BerandaKhazanah Al-QuranSyekh Husin Fallugah dan Museum Manuskrip Kajian Keislaman Terbesar di Kalimantan Barat

Syekh Husin Fallugah dan Museum Manuskrip Kajian Keislaman Terbesar di Kalimantan Barat

Di tengah gempuran arus modernisasi, masih ada seseorang yang tertarik dengan manuskrip dan memahami ilmu serta menyibak rahasia yang terkandung di dalamnya. Sebut saja Syekh Abdurrahman Husin Fallugah, salah satu kolektor manuskrip kajian keislaman terkemuka. Beliau adalah dai keturunan Arab yang berada di Kalimantan Barat. Demi mengungkap makna dan melestarikannya, Syekh Husin Fallugah bahwan rela menempuh perjalanan yang jauh bahkan sampai rela membelinya dengan harga mahal.

Biografi Syekh Abdurrahman Husin Fallugah

Berdasarkan penelitian Faizal Amin dalam jurnalnya “Religion And Harritage: The Islamic Manuscript Of The Quran By Abdurrahman Husin Fallugah (W.2010)”, Syekh Abdurrahman Husin Fallugah lahir pada 5 Februari 1966 M / 14 Syawal 1385 H. Beliau, merupakan keturunan Arab dari wilayah Hadramaut, Yaman. Ayahnya bernama Husin bin Salim bin Ahmad, sementara ibunya bernama Jamilah binti Ahmad bin Ali Saewad.

Syekh Husin Fallugah memiliki 5 saudara, satu diantaranya meninggal saat peristiwa invasi di Yaman. Kemudian ia menikah dengan Anita Ahmad Ali Attamimy dan dikaruniai lima anak yang bernama: Sirkafi, Fizraivi, Devwirvi, Laza Delvi dan Zad Syarafi. Abdurrahman Husin Fallugah meninggal di usia 46 tahun pada 2010 lalu, dia dikebumikan di Kampung Arab, tepatnya di area Pesantren Mambausshafa yang dia bangun (Religion and harritage, Amin, 2014: 252-253).

Ayah Syekh Husin Fallugah meninggal saat usianya masih 9 tahun, berdasarkan dari wasiat sang ayah, Husin Fallugah kecil melanjutkan pendidikannya ke Jawa Timur untuk belajar di pondok pesantren Yayasan Pesantren Islam (YAPI) di Bangil, Pasuruan. Setelah 6 tahun menimba ilmu disana, Syekh Husin Fallugah mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Syiria pada tahun 1983. Namun, keberangkatannya terhambat akibat adanya kerusuhan di perbatasan negara. Hingga akhirnya, Syekh Husin Fallugah memutuskan untuk kembali ke Pontianak dan belajar kepada berbagai guru seperti Habib Ibnu Saalih al-Haddad, Syekh Abdurrani Mahmud Al-Yamani, dan Ustadz Thoyyib Saman. Pendidikan dan kedekatannya dengan ulama besar di Kalimantan Barat menjadikan keilmuan Husin Fallugah berkembang dengan pesat. Dia juga berkesempatan untuk belajar kepada Syekh Ramadhan. Dari koneksi tersebut, mereka kemudian membangun pondok pesantren Khulafaurrasyidin.

Baca juga: Iluminasi Terengganu dalam Mushaf Kuno Indonesia

Sejak kecil, Syekh Abdurrahman Husin Fallugah sudah menaruh perhatian dan kecintaan pada naskah klasik. Berdasarkan penuturan istrinya (2012), dia sudah menghabiskan banyak uang untuk mendapatkan manuskrip klasik yang menarik. Abdurrahman Husin Fallugah juga menelusuri wilayah Aceh, Lombok, Sumatra dan Jawa untuk berburu manuskrip klasik. Melalui cara yang sama, dia juga menelusuri setiap kabupaten di Kalimantan Barat, seperti Kabupaten Kapuas Hulu, Sambas, Sanggau, Ketapang, Kubu Raya, dan Mempawah (Potensi Naskah Kuno di Kalimantan Barat, Amin, 2012: 59).

