Dalam ajaran Islam, telah diatur secara konkret mengenai makanan dan minuman apa saja yang boleh dikonsumsi atau sering disebut makanan yang halal. Selain itu, Islam juga mengatur tentang makanan yang haram, yakni dilarang untuk dikonsumsi. Pada situasi normal, hukum keduanya mutlak dan tidak berubah. Artinya, seorang muslim hanya boleh memakan makanan yang halal dan dilarang memakan makanan yang haram.
Kendati demikian, dalam situasi darurat seorang muslim diperbolehkan mengonsumsi makanan yang haram guna menyelamatkan nyawa. Dalam diskurus fikih situasi ini termasuk dalam kaidah “ad-darurat tubihu al-mahzhurat” yang berarti “dalam kondisi darurat, hal-hal yang terlarang dibolehkan.” Dengan kata lain, situasi tersebut bersifat temporal dan terikat dengan kedaruratan (Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah).
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Adanya Keluarga Sepersusuan (Radha’) dan Konsekuensi Hukum Atasnya
Kebolehan mengonsumsi makanan yang haram dalam konteks darurat ini telah disebutkan setidaknya sebanyak tiga kali oleh Al-Qur’an, yakni surah al-Baqarah [2] ayat 173, surah al-An’am [6] ayat 119 dan surah al-Maidah [5] ayat 3. Ketiga ayat ini secara tegas menyatakan bahwa dalam situasi darurat hal-hal yang terlarang – seperti memakan bangkai – diperbolehkan. Firman Allah swt:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗ اَلْيَوْمَ يَىِٕسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٣
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. al-Maidah [5] ayat 3).
Pada awal surah al-Maidah [5] ayat 3 di atas, pertama-tama Allah swt menjelaskan makanan-makanan yang haram bagi muslim, yakni bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih dengan selain nama Allah, binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas tanpa sempat disembelih. Selain itu, diharamkan juga untuk mengundi nasib karena itu merupakan kefasikan.
Menurut Quraish Shihab, surah al-Maidah [5] ayat 3 turun ketika nabi Muhammad saw melakukan haji Wada’ pada tanggal 9 Dzul Hijjah tahun kesepuluh Hijriah. Ayat ini turun sebagai pernyataan dari Allah swt kepada Muhammad bahwa agama Islam telah sempurna ajarannya – mulai dari prinsip ketuhanan hingga prinsip halal haram – dan Dia telah meridai Islam sebagai agama bagi Muhammad serta pengikutnya.
Kemudian, pada bagian akhir ayat disebutkan bahwa barang siapa yang terpaksa atau terdesak untuk memakan – tidak berlebihan dan tidak lebih dari keperluannya – salah satu dari makanan-makanan haram yang disebutkan sebelumnya, maka sesungguhnya Allah akan memaafkan perbuatan tersebut (diperbolehkan) karena ia berlaku demikian atas paksaan situasi (Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan: 219).
Dari penjelasan tersebut, kita memahami bahwa pada situasi mendesak seseorang mendapatkan kemudahan atau rukhsah. Namun pertanyaannya, apakah yang dimaksud dari situasi darurat dan bagaimana kriterianya? Menurut para ulama darurat adalah situasi mendesak – baik karena lapar yang bersangatan maupun paksaan orang lain – yang mengharuskan seseorang untuk memakan sesuatu untuk melestarikan hidup (al-Wajiz fi Idhahi Qawa’id al-Fiqh al-Kuliyyah).
Suatu situasi dapat dikatakan darurat jika memiliki beberapa syarat berikut: dapat dipastikan atau diprediksi kuat kedaruratannya; tidak ada pilihan lain sebagai opsi alternatif; kondisi tersebut memaksa seseorang untuk melakukan keharaman dan jika tidak dilakukan dikhawatirkan ia akan kehilangan nyawa atau anggota badan; keharaman yang ia lakukan tidak mezalimi orang lain; serta tidak dilakukan melewati batas atau cukup sekedar untuk menghilangkan kemudaratan.
Sebagai contoh untuk memudahkan, ketika seorang musafir dalam perjalanan dan ia sangat kelaparan karena tidak memiliki cadangan logistik. Pada saat bersamaan, ia tidak menemukan apa pun yang bisa dimakan kecuali bangkai sapi. Jika ia tidak memakannya, maka ia akan sekarat atau bahkan meninggal dunia. Pada kasus ini, ia diperbolehkan untuk memakan bangkai tersebut seperlunya, tidak berlebih-lebihan.
Menurut al-Syaukani, kebolehan memakan makanan yang haram dalam situasi darurat ini haruslah dibarengi kesadaran untuk tidak berlebih-lebihan atau condong menyukai hal tersebut (‘adami al-mayli bi akli ma harrama alaih). Dengan itu, ia tidak akan mendapatkan dosa karena Allah swt Maha Mengetahui kondisi hamba-Nya dan Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Fath al-Qadir).
Berkenaan dengan surah al-Maidah [5] ayat 3 Thahir Ibnu ‘Asyur, penganut mazhab Malik, berkata, “penggandengan kata babi dengan daging secara implisit mengisyaratkan bahwa yang haram adalah memakannya, sedangkan menggunakan anggota tubuhnya, maka hukumnya sama dengan hukum binatang-binatang lain yang suci bulunya atau kulitnya bila disamak (al-Tahrir wa al-Tanwir).
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Bagaimana Merespon Bantuan Non-Muslim dalam Proses Pembangunan Masjid?
Pandangan Ibnu‘Asyur ini bersumber dari pendapat Daud az-Zahiri (816-883 M) dan Abu Yusuf (113-182 H) yang didasarkan pada sabda Muhammad saw yang berbunyi:
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
“Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci.” (HR. Muslim, at-Tirmidzi melalui Ibnu Abbas)
Atas dasar inilah – menurut Quraish Shihab – kita dapat mengatakan bahwa penggunaan katup jantung babi sebagai pengganti katup jantung manusia yang sakit dapat dibenarkan, karena tidak untuk dimakan. Bahkan kalaupun najis, namun karena ditempatkan dalam tubuh manusia dan walaupun kenajisannya tidak sepenuhnya sama dengan najis-najis yang ada dalam tubuh manusia, ia tidak berdampak hukum, karena najis yang berdampak hukum adalah kenajisan tubuh luar manusia (Tafsir Al-Misbah [3]: 17).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa diperbolehkan untuk mengonsumsi makanan yang haram atau sejenisnya ketika dalam keadaan terdesak seperti makan bangkai manakala dilanda kelaparan yang dapat menyebabkan kematian dan pada saat yang sama tidak menemukan pilihan lain. Namun, ada catatan yang harus diperhatikan, yakni tidak berlebih-lebihan dan hanya sekedar menutupi rasa lapar agar bisa bertahan hidup. Wallau a’lam.