BerandaTafsir TematikTafsir Ahkam: Dalil Larangan Riba dan Ancamannya

Tafsir Ahkam: Dalil Larangan Riba dan Ancamannya

Riba merupakan satu praktik transaksi yang diharamkan oleh Islam. Secara linguistik, riba berasal dari Bahasa Arab yang berarti tumbuh berkembang atau berbunga. Terminologi riba seringkali digunakan dalam proses muamalah yang memunculkan bertambahnya keuntungan yang sangat berlebihan dan tidak wajar. Praktik ini dilarang keras oleh Al-Quran karena tatanan ekonomi dan kemaslahatan bersama, terutama fakir dan miskin. Ayat-ayat yang berkaitan dengan riba ini cukup banyak disebutkan dalam Al-Quran seperti dalam surah Ali Imran ayat 130, Ar-Rum ayat 39, dan An-Nisa 161. Dengan lebih rinci dan tegas, Al-Quran juga menguraikan ancaman-ancaman bagi berbagai jenis transaksi riba dan orang-orang yang bersangkutan menjalankannya. Berikut ini tulisan tentang Larangan riba dan ancamannya dalam Al-Quran.

Tafsir ayat-ayat larangan praktik riba

Haramnya transaksi dan praktik riba terdapat dalam ayat pada surah-surah Makkiyyah. Salah satu ayat Makkiyyah ayat Makkiyyah yang bisa dirujuk mengenai hal tersebut adalah surah Ali Imran ayat 130:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوا۟ ٱلرِّبَوٰٓا۟ أَضْعَٰفًا مُّضَٰعَفَةً ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Baca juga: Tafsir Ahkam: Jual Beli dengan Label Harga, Sah kah?

Ayat ini memiliki korelasi dengan ayat-ayat tentang perang Uhud. Sabab nuzul ayat ini dilatarbelakangi oleh umat Islam yang mengetahui bahwa dalam pembiayaan perang Uhud, kaum musyrikin memungutnya dari hasil-hasil riba. Sempat terlintas dalam benak kaum muslimin menggunakan cara tersebut, namun kemudian ayat ini turun untuk mengingatkan kaum muslimin agar jangan melangkah dengan cara tersebut.

Mengutip Al-Biqa’i, Quraish Shihab mengungkapkan bahwa sebab utama dari kekalahan yang terjadi dalam perang Uhud adalah langkah para pemanah yang meninggalkan posisi atas bukit, untuk turun mengambil harta rampasan perang, padahal sebelumnya Rasulullah telah melarang mereka. Harta yang mereka ambil itu serupa dengan riba yang sudah marak dilakukan masyarakat Jahiliyah sebagaimana harta tersebut diperoleh dari hasil yang juga riba.

Ayat lain tentang pelarangan riba juga bida kita temukan dalam surah An-Nisa ayat 161 dan Ar-Rum ayat 39. Khusus mengenai surah Ar-Rum ayat 39, sebagian mufassir seperti Al-Qurtubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al’Adhim, dan juga Sayyid Qutub dalam Tafsir fi Zilal al-Qur’an berpendapat bahwa yang dimaksud dalam surah tersebut merupakan riba yang halal, karena dimaknai sebagai hadiah. Namun, mufassir dan juga ahli hukum seperti Ibn Asyur dalam Al-Tahrir wa al-Tanwir memaknainya dari segi hukum yakni haram. Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan memahaminya sebagai hadiah, namun dengan catatan jika ayat ini turun sebelum hijrah, dan riba yang haram apabila ia turun setelah hijrah.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengqadha Puasa Sunnah

Dalam menguraikan persoalan riba, menurut Quraish Shihab, Al-Quran memang menurunkan ihwal hukumnya secara bertahap mirip dengan tahapan pengharaman khamar. Tahap pertama hanya mengisarkan adanya unsure negatif, yaitu penjelasan surah Ar-Rum ayat 39 dengan kalimat “tidak bertambah di sisi Allah”. Kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya, yaitu pada surah An Nisa’ ayat 161. Selanjutnya secara tegas dinyatakan keharaman salah satu bentuk praktiknya dalam surah Ali Imran ayat 130. Dan sebagai penutup ayat riba, diturunkanlah rangkaian surah Al-Baqarah ayat 275-279 yang mengharamkannya secara total, dalam berbagai bentuk, hingga kecaman para pelakunya.

Ancaman para pelaku riba: tafsir surah Al-Baqarah 275-279

Rangkaian surah Al-Baqarah ayat 275-279 merupakan larangan tegas Al-Quran terhadap berbagai jenis praktik riba, lebih khususnya ditujukan juga bagi para pelakunya. Adapun bunyi ayatnya adalah sebagai berikut:

ٱلَّذِينَ يَأْكُلُونَ ٱلرِّبَوٰا۟ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِى يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيْطَٰنُ مِنَ ٱلْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْبَيْعُ مِثْلُ ٱلرِّبَوٰا۟ ۗ وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلْبَيْعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰا۟ ۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ . يَمْحَقُ ٱللَّهُ ٱلرِّبَوٰا۟ وَيُرْبِى ٱلصَّدَقَٰتِ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ . إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُا۟ ٱلزَّكَوٰةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ . يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ . فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟ فَأْذَنُوا۟ بِحَرْبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ .

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”

Baca juga: Semangat Filantropi dalam Al-Quran dan Keadilan Ekonomi

Ketika membahas penafsiran rangkaian ayat-ayat tersebut, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari pembahasan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan masalah infak (nafaqah) dan sedekah dengan berbagai aspeknya. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa pada ayat-ayat sebelumnya menjelaskan dalam anjuran bernafkah tersirat anjuran bekerja dan meraih apa saja yang akan dinafkahkan. Karena bagaimana mungkin dapat memberi kalau tidak ada yang dimiliki. Untuk itu, rangkaian surah Al-Baqarah 275-278 ini memberikan peringatan mengenai cara-cara yang keliru dalam proses pencarian harta tersebut, yang berlawanan dengan sedekah. Ayat-ayat tersebut secara tegas mencela para pelaku riba dengan berbagai jenisnya.

Menurut riwayat Umar bin Khattab, hingga akhir wafatnya pun Rasulullah juga masih belum secara tuntas menafsirkan masalah riba ini. Namun yang pasti, dalam berbagai jenisnya riba diharamkan, baik itu riba nasi’ah sebagaimana yang populer dilakukan masyarakat Jahiliyah yang disebutkan dalam ayat di atas, yaitu dengan melipatgandakan hutang, maupun riba fadhl, yakni menukar barang dengan barang yang sama namun dengan kadar yang berbeda.

Secara historisitas turunnya ayat, persoalan riba telah dijelaskan Al-Quran pada ayat-ayat kategori Makkiyyah sebagaimana disebutkan di awal. Rangkaian surah Al-Baqarah ayat 275-279 tersebut menurut Quraish Shihab merupakan penutup ayat-ayat hukum mengenai riba, bahkan rangkaian ayat tersebut dinilai sebagai ayat-ayat ahkam terakhir yang diterima Rasulullah. Sebagai ayat-ayat penutup tidak heran apabila rangkaian ayat tersebut tidak hanya mengharamkan praktek riba, tetapi juga mengancam orang-orang yang terlibat dalam praktik tersebut.

Wallahu a’lam.

Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Peminat Literatur Islam Klasik dan Kontemporer
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...