Kepakaran Prof. M. Quraish Shihab dalam ranah tafsir tidak perlu diperdebatkan. Salah satu buktinya adalah produktivitasnya dalam melahirkan karya-karya tafsir. Jika menilik daftar karya tafsir yang pernah ditulis dan diterbitkan, kita akan menemukan fakta bahwa beliau sudah menulis karya tafsir dengan genre yang berbeda-beda, mulai dari tafsir taḥlīlī, ijmālī, hingga mauḍū’ī. Di antara karyanya yang beredar luas di masyarakat, yang paling populer tentu adalah Tafsir al-Misbah dan Membumikan Alquran. Yang pertama disebut merupakan tafsir taḥlīlī sementara yang disebut belakangan dikategorikan sebagai tafsir mauḍū’ī.
Penyebutan dua judul karya di atas bukan berarti karya lain tidak worth it untuk dibaca. Ada banyak karya Prof. Quraish Shihab-bahkan semua-yang layak kita telusuri dan kaji bersama. Salah satunya adalah karya beliau yang berjudul Tafsir Al-Qur’ān Al-Karīm: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Karya ini menarik karena berbeda dengan karya beliau lainnya. Di sini Prof. Quraish Shihab menerapkan metode tafsir nuzūlī.
Tafsir nuzūlī atau yang biasa disebut sebagai tafsīr bi hasb tartīb al-nuzūl merupakan salah satu macam tafsir yang jarang mendapat sorotan. Berbeda dengan tafsir pada umumnya yang disusun sesuai urutan mushaf, tafsir tersebut disusun berdasarkan urutan turunnya wahyu Alquran.
Dalam Sejarah Kenabian, Aksin Wijaya menjelaskan bahwa tafsir nuzūlī lebih fokus pada upaya mengembalikan Alquran ke dalam konteks kelahirannya dengan menyajikan konteks historis dan proses dialogis Alquran dalam merespons pelbagai persoalan yang muncul saat itu (h. 46). Di antara beberapa tokoh yang menggunakan metode penafsiran ini adalah Muḥammad ‘Izzat Darwazah, ‘Abdurraḥmān Ḥasan Habannakah, dan Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī.
Tafsir Al-Qur’ān Al-Karīm karya Prof. Quraish Shihab pertama kali diterbitkan oleh penerbit Pustaka Hidayah pada September tahun 1997. Karya ini tampaknya disambut hangat para pembacanya sehingga tiga bulan kemudian dicetak ulang, tepatnya pada bulan Desember 1997. Berselang dua tahun kemudian, karya setebal 888 halaman itu dicetak lagi untuk ketiga kalinya. Ini berarti, pada masanya, buku tersebut populer. Apalagi, berdasarkan pengakuan penulisnya, sebagian uraiannya dalam karya itu pernah dimuat dalam majalah Amanah beberapa tahun sebelum terbit.
Terkait sistem penyajian nuzūlī, Prof. Quraish Shihab berharap agar pembaca dapat melihat bagaimana runtutan petunjuk Ilahi yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya. Selain itu, menurutnya, penguraian tafsir berdasarkan susunan mushaf acapkali menimbulkan pengulangan jika kosakata atau kandungan pesan ayat dan surahnya memiliki kemiripan dengan ayat dan surah yang sudah diuraikan sebelumnya.
Selain itu, pertimbangan lainnya, didasarkan pada banyaknya kaidah-kaidah tafsir yang dapat ditarik dari Alquran maupun dari disiplin ilmu Alquran, dan banyaknya kosakata penting yang dikandung oleh surah-surah tertentu. Pertimbangan praktisnya adalah bahwa surah yang dipilih mengandung uraian yang berkaitan dengan kehidupan beragama, bermasyarakat, dan berbangsa serta banyak dibaca umat. Oleh karena dua pertimbangan ini, tidak semua pembahasan surah tersajikan dalam karya tafsir tersebut.
Baca juga: Tafsir Tartib Nuzul: al-Tafsir al-Hadits karya Muhammad ‘Izzat Darwazah
Isi dan sistematika pembahasan
Hanya ada 24 surah pendek yang termuat dalam Tafsir Al-Qur’ān Al-Karīm. Selengkapnya, karya tersebut terdiri dari: pengantar, daftar isi, (1) surah al-Fātiḥah, (2) al-‘Alaq, (3) al-Muzammil, (4) al-Mudaththir, (5) al-Lahab, (6) al-Takwīr, (7) al-A’lā, (8) al-Sharḥ, (9) al-‘Aṣr, (10) al-Ḍuḥā, (11) al-‘Ādiyāt, (12) al-Kauthar, (13) al-Takāthur, (14) al-Mā’ūn, (15) al-Kāfirūn, (16) al-Fīl, (17) al-Ikhlāṣ, (18) al-Falaq, (19) al-Nās, (20) al-Qadr, (21) al-Tīn, (22) al-Humazah, (23) al-Balad, (24) al-Ṭāriq, dan indeks.
