Allah telah berhenti berbicara melalui wahyu-Nya, tetapi sekarang Dia berbicara melalui peristiwa”. Peristiwa adalah wadah yang menampung hikmah-hikmah ilahi. Islam meyakini segala yang terjadi di persada bumi adalah realisasi semua rencana-Nya di zaman azali. Karena itu peristiwa adalah suratan Allah kepada penduduk bumi. Seberapa besar perhatian seseorang menilik hikmah-hikmah itu, sebesar itu pula pesan ilahi yang akan didapatkan.

Silih berganti, tamu dadakan yang bernama musibah terus menghampiri penduduk bumi, tua-muda, berdosa tidak berdosa, jadi santapan lezatnya yang memilukan. Manusia telah memperlihatkan sifat manusiawinya, yaitu berkeluh kesah dengan sepenuh hati kepada Allah yang menjadi harapan satu-satunya meyingkap tumpukan musibah ini.

Akankah kala nanti Allah telah berkenan mengijabah sederet doa di tengah musibah pandemi ini, kita akan berterima kasih dan akan selalu mengigat-Nya? Ataukah sebaliknya, kembali menceburkan diri ke dalam sumur maksiat?

Baca Juga: Sedang Dirundung Musibah? Bersabarlah! Ini 4 Keutamaan Sabar Menurut Al-Quran

Surah Yunus Ayat 12: pengingat di kala susah dan senang

Dalam hal ini Allah melalui Firman-Nya dalam Al-Quran, surah Yunus ayat 12, mengingatkan,

 وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنْبِهِ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَائِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَنْ لَمْ يَدْعُنَا إِلَى ضُرٍّ مَسَّهُ كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas apa yang mereka kerjakan”.

Salah satu objek kajian mufassirin saat menafsirkan surah Yunus ayat 12 ini adalah menjelaskan siapa yang dimaksud oleh frasa al-Insan. Dan terlihat, sejak dahulu hingga kini kalangan mufassirin belum menemukan kata sepakat soal itu. Namun secara umum pendapat mereka hanya berkisar pada tiga kemungkinan.

Pertama, yang dimaksud al-insan adalah orang kafir. Kedua, al-insan tertuju kepada salah seorang musyrik Makkah. Dan ketiga, mencakup seluruh manusia tanpa terkecuali. (Al-Bahr al-Muhith [5], 133)

Di antara argumen pendapat yang pertama, yaitu melihat redaksi lafad al-insan yang dibubuhkan alif-lam di depannya. Alif-lam tersebut berfungsi sebagai li’ahdi al-dzikri (menjelaskan kalimat yang telah disebutkan sebelumnya), dan dalam hal ini adalah orang kafir yang disinggung oleh ayat sebelumnya. (Mafatih al-Gaib [9], 44)

Berbeda dengan pendapat kedua, selain kebenarannya masih relatif, satu orang itupun masih mereka selisihkan. Imam Abu Hayyan menyebut empat pendapat sekaligus mengenai orang yang dimaksud oleh mereka dalam al-insan. Berbeda dengan Tohir Ibn Asyur yang hanya menyebut satu pendapat yang diprakarsai oleh Ibn Abbas. Menurut Ibn Abbas, yang dimaksud al-insan dalam ayat itu adalah Abu Hudzaifah Ibn Mughirah al-Makhzumi, seorang musyrik Makkah yang kebetulan sakit saat itu. (At-Tahrir Wa at-Tanwir [5] 110)

Untuk pendapat ketiga sepertinya melihat realita bahwa tidak diragukan lagi apa yang al-Quran gambarkan itu menyentuh semua kalangan, baik itu muslim maupun non muslim. Selain juga secara kaidah bahasa cukup mendukung bahwa setiap kata tunggal yang terbubuhi alif-lam berubah menjadi umum. (Ghayah Al-Wushul, 178)    

Baca Juga: Inilah 3 Kiat-Kiat Agar Kita Selalu Bersyukur dalam Menjalani Kehidupan

