BerandaTokoh TafsirTokoh Tafsir IndonesiaTafsir al-Iklil fi Ma'ani al-Tanzil dan Aspek Lokalitasnya

Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil dan Aspek Lokalitasnya

Muhammad Husain al-Zahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun menjelaskan bahwa setiap produk tafsir memiliki corak, pendekatan, dan karakter masing-masing. Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas salah satu kitab tafsir yang sangat menarik untuk dikaji karena ditulis menggunakan beberapa aspek lokalitas yang berhubungan dengan masyarakat Jawa. Tafsir tersebut adalah Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil yang ditulis oleh KH. Mishbah Musthafa.

Sekilas tentang KH. Mishbah Musthafa

Pada Tafsir Pondok Pesantren karya Zazuli Hasan disebutkan bahwa KH. Mishbah bin Zainal Musthafa merupakan seorang kiai di Desa Bangilan yang terletak di Tuban, Jawa Timur. tepatnya di Pondok Pesantren Al-Balagh. Beliau merupakan putra KH. Zainal Musthafa dan Ummu Salamah. Riwayat Pendidikan beliau dimulai pada tahun 1928 saat beliau berhasil menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Rakyat. Kemudian beliau melanjutkan studinya di Pondok Pesantren Kasingan Rembang. Selain itu beliau juga pernah belajar di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang.

Mishbah menikah pada tahun 1948, yakni saat berusia 31 tahun. Beliau menikahi putri KH. Ridhwan yang bernama Masruhah. Setelah menikah, kesibukan KH. Mishbah adalah mengajar di pondok pesantren yang dipimpin oleh mertuanya. Selain itu, beliau juga aktif pada berbagai kegiatan politik serta kegiatan sosial keagamaan. Setelah keluar dari partai politik, beliau mengisi waktunya dengan menerjemahkan kitab para ulama salaf dan menulis kitab yang berkaitan dengan Quran dan hadis menggunakan bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Salah satu karya beliau adalah Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil.

Profil Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil

Penulisan kitab Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil dilatarbelakangi oleh kekhawatiran KH. Mishbah terhadap orang-orang yang berada di lingkungan sekitarnya yang kurang mementingkan keseimbangan antara kehidupan dunia dengan akhirat. Bahasa yang digunakan dalam kitab ini adalah bahasa Jawa (aksara Arab pegon dan makna gandul) agar dapat menjangkau orang-orang yang berada di sekitar lingkungan KH. Mishbah maupun di daerah lainnya yang penduduknya mayoritas adalah masyarakat Jawa. Dengan begitu, mereka dapat lebih mudah memahami Alquran beserta kandungannya.

Adapun nama al-Iklil memiliki arti mahkota, atau dalam bahasa Jawanya dikenal sebagai kuluk. Penamaan tersebut diberikan sendiri oleh KH. Mishbah dengan harapan Allah Swt. akan memberikan jalan kemudahan bagi umat Islam dalam memahami Alquran yang berfungsi sebagai pedoman hidup mereka demi mendapatkan kedamaian di dunia.

Kitab ini terbagi menjadi 30 jilid. Setiap jilidnya merupakan penjelasan atau tafsir dari satu juz Alquran (misalkan jilid 1 membahas tafsir juz 1) yang kemudian dicetak dengan warna sampul yang berbeda pada setiap jilidnya.

Penjelasan dalam kitab ini oleh KH. Mishbah dibagi menjadi dua; garis tipis datar untuk menandai penjelasan secara umum dan garis tebal digunakan untuk menandai penjelasan yang rinci. Selain itu, terdapat beberapa istilah untuk menunjukkan bagian penting dalam sebuah penafsiran seperti keterangan/ket., masalah, faedah, tanbih (peringatan), dan kisah.

