Pemilihan pasangan, baik suami atau istri, merupakan suatu hal yang penting untuk menjadi bahan pertimbangan. Sebab, kelangsungan rumah tangga sangat bergantung pada keduanya. Alquran telah mengatur cara memilih pasangan tersebut, utamanya dalam hal agama, meski masih tetap banyak perbedaan pendapat tentang menikah dengan non-muslim.
Dalam permasalahan menikah dengan non-muslim, tentu yang menjadi fokusnya adalah keyakinan yang berbeda, cara beribadah yang berbeda pula, ritual dan yang lainnya pun juga berbeda. Lalu, bagaimana Alquran menanggapi hal ini?
Allah berfirman,
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ࣖ
Artinya: “Janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik bagimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah [2]: 221
Baca Juga: Walimatul Urs, Kesunnahan dan Etika Menghadirinya, Pernikahan; Tujuan dan Hukumnya, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 72
Al-Qurtubi dalam tafsirnya menjelaskan tentang sebab turunnya ayat ini. Mengutip dari Muqatil dikatakan bahwa ayat ini diturunkan pada Mirtsad bin Abu Mirtsad, namanya adalah Kanaz bin Husain Al-Ghanawi. Dia diutus oleh Rasulullah secara rahasia untuk membebaskan dua orang sahabatnya. Sementara di Makkah ia mempunyai seorang istri yang ia cintai pada masa jahiliyah. Wanita itu bernama Anaq. Anaq mendatangi Mirtsad dan meminta untuk menikahinya. Mirtsad kemudian meminta izin kepada Nabi, dan Nabi tidak mengizinkannya, sebab Mirtsad adalah laki-laki muslim sedang Anaq adalah perempuan musyrik.
Siapakah musyrik itu?
Dalam Tafsir Rawai’ul Bayan dijelaskan bahwa musyrik adalah al-majusiyyah dan al-watsaniyyah yakni kaum majusi dan para penyembah berhala (kaum pagan). Mereka tidak menganut agama samawi seperti Islam dan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Dengan demikian, apakah boleh menikahi ahli kitab yang notabene-nya non-muslim? Sementara itu, At-Thabari berpendapat tidak sama. Yahudi dan Nashrani termasuk kategori musyrik.
Jumhur ulama memperbolehkan pernikahan untuk laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab. Mereka berpendapat bahwa kata musyrikat dalam ayat tersebut tidak mencakup perempuan ahli kitab. Ini berdasarkan redaksi beberapa ayat lain dalam Alquran yang membedakan antara musyrik dan ahli kitab, seperti dalam surat Al-Baqarah:105 (ma yawaddul ladzina kafaru min ahlil kitabi wa lal musyrikin) dan surat Al-Bayyinah: 8 (lam yakunil ladzina kafaru min ahlil kitabi wal musyrikin). Pada dua ayat ini lafal musyrikin di-athaf-kan menggunakan huruf penghubung wawu, sedangkan athaf berfungsi untuk membedakan.
Kemudian, terdapat riwayat dari Qatadah yang menafsirkan kata musyrik tersebut dengan perempuan musyrik Arab yang memang tidak memiliki kitab. Serta, ada pula riwayat tentang sahabat Hudzaifah yang menikahi perempuan Yahudi. Kedua riwayat ini menguatkan pendapat sebelumnya.
Sedangkan menurut Imam Syafi’i, ahli kitab di sini adalah Bani Israil yang mendapatkan Taurat dan Injil. Adapun mereka yang baru masuk ke agama tersebut, maka tidak dapat digolongkan sebagai ahli kitab.
Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa ahli kitab juga termasuk musyrik. Ini berdasarkan firman Allah surat At-Taubah ayat 30. Pada ayat itu disampaikan bahwa Yahudi ialah orang yang mengatakan ‘Uzair adalah anak Allah’, sedangkan Nasrani adalah orang yang mengatakan ‘Isa al-Masih lah anak Allah’. Oleh sebab itu, Allah menyifati mereka dengan musyrik pada ayat selanjutnya.
Perbedaan pendapat tentang kategorisasi musyrik dan ahli kitab ini membuat Sayyidina Umar tidak mengharamkan menikah dengan non-muslim, akan tetapi ia lebih mengambil sikap ihtiyath (berhati-hati) dengan tidak langsung membolehkan, pun melarangnya.
Baca Juga: Tafsir QS al-Baqarah 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?, Kawan dan Lawan Islam di Masa Silam
Bagaimana dengan pernikahan laki-laki musyrik dengan perempuan muslim?
Mengenai pernikahan antara laki-laki yang musyrik dengan perempuan muslim, ulama sepakat mengenai larangan hal ini. Lantas, mengapa hal ini berbeda dengan kasus pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan musyrik?
Tradisi sebelum dan pada saat Alquran diturunkan, bahkan hingga sekarang, lumrahnya seorang laki-laki bertindak sebagai kepala keluarga. Jika kepala keluarga berstatus musyrik, sangat dimungkinkan ia akan mendidik anggota keluarganya sesuai dengan keyakinannya. Mengenai hal ini, As-Shabuni pernah diprotes oleh salah seorang pelajar non-muslim yang menganggap bahwa hal ini menunjukkan kefanatikan umat Islam. Lalu dibantahnya, “Kami umat Islam beriman pada Nabi dan kitab kalian. Jika kalian juga bersikap demikian pada kami, maka kami akan menikahkan kalian dengan perempuan dari golongan kami. Lalu, dari segi manakah kami dianggap fanatik?” Pelajar itu pun terdiam.
Baca Juga: Apakah Benar Perempuan Diciptakan dari Tulang Rusuk Laki-Laki? Tafsir Surat An-Nisa ayat 1
Pernikahan dan Tujuannya
Pernikahan dalam Alquran disimbolkan dengan ungkapan Mitsaqan Ghalidha (ikatan yang kuat dan berat), ikatan atau perjanjian yang tidak hanya antara dua individu, tetapi dua keluarga; juga ikatan atau perjanjian yang mendatangkan tanggung jawab yang besar di antara keduanya, sebagai suami, istri, anak, menantu dan bahkan ketika menjadi orang tua. Terlebih pula tanggung jawab terhadap agama. Ini berarti pernikahan bukan suatu perjanjian yang remeh yang hanya seputar legalisasi hubungan seksual laki-laki-perempuan dan formalitas tanggungan finansial.
Untuk tujuan pernikahan, disinggung oleh Alquran dalam surat Ar-Rum ayat 21 bahwa menikah, hidup dengan pasangan diharapkan akan menciptakan kehidupan yang sakinah (tentram), di samping juga mawaddah dan rahmah. Sakinah atau tentram yang disebut dalam hasil pernikahan ini meliputi segala hal, misal tentram dalam berkomunikasi, tentram dalam melakukan segala aktifitasnya, termasuk tentram dalam beribadah. Jika dua individu yang serumah, bahkan sekamar itu berbeda keyakinan, berbeda agama, sangat dikawatirkan akan terjadi konflik dan tidak tenang juga tidak tentram dalam kehidupannya, terutama dalam hal beribadah. Oleh karena itu, pikirkan ulang tentang menikah dengan non-muslim.
Wallahu A’lam