Seakan tidak mau terlibat dalam pemakanaan frasa al-insan yang beragam, Al-Imam Abu Fadl Al-Alusi didalam karya besarnya menjelaskan secara umum makna surah Yunus ayat 12 ini secara global dengan mengatakan, “Ayat ini mengandung celaan kepada setiap orang yang enggan berdoa saat bahagia dan baru berdoa saat mengalami masalah dan bahaya. Idealnya setiap manusia mesti selalu merendah diri kepada Allah baik di kala bahagia ataupun saat bahaya. Imam Al-Alusi kemudian mengutip hadis Nabi “kenali Allah sewaktu bahagia, niscaya Dia akan mengenalmu dikala bahaya.” (Ruh al-Ma’ani [4] 71)

Pada umumnya manusia memang jarang bersabar di kala tertimpa musibah, pun jarang bersyukur saat memproleh nikmat. Saat musibah menimpa, umumnya manusia akan segera berdoa, tidak peduli itu ketika berbaring, duduk ataupun berdiri. Seraya memohon dengan penuh harapan agar kiranya Allah segera menghilangkan masalah atau musibah yang sedang melilitnya.

Namun tatkala doanya telah Allah penuhi dengan mengganti susah menjadi senang, derita diubah bahagia, bukannya bersyukur, dia malah menyombongkan diri seakan-akan sebelum itu tidak ada musibah apapun yang menimpa dirinya. Dia lupa atau bahkan pura-pura lupa bahwa baru saja Allah mengijabah permintaannya. Semua itu menunjukkan betapa lemahnya tabiat manusia serta kuatnya pengaruh lalai dan syahwat yang dimiliki setiap manusia.

Melalui ayat ini Allah mengigatkan manusia bahwa jalan seperti ini tercela dan tidak pantas dilalui. Manusia sudah semestinya sadar bahwa yang ideal adalah bersabar kala bahaya dan bersyukur saat bahagia, agar dia menjadi seperti yang Nabi sabdakan “orang yang banyak berdoa di kala bahagia, doanya akan dikabulkan di waktu bahaya”.

Baca Juga: Ketika Ditimpa Musibah, Terus Ngapain? Ini Seharusnya Sikap Seorang Muslim

Tips menghadapi musibah

Selain itu, Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab tafsirnya memberi tips menghadapi musibah. Tiga hal yang hendaknya diperhatikan dan senantiasa diingat oleh setiap mukmin yang sedang tertimpa musibah. Pertama, hendaknya hati selalu merasa ridha dan menerima semua ketetapan Allah, tanpa perlu menentang, baik dengan hati apalagi dengan lidah. Bukankah semua makhluk adalah milik-Nya termasuk manusia sendiri. Karena itu bukankah menjadi sangat pantas, Dia melakukan dan menetapkan apa saja yang dikehendaki-Nya? 

Kedua, sebaiknya seorang mukmin mengganti doa dengan dzikir (mengingat) Allah di kala tertimpa musibah. Mengapa demikian? Karena berdoa adalah meminta sesuatu yang diinginkan yang konotasinya tidak murni karena ingin mendekat. Sementara dzikir murni ingin mendekat dan menjalin hubungan khusus dengan-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman “ Barang siapa yang lebih sibuk mengigat-Ku dari pada meminta, maka akan Ku beri dia lebih dari yang Aku beri kepada mereka yang meminta (berdoa)”. Ketiga, sudah sepatutnya tatkala Allah mengijabah, benar-benar bersyukur dengan penuh kesadaran dan pengahayatan. (Mafatih al-Ghaib [9] 43-44)

Ala kulli hal tidak semua tabiat manusia itu baik. Ada baik ada pula yang buruk. Dan al-Quran menganggap tabiat manusia yang cendrung melupakan Allah saat bahagia dan hanya akan mengigat-Nya di kala musibah, adalah bagian dari tabiat buruk yang tercela. Al-Quran melalui ayat ini memberi tahu sekaligus mendorong manusia untuk berusaha mengubah tabiat buruk itu menjadi tabiat yang baik. Waallahu a’lam.

M. Yoeki Hendra
M. Yoeki Hendra
Mahasantri Ma'had 'Aly Situbondo, gemar membaca kitab-kitab turats
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...