Jika kita menilik susunan beberapa surah tersebut dan menyesuaikannya dengan beberapa susunan yang dirumuskan oleh sarjana muslim maupun orientalis, tampak ada perbedaan, bahkan kekurangan (selengkapnya lihat Rekonstruksi Sejarah Alquran). Hal inilah yang mungkin dimaksud oleh Prof. Quraish Shihab dengan memilih surah-surah tertentu yang sering dibaca masyarakat.
Meskipun menggunakan sistematika tafsir nuzūlī, dalam pengantar karyanya Prof. Quraish Shihab dengan gamblang mengatakan bahwa dia menggunakan metode taḥlīlī dalam menyajikan pesan-pesan Alquran dengan banyak merujuk pada Alquran dan sunah. Dalam memahami ayat Alquran, dia menggunakan pendekatan semantik. Hal ini dilakukan karena menurutnya Alquran sering mengubah pengertian semantik dari satu kata yang digunakan oleh masyarakat Arab yang ditemuinya lalu memberi muatan makna yang berbeda pada kata tersebut. Misalnya adalah kata ṣalāt yang tidak lagi dimaknai sebagai “doa” tetapi merupakan “ucapan dan gerak tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam”.
Dalam praktiknya, Prof. Quraish Shihab memulai uraian penafsirannya dengan menerangkan letak posisi surah, baik dalam urutan mushaf atau urutan nuzūl. Dia menjelaskan kaitan antara surah yang sedang dibahas dengan surah sebelumnya serta secara singkat menguraikan konteks penuruan surah tersebut. Selanjutnya, dalam penafsiran ayat dia memperhatikan arti kosakata atau ungkapan Alquran dengan merujuk para pakar bahasa lalu memerhatikan bagaimana kosakata atau ungkapan tersebut digunakan Alquran. Dia memahami arti ayat berdasarkan hasil penggunaan kata tersebut oleh Alquran. Di akhir surah, dia membuat kesimpulan berdasarkan ayat-ayat yang telah dibahas dengan mencoba merelevansikannya pada konteks kehidupan nyata.
Baca juga: Tafsir Tartib Nuzul: Fahm al-Qur’an al-Hakim Karya al-Jabiri
Contoh pembahasan
Sebagai contoh, pada pembahasan tafsir surah al-‘Aṣr, Prof. Quraish Shihab menerangkan letak posisinya pada urutan kesembilan setelah surah Alam Nasyraḥ dalam tartīb nuzūl dan urutan ke-103 setelah surah al-Takāthur dan sebelum surah al-Humazah. Dia menerangkan kaitan surah al-‘Aṣr dengan al-Humazah bahwa Allah Swt. memperingatkan tentang pentingnya waktu dan bagaimana seharusnya ia diisi setelah memperingatkan manusia yang menghabiskan waktunya untuk mengejar dunia sehingga lupa terhadap tujuan hidup. Selanjutnya, dalam uraian munāsabah antarsurah ini, Prof. Quraish Shihab merujuk al-Marāghī.
Setelah menjelaskan munāsabah surah al-‘Aṣr, Prof. Quraish mulai membahas secara detail kata-kata kunci ayat seperti lafaz al-‘aṣr, al-insān, khusr, fī, īmān, ‘amal, ṣāliḥ, tawāṣau, al-ḥaqq, dan al-ṣabr. Dalam menguraikan maksud lafaz-lafaz tersebut, dia sering merujuk ayat lain, riwayat hadis, dan pendapat ulama. Pada akhir surah, dia memberikan kesimpulan umum yang memuat poin-poin inti pembahasan.
“Sekali lagi menurut surah kita ini, iman, amal saleh dan ilmu pun masih belum memadai. Memang, ada orang yang merasa cukup serta puas dengan ketiganya, tetapi ia tidak sadar bahwa kepuasan itu dapat menjerumuskannya. Ada pula yang merasa jenuh, karena itu, ia perlu selalu menerima nasihat agar tabah, sabar, sambil terus bertahan, bahkan meningkatkan iman, amal, dan pengetahuannya. Demikian surah Al-‘Ashr memberi petunjuk bagi manusia.” (h. 488).
Demikianlah kira-kira gambaran umum Tafsir Al-Qur’ān Al-Karīm karya Prof. Quraish Shihab yang menggunakan sistem urutan nuzūlī. Betapa pun kini kurang populer, karya tersebut menarik untuk dibaca dan dikaji lebih mendalam, karena sejauh penelusuran penulis, belum banyak peneliti yang mengkajinya.
Berdasarkan uraian singkat ini, mungkin kita dapat menyatakan bahwa Prof. Quraish Shihab adalah mufasir yang komplet. Terlepas dari ketidaklengkapan surah dalam Tafsir Al-Qur’ān Al-Karīm, kita tidak bisa menyangkal fakta bahwa beliau telah menghasilkan karya tafsir nuzūlī, sebuah genre tafsir yang tidak semua mufasir menulisnya. Wallāhu a’lam bi al-ṣawāb.
Baca juga: Kebolehan Hermeneutika untuk Memahami Alquran Menurut M. Quraish Shihab