Dengan privilese sosok dai karismatik, Husin Fallugah juga memiliki kedekatan sosial dengan masyarakat.  Sebab itu, beliau mendapat kepercayaan dari komunitas dan para jemaah majelis taklim untuk mengumpulkan dan merawat naskah klasik dari para jemaah, yang secara sukarela mereka berikan sebagai hadiah kepada Syekh Abdurrahman Husin Fallugah. Hal ini didasari juga pada kebiasaan generasi muda yang sudah tidak mampu membaca tulisan Arab dan huruf Jawi dalam naskah kuno. Mereka juga percaya bahwa jika manuskrip itu tidak dijaga dan masyarakat telantarkan, maka akan membawa nasib buruk, bencana dan ketidakberuntungan bagi mereka sendiri. Inilah alasan mengapa Syekh Abdurrahman Husin Fallugah memiliki koleksi manuskrip yang besar di kediamannya.

Museum Manuskrip Kajian Keislaman Terbesar di Kalimantan Barat

Bagian ini merupakan hasil kunjungan penulis ketika mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir IAIN Pontianak melakukan kunjungan mata kuliah Filologi. Kunjungan ini dipandu oleh Fitrah Aulia Rahman (keponakan dari Syekh Abdurrahman Husin Fallugah), selaku pengurus koleksi manuskrip pribadi ini.

Rumah yang ditinggali oleh keluarga Syekh Fallugah menyimpan 203 naskah manuskrip berupa kitab dan kajian keislaman dengan bahasa yang beragam seperti bahasa Arab, Melayu, Bugis, Jawa dan Sunda dengan aksara Arab, huruf Jawi, Pegon dan Lontara’. Sementara itu, terdapat naskah mushaf kuno yang berjumlah 21 buah, dengan usia paling tua 344 tahun (1067 H /1656 M), dan yang terbaru berkisar pada usia 193 tahun (11243 H/ 1827 M). Dengan jumlah dan keunikan berbagai manuskrip tersebut, museum pribadi ini menjadi daya tarik bagi berbagai ahli filologi baik Nasional maupun Internasional, seperti dari negara Jerman, Inggris, dan Belanda.

Baca juga: Jejak Manuskrip Qiraat Al-Quran di Kalimantan Selatan

Secara fisik, kondisi manuskrip-manuskrip di tempat ini terbilang masih terawat dan dikondisikan dengan baik. Akan tetapi, wawasan literatur dan perhatian masyarakat maupun lembaga terkait kondisi manuskrip sangat memprihatinkan. Penulis berpendapat, bahwa status manuskrip-manuskrip yang berada disini akan lebih baik jika tetap dijaga oleh pihak keluarga dan para ahli yang memahami betul bagaimana preservasi naskah dan proses mengkaji manuskrip. Sebab, apablia sudah berpindah tanggung jawab kepada lembaga atau instansi, belum tentu naskah-naskah ini akan dijaga dengan baik, kecuali jika pihak lembaga juga mengetahui secara utuh ilmu pernaskahan. Terlebih, akses untuk manuskrip sebanyak ini akan sulit ditempuh bila tanggung jawab sudah berpindah dan masuk dalam inventaris instansi atau lembaga tersebut.

Sebagai bentuk kepedulian dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, tentunya kita berharap bahwa masyarakat Indonesia dapat menghormati warisan para leluhur yang mengandung nilai historis dan budaya tersendiri dalam peninggalannya. Keberadaan naskah kuno atau manuskrip di luar negeri sangat dihargai karena nilai estetika dan material yang langka, lalu bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Adapun mempelajari bahasa Arab dan huruf-huruf Jawi kiranya penting bagi kita untuk melestarikan ilmu ini agar dapat merasakan ruh tulisan dari para leluhur masa lampau dan agar kelak ilmu ini tidak mengalami kepunahan.

Wallahu ‘alam bisshawab.

Diaz Ataya Larsen Wijaya
Diaz Ataya Larsen Wijaya
Mahasiswa Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir IAIN Pontianak
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Alasan Kiai Misbah Musthofa Tolak MTQ

Menghidupkan Islam dengan Irama: Potret Seni Tilawatil Qur’an di Indonesia

0
Seni Qiraat Alquran dan tilawatil Qur’an telah tersebar di berbagai penjuru dunia dan masih berkembang hingga saat ini. Adanya perkembangan seni Alquran menjadikan setiap...