Baca juga: Mufasir Indonesia: Kiai Misbah, Penulis Tafsir Iklil Beraksara Pegon dan Makna Gandul

Aspek Lokalitas dalam Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil

Mishbah ini selain menulis tafsirnya menggunakan bahasa Jawa (aksara Arab pegon dan makna gandul), beliau juga menyisipkan aspek lokalitas dalam tafsirnya tersebut. Ini membuat tafsirnya lebih mudah dan lebih dekat secara psikologis dengan masyarakat Jawa merupakan pembaca utamanya.

Aspek lokalitas penafsiran yang dilakukan oleh KH. Mishbah terlihat pada penafsiran beliau yang membahas tradisi maupun persoalan-persoalan yang terjadi dalam kehidupan orang-orang Jawa. Hal ini seperti penafsiran beliau terhadap Q.S. Albaqarah ayat 10 yang terdapat pada jilid I sebagai berikut:

“Kelakuane wong munafiq ono ing iki ayat yaiku tumindak salah nganggo alasan yen dheweke gawe becik, yoiku anut marang wong-wong tuwa-tuwa, nanging ora rumangsa keliru. Sebab mendalam olehe tumindak anut-anutan kang tanpa ono dhasare. Kang mengkene iki akeh lumaku ono ing kalangane wong-wong Jowo kang ugo wong Islam kelawan sah. Kadang-kadang ono ing kalangane wong kang dadi pengarepe agama. Koyo ngedekake omah nganggo sajen, kondangan nganggo tumpeng lan liya-liyane kang iku kabeh lakune wong Budha zaman kuno.”

(Perbuatan orang munafik dalam ayat ini adalah perbuatan salah dengan merasa dirinya berbuat kebaikan, yaitu mengikuti nenek moyang tetapi merasa tidak salah, mengikuti perbuatan yang tidak ada dasar agamanya. Hal seperti ini banyak terjadi di kalangan orang Islam di Jawa, termasuk di kalangan pemimpin agama. Seperti mendirikan rumah dengan menggunakan sesaji, kenduri memakai tumpeng, dan lain-lain yang sebetulnya merupakan tradisi orang Budha masa lalu).

Tanbih di atas merupakan kritik dari KH. Mishbah atas tradisi masyarakat Jawa yang dianggap mengandung unsur kemunafikan. Dalam Penafsiran KH. Mishbah Mustafa terhadap Ayat-Ayat Amar Makruf Nahi Munkar karya Kusminah dijelaskan bahwa kemunafikan yang dimaksud adalah mereka yang mengikuti ajaran nenek moyang tanpa mencari tahu seluk-beluknya dan apakah hal tersebut diperbolehkan dalam agama atau tidak.

Beliau kemudian memberi permisalan dengan kebiasaan orang-orang Jawa yang membuat tumpeng atau memakai sesaji saat akan membangun rumah yang itu awalnya merupakan kebiasaan orang-orang Budha.

Selain itu, masih terdapat beberapa penafsiran lainnya yang mengkritik berbagai kegiatan masyarakat Jawa seperti penafsiran beliau terhadap Q.S. Attaubah ayat 31. Di situ beliau mengkritik sikap sebagian guru yang terlalu berlebihan dalam mengajar santrinya untuk tunduk kepadanya melebihi rasa takut mereka terhadap perintah di dalam Alquran.

Penafsiran tersebut kemudian dilanjutkan dengan ketidaksetujuan beliau terhadap pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Quran yang dianggap menyelewengi tujuan dari membaca Alquran yang adalah untuk kepentingan akhirat bukan untuk kepentingan material.

Kesimpulan

Kitab Tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Tanzil karya KH. Mishbah merupakan kitab tafsir yang bernuansa lokal, tak hanya dari segi penulisan, tetapi juga pada segi pembahasannya yang membahas tradisi maupun persoalan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Jawa. Aspek lokal dalam tafsir ini merupakan khazanah berharga yang sekaligus membuktikan bahwa penafsiran Alquran telah berkembang di masyarakat Jawa sejak lama.

Baca juga: Alasan Kiai Misbah Musthofa Tolak MTQ

Yasmin Karima Fadilla Suwandi
Yasmin Karima Fadilla Suwandi
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogykarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...